Bab.10

64 5 0
                                    

Elea menatap lurus kedepan dengan pandangan kosong, dia tak menyangka sedang hamil saat itu. Karena Elea tak merasakan seperti orang hamil pada umumnya, hanya saja dia melupakan jika dia memang terlambat datang bulan.

"Elea, jangan melamun." Tegur Adrian, Elea menatap Adrian yang membawa makanan di tangannya.

"Adrian, aku kira kamu pulang."

"Mana mungkin aku pulang, saat kondisimu seperti ini. Elea," sahut Adrian, dia membuka bubur yang di buat di cafe miliknya. Bubur sehat resep sang ibu.

"Makanlah, Elea." Adrian mendorong meja, untuk memudahkan Elea makan.

"Aku belum lapar," jawabnya, walau aroma dari bubur yang Adrian bawa sangatlah harum. Tapi, entah mengapa Elea tidak memiliki nafsu makan sama sekali.

Adrian membuang nafas dengan pelan, dia harus bersabar mengurus orang sakit.

"Jika kamu tidak makan, kamu akan lemas dan kurang tenaga. Dan yang pasti, akan lama keluar dari rumah sakit," ujar Adrian.

"Atau mau aku, suapi?" goda Adrian, membuat Elea berdecak dengan kesal. 

"Aku bisa sendiri," 

Adrian membantu untuk bangun, setelah meninggikan ranjang. Adrian menatap wajah Elea yang masih pucat, ingin rasanya dia bertanya tentang kehidupannya.

"Ceritakan tentang mu, Elea." Celetuk Adrian.

"Apa kamu yakin, ingin mendengar tentang ku?" tanya Elea, Adrian mengangguk sebagai jawaban.

Sebelum bercerita, Elea menguatkan hatinya. Dan mulai bercerita bahwa dia adalah anak dari istri kedua, juga istri dari lelaki yang bernama Bara. Elea pun menceritakan semuanya, tanpa ada yang terlewat dan lebih-lebihkan. Sesekali dia menyeka sudut matanya, saat mengingat ibunya. 

Awalnya Adrian cukup terkejut bahwa Elea sudah menikah, tapi yang paling menyita perhatian adalah kehidupan Elea yang tak baik-baik saja.

"Aku adalah anak, yang terlahir dari rahim wanita atau istri kedua. Sebagian orang bilang itu terlalu bagus untuk disematkan pada ibuku, makanya selalu menghina ku dengan anak perebut suami orang." Papar Elea, menatap kosong ke depan.

Adrian memegang tangan Elea, mencoba memberikan kekuatan agar Elea kuat menjalani takdirnya.

"Jika bisa memilih, aku tidak mau berada di posisi saat ini. Tapi takdir tidak memberiku pilihan lain, kecuali aku menjalaninya." Lirih Elea.

"Elea, kamu tidak sendiri. Ada aku," kata Adrian, membuat Elea menggeleng.

"Aku tidak ingin merepotkan siapapun, bahkan suamiku sekali pun. Ahh.. tepatnya mantan, karena mungkin sebentar lagi Bara akan menceraikanku." Papar Elea.

Adrian tidak bisa berkata-kata lagi, dia meminta Elea untuk makan kembali dan memakan obatnya agar cepat pulih.

****

Apartemen

Bara sudah rapi dengan kemeja berwarna hitam dan celana bahan berwarna hitam, dia menatap ponsel yang baru saja mati. Sejak tadi Tiana terus saja menghubungi dirinya, bahkan pesan yang masuk dia hiraukan.

"Maafkan aku, Tiana." Gumam Bara, dia memutuskan akan menemani Elea.

Dia ingin memperbaiki hubungannya dengan Elea, entah mengapa hatinya jadi berubah haluan. Atau mungkin ini hanya rasa bersalah Bara, pada janin yang Elea kandung.

Berpuluh menit kemudian, Bara sudah sampai. Ketampanan Bara mencuri perhatian semua orang termasuk para suster perempuan yang ada di klinik. 

"Suster, bagaimana keadaan istri saya?" tanya Bara, saat melihat perawat yang keluar dari ruang rawat Elea.

"Sudah lebih baik, tuan. Hanya saja nona Elea tidak dianjurkan untuk melakukan kegiatan yang berat, dan yang paling penting adalah. Dia tidak boleh stress dan tertekan," papar perawat.

"Baik sus, terima kasih." Jawab Bara.

"Sama-sama, kalau begitu saya permisi. Mari," pamit perawat tersebut.

Bara membuang nafas dengan pelan, ada rasa ragu saat ingin membuka pintu ruang rawat. Dan dia berharap, lelaki yang bernama Adrian sudah pergi.

Pintu terbuka, pemandangan Elea yang terlelap membuat Bara sedikit lega. Adrian pun sudah tak ada ditempat, entah dimana dia Bara tak peduli. Ini akan menjadi kesempatan dia bicara dengan Elea.

Dering ponsel membuyarkan lamunan Bara, membuat lelaki tersebut memejamkan mata. Hampir dia mengumpat, jika yang memanggil adalah Tiana.

"Halo tuan," sapa Bara.

"Bara, kamu dimana?" tanya Bima langsung, Bara terdiam dengan pertanyaan dari ayah mertuanya. Selama satu bulan, Bara memang memanggilnya tuan bukan papa atau ayah. Karena jika dia memanggil seperti itu, maka Tiana akan marah.

"Bara," panggil Bima.

"Saya ..."

Bara menatap wajah damai Elea, dengan tatapan yang sulit diartikan. Apakah dia harus jujur atau tidak pada Bima.

"Maafkan saya tuan, saya sedang di luar. Ada pekerjaan penting yang harus saya kerjakan," terang Bara, dengan berbohong agar Elea tak terus disakiti oleh Mala dan Tiana.

"Ohh ... Aku kira kamu, sedang bersama Elea. Tiba-tiba saja aku mencemaskannya,"

"Elea baik-baik saja." Jawabnya berbohong.

"Oh syukurlah."

Belum sempat Bara berbicara lagi, Bima sudah memutuskan panggilan telepon dengan Bara. Karena sekilas Bara mendengar suara Mala.

Satu jam menunggu, Bara masih betah memandang wajah damai Elea. Mungkin nanti, itu akan menjadi hal favorit Bara setiap bangun tidur. Tapi jika takdir mengizinkan mereka masih bersama.

Elea mulai mengerjapkan mata, menyesuaikan cahaya yang masuk ke indra penglihatannya. Tadi Adrian pamit untuk pulang, karena ada hal yang harus dia kerjakan juga suster yang memberikan obat karena tiba-tiba suhu tubuhnya naik.

"Sudah bangun?" tanya Bara, membuat Elea terkejut. 

"Kamu? Ngapain kamu disini? Kemana Adrian?" cerca Elea, dia benar-benar tak suka Bara disini. Lebih baik dia sendiri di ruang rawat.

"Aku hanya menjaga istriku," jawab Bara acuh, membuat Elea mendelik dengan jawaban Bara.

"Heh, sejak kapan aku istrimu?" tanya Elea dengan senyum sinis, dari awal Bara sudah tak mengakuinya istri apalagi sejak janin yang dalam kandungannya pergi dia sudah menganggap bahwa Bara. Bukan lagi suaminya.

"Sejak hari ini, kamu adalah istri ku. Eleanor," jelas Bara dengan tegas, sorot mata Bara yang tajam tak membuat Elea takut. Jika dulu dia akan takut, maka kali ini tidak dia sudah memutuskan untuk mandiri.

"Pergilah Bara, kejarlah cintamu dan kebahagiaan mu bersama dengan Tiana. Aku ikhlas jika harus berpisah dengan mu," ujar Elea dengan lirih, berbicara dengan lembut dan mengalah pada Bara.

Walau sejujurnya dia pun sudah memiliki rasa dan getaran, untuk Bara. Walau Bara tak pernah datang ke apartemen miliknya.

Elea menatap Bara yang menggeleng, sulit sekali membaca raut wajah lelaki yang di depannya.

"Maaf," ucap Bara, hal yang paling sulit untuk diucapkan selama hidupnya. Dia hanya meminta maaf pada sang ibu juga Tiana, lagi dan lagi kenapa harus Tiana yang ada dalam pikirannya. Padahal Elea pun ada saat dia kecil, dia sering melihat Elea menangis. Dia juga sering kasihan pada Elea. Namun, Tiana selalu mengatakan hal buruk pada dirinya menyebabkan Bara tak menyukai Elea.

bersambung...

Istri Rahasia Tuan BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang