Bab.8

57 6 1
                                    

Keesokan paginya.

Tak seperti biasanya Elea bangun terlambat, biasanya dia sedang bersantai di balkon kamar. Dia menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong, rasa sakit di area kewanitaannya membuatnya enggan melakukan apa pun. Bahkan sejak tadi perutnya terasa sangat melilit, seperti akan melahirkan saja.

Elea melirik sekilas ke arah samping, dimana Bara masih terlelap dengan tubuh polosnya. 

"Sejenak aku tidak mengerti pada sikapmu, Bara. Kadang kamu peduli, kadang kamu bersikap dingin padaku." Lirih Elea menatap sendu, wajah yang selalu datar dan dingin jika menatapnya.

"Kamu bersikap seolah suami yang sedang cemburu, tapi kamu juga mengabaikan aku."

Elea menghapus air matanya, mencoba untuk bangun walau perutnya terasa semakin sakit.

"Ssttt ahh, perutku sakit sekali." Keluhnya, memegangi perutnya yang terasa ingin keluar.

Saat Elea berdiri tak terasa darah keluar, membuat Elea mengerjapkan mata dengan cepat. Elea mulai berpikiran negatif.

"Da-darah?" gumamnya. Namun, banyaknya darah yang keluar membuat Elea jatuh pingsan karena terkejut.

Bruk!! Tubuh Elea menabrak meja yang ada di sampingnya, Bara yang terlelap pun terkejut dan bangun. Melihat apa yang jatuh.

"Elea," pekiknya dengan panik, dia memakai celana boxer dengan tergesa. Dan menatap Elea dan juga darah di sekitar kaki.

"Elea, kamu kenapa? Elea? Bangun?" panggilnya dengan mengguncang tubuh Elea. 

Bara dengan segera memakai pakaiannya, juga memakaikan Elea baju. 

"Nino, cepat ke rumah sakit." Titah Bara.

"Ba-baik tuan," jawab Nino, dia mengikuti Bara dari belakang.

Bara memangku Elea di belakang, darah terus keluar dari sela kaki Elea. Membuat Bara sangat takut, entahlah dia tak tahu apa yang dia rasakan saat ini.

"Elea, bertahanlah. Aku mohon," lirih Bara, Nino melirik sekilas ke belakang. Untuk pertama kalinya, dia melihat sang tuan yang terkesan dingin dan kejam pada semua orang. Terlihat begitu mengkhawatirkan Elea, bahkan matanya memerah menahan tangis.

"Cepat Nino," bentak Bara.

"Iya tuan," sahutnya, beruntung pagi ini jalanan ramai lancar. Sehingga tak membutuhkan waktu yang lama, Nino sampai di klinik bersalin ibu dan anak yang lumayan lengkap fasilitasnya. Karena rumah sakit jaraknya masih lumayan jauh dan langsung di sambut, oleh petugas yang menyambut Bara dan Elea.

Elea memasuki ruangan gawat darurat, sementara Bara dan Nino menunggu di luar dengan cemas. Beberapa menit kemudian, dokter keluar dengan wajah tidak baik-baik saja. Bara pun sempat mendengar dokter tersebut, menghela nafas dengan kasar.

"Suami pasien?"

"Saya dok, saya suaminya." Kata Bara dengan cepat.

"Bagaimana keadaan, istri saya?" 

Dokter menatap wajah Bara dengan lekat dan menggeleng pelan, Bara tidak mengerti dengan gelengan dokter. 

"Dok, katakan yang jelas. Bagaimana kondisi istri saya?" tanya Bara penuh penekanan, bahkan Bara mencengkram kerah kemeja dokter.

"Tuan tenangkan, diri anda." Ujar Nino, mencoba menarik Bara dan berhasil.

"Maafkan saya tuan, istri anda keguguran. Kami tidak bisa menyelamatkan janin yang sedang pasien kandung, karena kehamilannya masih sangat muda dan juga sangat rentan." Jelas dokter, dokter juga menjelaskan penyebab Elea keguguran adalah tekanan yang terlalu keras dalam berhubungan suami istri, juga secara tak kasat mata mentalnya kurang baik bisa dibilang stress dan terlalu banyak pikiran.

Bara terduduk lesu setelah mendengar penjelasan dari dokter, dia memang tak menginginkan anak dari Elea. Apalagi penyebab Elea keguguran adalah dirinya sendiri. Semalam dia terlalu kasar karena rasa cemburu pada Elea, dengan lelaki lain.

Cemburu? Apa aku sudah jatuh, cinta pada Elea? gumam Bara dalam hati, dia masih memperhatikan pintu ruangan yang tertutup rapat. Dokter juga bilang, bahwa Elea kehilangan banyak darah.

"Tuan, kita harus secepatnya mencari golongan darah B." Ujar Nino, membuyarkan lamunan Bara.

"Aku akan memeriksakan diri," putus Bara, dia pergi begitu saja meninggalkan Nino di depan ruang gawat darurat.

Nino juga sudah memberitahu keadaan Elea pada Bima. Namun, di ujung sana ponsel Bima di pegang oleh Mala. Mala yang sudah membaca, hanya tersenyum tipis membaca pesan tersebut.

"Kamu masih peduli sama anak, itu? Cih, menjijikan lebih baik kau mati saja. Anak haram!" desis Mala, dia pun memiliki rencana lain agar Bima tak tahu.

***

Sementara itu Adrian, dia sudah didepan unit milik Elea. Namun, berulang kali dia mengetuk dan menekan bel tak kunjung ada yang membuka pintu.

"Kemana Elea? Apa dia baik-baik saja?" gumam Adrian, mendadak dia pun mencemaskan Elea dan memilih turun menanyakan pada penjaga. Penjaga pun memberitahu Adrian, bahwa Elea dibawa oleh lelaki dalam keadaan pingsan.

"Mungkin mbak Elea. Dibawa ke klinik ibu dan anak, mas." Tebaknya.

"Iya kah? Apa yang terjadi?"

"Saya tidak tahu mas, tapi mereka terlihat begitu panik."

Adrian mengangguk dan mengucapkan terima kasih, dia akan melihat keadaan Elea. 

Bara sendiri tidak bisa mendonorkan darahnya karena berbeda, dia berusaha menghubungi teman-temannya yang memiliki golongan darah B.

"Tiana, Tiana. golongan darahnya pasti sama." Celetuk Bara. Namun, Tiana tak menjawab panggilannya membuat Bara membuang nafas dengan kasar. Bara tidak pantang menyerah, dia kembali menghubungi Tiana.

"Tiana angkat lah, aku mohon." Pinta Bara, saat Bara sibuk dengan ponselnya. Adrian sudah tiba di klinik tersebut dan bertanya tentang Elea. Setelah tahu Elea membutuhkan darah, Adrian dengan cepat mengecek golongan darah miliknya.

"Tuan Adrian, golongan darah anda dengan nona Elea cocok." Beritahu suster, membuat Adrian tersenyum bahagia. Dan meminta suster secepatnya mengambil darah miliknya.

Tiga puluh menit kemudian, Adrian sudah selesai mengambil darahnya. Beruntung Adrian adalah tipe orang, yang suka mendonorkan darahnya. 

Adrian dengan setia menunggu Elea di depan pintu UGD, tak lama Bara pun tiba dengan wajah dingin dan tatapan tajam. Sumpah demi apa pun, dia tak suka pada lelaki yang tersenyum manis di depannya.

Adrian berdiri saat melihat lelaki, dengan piyama yang penuh darah dan acak-acakan. Pikirannya menduga-duga ada hubungan apa Elea dengan lelaki di depannya.

"Adrian," ucapnya, mengulurkan tangan tapi tak dibalas oleh Bara.

"Its oke, gak papa." Adrian mengedikan bahunya acuh, dan kembali duduk di kursi tunggu menanti kabar.

"Terima kasih," celetuk Bara.

"Untuk apa?"

"Terima kasih, karena sudah menolong istri saya!" sahut Bara dengan tegas, dia juga menekankan kata istri. Dan berhasil membuat Adrian terkejut.

"Istri?" ulang Adrian.

"Iya, Elea adalah istriku!"

Adrian tersenyum tak percaya pada ucapan lelaki di depannya.

"Elea tak pernah cerita dia sudah menikah, dia hanya bilang tinggal sendiri di apartemen itu." Papar Adrian menatap lurus kedepan.

Bara membuang nafas dengan kasar, tidak mungkin dia menyalahkan Elea. Karena ini semua adalah salahnya, karena sudah menutupi pernikahannya dengan Elea demi kehormatan Mala. Ibu Tatiana, lagi dan lagi Bara memprioritaskan Tatiana.

Bara menatap lurus kedepan, pikirannya menerawang jauh ke malam dimana dia melakukan hal yang menjijikan pada Elea.

bersambung...

Jangan lupa tinggalkan jejak, makasih 🙏

Istri Rahasia Tuan BaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang