My Friend

685 59 1
                                    

"Apa kau masih melihat dan mendengar mereka?"

Laki-laki tinggi itu menggeleng pelan, menatap kosong. "Itu mimpi," jawabnya pelan.

"Kalau begitu--"

"Aku tidak ingin melakukan terapi atau meminum obat apapun."

Jisung bangkit dari duduknya dan memakai topinya. Ia pria yang memakai sneli dokter itu duduk di kursi. "Mereka adalah temanku dokter, aku tidak akan membiarkan mereka menghilang dariku."

"Jisung-ssi, mereka bukan temanmu. Mereka akan membuatmu menderita jadi--"

"Menderita?" Jisung menyeringai kecil. "Aniya, justru mereka yang membuatku tetap hidup."

"Aku sudah ke sini, jadi katakan pada Seo manajer kalau aku sudah mematuhi perintahnya. Sekarang aku akan pergi. Kalau begitu, sampai jumpa... "

Jisung keluar dari ruangan itu, sedikit menundukkan kepalanya agar orang-orang tidak mengenalinya. Ia pun mengehentikan taksi dan pergi.

"Kau mau kemana?"

Jisung menoleh ke sampingnya, seketika ia menyunggingkan senyumnya. "Entahlah... "

"Emnn... Aku tahu restoran bagus! Ayo ke sana dan makan lalu setelah itu kita berjalan kaki."

Jisung mengernyit bingung. "Jalan kaki?"

"Kau bahkan tidak pernah berolahraga atau pergi ke gym. Setidaknya kau harus berjalan kaki, jangan terlalu manja. Setelah itu aku akan mentraktir mu malatang."

Jisung terkekeh seketika. "Ide bagus Chenle-ya," ucapnya.

"E--emn... Pelanggan, kita ke mana?"

Jisung menghentikan tawanya seketika saat bayangan Chenle hilang. Ia menatap supir dari mirror center yang terlihat ketakutan. "Hentikan saja... Aku akan berjalan kaki."

Jisung turun dari taksi setelah membayar, kemudian berjalan kaki. Ia membiarkan saja angin menerpa wajahnya, bahkan ia tidak memakai maskernya.

Di tengah ramainya orang di jalan ini, bukan hanya dirinya yang sendirian. Ia melihat seorang pria di mobil sendirian menunggu lampu berubah hijau. Ia juga melihat pengendara motor yang sendirian, dan orang-orang yang berjalan kaki sendirian.

Bukan hanya dirinya yang sendirian, tapi hanya dirinya yang kesepian? Atau tidak? Apa mereka juga merasa kesepian? Bagaimana mereka bisa mengatasi kesepian mereka? Itu karena Jisung kesulitan, ia kesulitan mengatasi rasa sepinya.

"Jisung-ah minggir!"

Jisung reflek meminggirkan tubuhnya ke samping saat Chenle tiba-tiba muncul dengan memakai sepeda hendak menabraknya. Namun kini ia menabrak pejalan kaki lain, membuat Jisung merasa bersalah.

"Jesunghamnida... "

"Mwoyaa, kenapa tiba-tiba mengganti arah."

Jisung menghela napasnya. Ia sulit membedakan mana yang nyata dan mana yang asli. Terlalu sering menciptakan halusinasinya karena sepi yang dirasakan, kini malah dirinya sendiri kesulitan karena halusinasinya. Ia sungguh hidup dalam halusinasinya. Jisung tidak tahu lagi mana halusinasinya dan mana kehidupannya yang nyata, ia sering bingung dan mencampurnya.

"Park Jisungggg!! Ini sangat menyenangkan.."

Chenle kembali mengayuh sepedanya ke arah Jisung, kali ini Jisung diam di tempat tidak meminggirkan tubuhnya. Dan Chenle menembus tubuhnya begitu saja. Karena Chenle, hanyalah halusinasinya, hal itu sedikit mengiris hati Jisung. Ia tersenyum miris.

"Kenapa kau hanya melihatku? Kau tidak ingin bergabung?"

Namun Jisung tersenyum perlahan, ia melihat peminjaman sepeda yang tidak jauh dari tempatnya. "Tunggu aku," ucap Jisung lalu berlari untuk meminjam sepeda. Halusinasi atau bukan, Jisung hanya akan mengikuti hatinya.

"Aaaaaahhh ini sungguh menyenangkan!!"

"Benar 'kan??"

Jisung menatap Chenle yang bersepeda bersamanya. Jisung merasa bahagia dengan halusinasinya. Hidupnya lebih berwarna, ia tidak buruk jika harus hidup dalam halusinasinya. Jisung bahagia.

Salahkah jika Jisung lebih suka dalam halusinasinya?

Salahkah jika Jisung menolak untuk pergi ke psikiater dan sembuh, karena ia tidak mau Chenle dan Hyung yang lain menghilang.

Salahkah?

Siapa bilang Chenle tidak ada? Chenle ada, dia ada di pikiran, hati, dan dunia Jisung. Chenle hidup, dan menghidupinya. Chenle adalah temannya.

[✓] Tidak Ada : Park Jisung Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang