Healing

261 33 0
                                    

"Maksud anda, anda ingin melupakannya?"

Laki-laki yang tersenyum tipis itu menggeleng pelan. "Tidak, aku sudah cukup melupakannya."

"Aku hanya ingin merelakan mereka. Aku sedikit tersiksa karena ingatan tentang kenangan indah aku bersama mereka, aku tidak bisa merelakan kepergian mereka dan terus berharap bisa membuat kenangan lebih dengan mereka."

"Aku terus berhalusinasi tentang mereka bahkan kenangan-kenangan bersama mereka terus muncul di mimpiku."

"Aku sedikit, sakit... Aku ingin merelakan mereka pergi."

Pria berkacamata yang memakai sneli itu menegakkan tubuhnya, menatap kertas kuesioner yang baru saja laki-laki dua puluhan di depannya isi.

"Saya mengerti... Saya akan meresepkan obat, namun saya sarankan untuk tidak terlalu bergantung pada obatnya. Akan lebih baik jika anda menghentikan pekerjaan anda saat ini dan pergi untuk menyembuhkan diri anda, seperti pergi mendaki atau ke desa. Anda perlu menyembuhkan diri anda dulu agar bisa merelakan mereka. Jika anda merasa anda bisa hidup dengan baik tanpa mereka, maka anda tidak akan keberatan lagi dengan kenangan mereka."

"Jika anda terus merasa kesulitan hidup sendiri, anda membutuhkan mereka, maka anda akan sangat bergantung pada kenangan yang anda miliki bersama mereka. Anda akan terus berharap kenangan-kenangan indah itu berlanjut, dan anda secara mandiri berhalusinasi tentang mereka yang masih hidup bersama anda membuat kenangan indah lainnya."

"Tidak harus pergi mendaki atau ke desa, itu hanya kebanyakan orang. Namun setiap orang berbeda-beda cara penyembuhannya."

"Anda akan lebih tahu daripada saya, dimana dan bagaimana anda merasa nyaman, tanpa kekhawatiran."

Jisung meringis sejenak. Selama hidupnya ia hanya tahu menari, berlatih, dan tampil di panggung. Jisung tidak tahu kemana ia harus pergi, bagaimana ia harus melakukan penyembuhan.

"Apa ada hal yang anda cemaskan lagi?"

Jisung mengangguk, menatap dokter psikiater nya. "Aku tidak tahu kemana aku harus pergi, karena selama ini aku hanya pergi ke rumah, perusahaan, dan lokasi syuting."

Dokter terlihat sedikit terkejut namun berhasil mendapatkan solusinya. "Kalau begitu anda bisa mendatangi keluarga, keluarga anda pasti tahu dimana anda nyaman."

Jisung tersenyum lebar, ia mengangguk patuh. "Nee, terimakasih dokter."

Setelah menerima resep obat, Jisung keluar dari ruang konseling. Dalam perjalanannya, Jisung masih berpikir. Apa Eomma Appa sungguh tau hal yang bisa menyembuhkannya? Jisung sekali lagi beri tahu, kalau ia jarang pulang ke rumah. Bahkan, Seo manajer lebih memahaminya daripada Appa nya.

Brukk

"Jesung-- Oppa?!"

Jisung meringis pelan saat sikutnya bergesekan dengan aspal. Ia mendongak, menatap dua gadis yang memakai seragam SMA. Jisung pun berdiri dan mengibaskan celananya meskipun tidak terlalu kotor.

"Jesunghaeyo  Jisung Oppa," ucap keduanya seraya membungkuk. Jisung langsung bisa mengenali mereka berdua, mereka pasti penggemarnya.

"Eohh.. aniyo gwenchanayo."

"Oppa sungguh tidak apa? Huh itu darah!!"

Salah satunya menunjuk siku Jisung yang lecet. "Ottoke, mianhaeyo Oppa... Kita ke rumah sakit--"

"Aniyo, sungguh aku tidak apa-apa."

Jisung menampilkan senyum hangatnya, menggeleng cepat untuk menolak secara halus.

Salah satunya mendongak, lalu menatap Jisung khawatir. "Oppa gwenchanayo? Pasti sangat lelah kan?"

"Kami selalu mendukung Oppa, dan kami selalu menantikan Oppa. Tidak apa-apa jika Oppa lelah, jangan terluka, karena kami ikut terluka jika Oppa terluka."

"Oppa hwaitingg," lanjut gadis itu.

"Oppa bolehkah meminta fot--"

"Kau gila?! Oppa, kalau begitu kami pergi."

"Tidak apa," ujar Jisung karena ia tahu salah satunya ingin meminta foto.

"Oppa, jangan lupa ke rumah sakit. Ini sebagai permintaan maaf ku, sampai jumpa Oppa!! Hwaitingg!!"

Salah satunya pun menyeret temannya pergi karena takut mengganggu Jisung, sementara Jisung menatap plester bergambar kelinci yang diberikan penggemarnya. Ia terkekeh. Ini lucu.

Drrrttt drrrttt

"Eoh.. Hyung?"

"Kau sudah pergi ke psikiater?"

Jisung melanjutkan langkahnya, menghentikan sebuah taksi. "Emnn, aku baru saja keluar."

"Apa yang dokter katakan?"

"Dokter memintaku untuk pergi healing."

"Keurae... Dokter benar, kau memang harus istirahat. Kau pergilah, aku yang akan mengatur cuti mu. Satu Minggu, cukup?"

Jisung diam, ia tengah berpikir. Apa yang harus ia lakukan selama satu minggu? Jisung pikir ia akan bosan meksipun ia sudah pergi ke ujung dunia. Tidak ada yang ia lakukan sungguh membuatnya bosan, malah semakin merasa kesepian.

Lalu Jisung melihat iklan konser seorang penyanyi barat yang akan menggelar konser di Seoul. Ada begitu banyak penggemar memenuhi gedung besar itu dan menyoraki nama artis.

"Aniya Hyung, aku pikir aku menemukan healing terbaik ku."

"Bagaimana?"

"Aku hanya ingin cepat comeback dan bertemu sijeuni. Melihat dan mendengar mereka, aniya... Bersama mereka adalah healing terbaik."

"Aku ingin cepat-cepat comeback, bukannya cuti dan berlibur sendirian."

Lagipula, Jisung menari bukan karena paksaan siapapun melainkan karena ia sendiri menyukainya. Jisung bahagia saat menari, apalagi saat seseorang mengapresiasinya dan memujinya. Siapa lagi yang memberinya pujian dan apresiasi sebanyak sijeuni? Tidak ada.

Jisung menatap keluar jendela. "Kali ini aku akan memiliki panggung ku sendiri Hyung, aku akan tampil percaya diri di depan sijeuni."

"Kalian tidak perlu menemani ku, aku bisa sendiri. Aku tidak cukup hebat, tapi sijeuni cukup menyukaiku. Aku bisa menguasai panggung ku sendiri, jadi Hyung bisa berdiri bersama sijeuni sebagai penonton. Kalian tidak perlu menari bersama ku," gumam Jisung lirih dengan senyum tipisnya. Ia sudah bertekad.

Jisung sudah tahu jelas. Hyungdeul pernah ada, tapi sekarang mereka tidak ada.

Sekarang, Jisung harus fokus dengan dirinya. Ia harus bahagia agar Hyungdeul bangga padanya karena ia bisa hidup bahagia meski tanpa mereka.

To Be Continue...

[✓] Tidak Ada : Park Jisung Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang