Melody memandang ke arah luar jendela, sampai kapan penderitaannya
berakhir? Kapan ia bisa bahagia? Melody capek, ia mendapat tekanan dari Papanya,
kekasihnya, dan juga Michelle, teman lamanya.
Tanpa disadari, air mata Melody sudah mengalir memba...
Sebelumnya, aku tidak pernah melihat kamu sebahagia itu bersamaku. Jujur, aku lebih senang melihatmu bersama orang lain, jika itu membuatmu bahagia. Melody
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu oleh Melody dan keempat sahabatnya sudah tiba. Melody sudah bangun sejak pukul 5 pagi, saat ini dia tengah menunggu kedatangan Rivano, untuk menjemputnya. Melody tak tahu, bahwa Rivano sudah menyuruh Clay untuk menjemput Melody. Kalian tahu sendiri pasti, alasan Rivano tidak menjemput Melody. Di halaman rumahnya, Melody sedang duduk. Menatap langit yang perlahan-lahan mulai menampakkan matahari. Cuaca hari ini, sedikit dingin. Maka dari itu, Melody sekarang menggunakan jaket yang cukup tebal, agar tidak masuk angin. Melody melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. "Ano mana sih? Kok lama banget, ya?" gumamnya. Cahaya matahari sudah mulai menerangi bumi, Melody kembali lagi melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangannya. Kemana Rivano? Apakah dia lupa untuk menjemputnya? Atau... ah iya, Melody ingat. Mungkin Rivano menjemput Michelle terlebih dahulu. "Bisa bulukan lama-lama, kalau aku nungguin mereka." Melody menghembuskan nafasnya kasar. Waktu terus berputar, sampai akhirnya ada sebuah mobil berwarna abu-abu, berhenti tepat di depan gerbang rumah Melody. Melihat ada mobil, Melody segera berdiri dan berjalan menuju mobil itu. Si pemilik mobil, membuka kaca mobilnya. Melody menghela nafas kasar, ternyata bukan Rivano yang menjemputnya.
"Lah? Kenapa, kamu yang jemput aku?" tanya Melody, kepada Si Pemilik mobil. Ya siapa lagi kalau bukan Clay.
"Aku disuruh Rivano jemput kamu, katanya dia mau jemput Michelle. Udah masuk cepet, nanti telat," titah Clay, dan dibalas anggukan kepala oleh Melody.
Setelah Melody masuk ke dalam mobil itu, Clay segera melajukan mobil itu. Membelah jalan raya yang masih tampak sepi, karena ini masih sangat pagi. Tak terasa, hanya membutuhkan waktu kurang lebih 4 jam saja untuk sampai di puncak. Clay dan Melody telah sampai di villa, milik keluarga Rivano. Mereka turun dari mobil, dan mulai melangkahkan kaki mereka, untuk masuk ke dalam villa itu. Di dalam villa, sudah ada Alma, Habelia, Rivano, dan... Michelle. Sialnya, Melody menyaksikan sendiri saat ini Rivano tengah bermesraan dengan Michelle. Walaupun hanya merangkul pundak Michelle saja, dengan posisi duduk di sofa. Tapi tetap saja, hal itu membuat hati Melody sakit.
"Hai guys!" sapa Melody, kepada empat orang yang ada di dalam villa itu. Seketika, empat orang itu menatap ke arah ambang pintu. Di sana ada Melody dan Clay yang masih berdiri.
"Aaaaa! Ody! Aku kira, kamu gak akan ikut liburan loh. Soalnya 'kan kemarin kamu bilang, kalau Ibu sama Ayah kamu, kecelakaan." Alma berlari kecil menghampiri Melody, lalu memeluk tubuh Melody erat. Sama seperti Alma, Habelia pun begitu. Sahabat terbaiknya, ternyata ikut liburan bersama.
"Kita seneng, kalau kamu ikut liburan," ucap Habelia. Melody menampilkan sederet gigi putihnya. "Tenang aja, kali. Aku gak mungkin ingkarin janji aku, udah ada Paman sama Bibi aku, kok. Mereka jagain Ibu sama Ayah, sampai sadar," terang Melody. Alma, Habelia, dan Clay, mengangguk-anggukan kepala mereka, tanda mengerti.
"Oh iya, ayo Ody. Kita duduk di sana." Habelia menarik Melody menuju sofa, di sana ada Rivano dan Michelle. Kini, mereka semua sudah duduk di sofa. Rivano sedari tadi hanya mendiami Melody, tak berniat menyapa sama sekali. Sakit rasanya, tapi Melody tidak boleh menangis, ada sahabatnya yang peduli kepadanya.
"H-hai, Michelle," sapa Melody kepada Michelle, disertai dengan senyuman tulusnya.
"Hai, Ody. Apa kabar?" sapa Michelle balik, so ramah.
"Aku baik, kamu gimana?"
"Sama, baik kok. Oh iya, aku turut prihatin ya, atas kejadian yang menimpa Ibu sama Ayah kamu, kasian banget." Kedengaran dari intonasi bicara Michelle barusan, seperti mengejek keluarga Melody. Alma dan Habelia menatap Michelle dengan tatapan tak suka. Memang, sejak mereka melihat Michelle untuk pertama kalinya, mereka sudah tidak suka. Bagaimana tidak suka? Pakaian Michelle saat ini saja, tidak pantas untuk dipakai berlibur di puncak. Dengan celana jeans pendek yang ia gunakkan, serta baju dengan belahan dadanya yang sedikit kelihatan.
"Iya, makasih ya, Michelle." Alma dan Habelia masih terus menatap Michelle, dengan tatapan tidak suka. Sampai akhirnya, Rivano berdehem.
"Ekhm," dehem Rivano. "Kenapa kalian berdua, lihatin Michelle sinis gitu? Ada yang salah?" lanjutnya, bertanya kepada Alma dan Habelia dengan sinis. Sedangkan Alma dan Habelia, hanya memutar kedua bola mata mereka barengan.
"Siapa yang lihatin dia sih? Kepedean banget," ucap Alma malas. "Hooh, kita tuh lihat pemandangan tuh. Halamannya bagus." Timpal Habelia, seraya menunjuk ke arah luar villa, yang terlihat cukup indah. Rivano turut melihat, arah tunjuk Habelia. "Ohh..." ucapnya singkat. "Weh, udah yok. Kita masuk kamar dulu, Ody sama Habel ya, Alma sama Michelle, dan aku sama Vano," ucap Clay. Tidak, Alma tidak mau sekamar dengan Michelle. "Oi! Aku gak mau, sama cewek nyebelin! Pengen sama Ody," rengek Alma. Jujur saja, memang Alma sangat suka kepada Michelle. "Gak ada bantahan!" tegas Rivano, setelah itu dia pergi menuju kamarnya, yang ada di dekat dapur villa.
🥀🥀🥀🥀
Hari sudah semakin sore, kini mereka berenam sedang bersiap-siap, untuk memasak sayur, yang akan mereka makan untuk makan malam. Ya, mereka adalah Melody, Rivano, Alma, Habelia, Michelle, dan Clay. Para cewek, memasak di dapur. Sedang cowok, sudah stay di meja makan, sembari memainkan ponsel mereka. Harum masakan sudah tercium, wangi sekali. Rivano menebak- nebak, kira-kira siapa yang memasak. "Van, siapa yang masak ya? Wangi gini," tanya Clay kepada Rivano, tanpa menatap Rivano. Rivano menoleh sebentar, lalu kembali melanjutkan aktivitas bermain ponselnya.
"Michelle, aku tahu pasti dia yang masak. Karena emang, dia ada di jurusan tata boga," jawab Rivano, dengan sangat santai. Tak lama, datanglah para cewek. Dengan membawa makanan yang baru saja mereka masak, mereka menyiapkan nasi juga. Menyendokkan nasi itu ke piring, kemudian duduk di kursi masing-masing.
"Waw! Siapa yang masak?" tanya Clay heboh.
"Ody, kenapa?" jawab dan tanya Alma, kepada Clay. Tiba-tiba, Rivano terbatuk. Karena memang dia sudah mulai memakan makanannya duluan, sudah sangat lapar.
"Uhuk... uhuk...." Rivano terbatuk. Dengan cepat, Michelle mengambilkan minum untuk Rivano. Yah, Melody gagal menjadi penyelamat Rivano. "Kamu, kenapa?" tanya Habelia kepada Rivano, dengan keningnya yang berkerut. "Eng-gak gapapa," jawab Rivano terbata. Gila, ini bener Ody yang masak? Enak banget, batin Rivano. "Gimana masakan aku, Ano? Enak gak?" tanya Melody, meminta pendapat Rivano. Rivano memasang wajah datarnya, sangat gengsi jika harus mengatakan kalau masakan Melody enak. "Gak enak! Keasinan tahu, gak? Gak becus banget sih lo, masak," ketus Rivano.
Mendengar itu, Melody mendadak murung. Dia sedih, pacarnya mengatakan kalau dirinya tidak becus memasak. Mereka semua yang ada di meja makan, heran dengan jawaban Rivano. Pasalnya, masakan Melody sangat enak. Mengapa Rivano bilang, kalau masakan Melody tidak enak? Ah, aneh sekali pria itu. "Jangan percaya, Ody. Vano bohong, enak kok masakan kamu," ucap Clay, membuat Melody menampilkan senyumannya. "Makasih, Clay." "Sama-sama, Vano mah gengsi aja. Dia mau bilang masakan kamu enak, tapi malu." Rivano langsung menatap Clay tajam, sementara yang ditatap tajam, hanya menampilkan cengiran khasnya saja. Dalam hati, Rivano terus merutuki Clay. Kenapa Clay bisa mengetahui, isi hati Rivano Jangan-jangan, Clay cenayang.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.