Aku juga masih manusia, punya hati dan perasaan. Jadi, jangan seenaknya nyakitin
hati aku,MelodyPagi ini, udara terasa begitu sejuk. Tidak seperti kemarin, walaupun hari sudah siang, tapi udara terasa sangat dingin. Melody, beserta sahabat-sahabatnya, sudah bangun dari tidurnya sejak subuh. Mereka pagi ini akan melaksanakan highking. Sesuai dengan rencana mereka, kemarin. Di ruang tamu villa, mereka berkumpul. Menunggu seorang gadis, yang berdandan terlebih dahulu sebelum memulai highking. Ya siapa lagi kalau bukan Michelle, gadis centil juga manja itu.
Mereka sudah menunggu Michelle, selama kurang lebih sepuluh menit. Namun, Michelle tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Kesal? Sudah dapat dipastikan, mereka semua yang menunggu Michelle, kesal. Bukannya kenapa, tapi karena matahari hampir saja menampakkan dirinya. Rencana mereka ingin sampai di puncak bukit, tepat saat matahari terbit, gagal total karena kelamaan Michelle ketika berdandan.Setelah menunggu dengan kesal yang melanda, akhirnya Michelle keluar dari kamar. Mereka cengo melihat penampilan Michelle. Bagaimana tidak? Michelle menggunakan lipstik yang lumayan tebal, bedak pun dia pakai cukup tebal, tak lupa high heels, yang dia gunakan. Melody berkacak pinggang, menggeleng-gelengkan kepalanya beberapa kali.
"Gila, mau kemana kamu, Michelle?"
Yang lainnya saat ini sedang menahan tawa, hampir saja tawa mereka pecah. Coba saja kalau pecah, mungkin Michelle sudah marah-marah, seperti anak kecil.
Michelle menatap Melody tak suka.
"Mau highkinglah, kenapa? Mau komen penampilan aku?" tanyanya ketus.
Harus ekstra sabar memang, menghadapi gadis seperti Michelle. Centil sih boleh, tapi harus wajar.
"Wajar aku komen, penampilan kamu. Lihat, kita mau highking, Chell. Bukan ke undangan," komentar Melody.
Habelia memutar kedua bola matanya malas. "Tau tuh, ribet banget jadi cewek."
"Stop, udah jangan komentarin Michelle lagi!" tegas Rivano, dan seketika mereka yang ada
di ruangan itu, terdiam.
Bagaimana bisa, Rivano membela Michelle? Padahal, di sini sudah jelas-jelas Michelle yang bersalah. Pakaiannya yang tak wajar, untuk highking. Membuatnya harus dikomentari oleh orang-orang.
"Kenapa sih, Van? Kamu selalu belain Michelle, siapa sih sebenernya pacar kamu? Michelle,
atau Ody?" tanya Alma, dengan intonasinya yang meninggi.
Tak habis pikir, Alma benar-benar heran dengan Rivano. Sudah jelas, Melody pacar Rivano. Tapi, Rivano malah sering memberi perhatian kepada gadis lain, dan tentu itu bisa membuat hati Melody sakit."Emangnya, kenapa? Melody emang pacar aku, tapi Michelle sahabat aku juga. Mereka
sama-sama penting, dalam hidup aku," ucap Rivano, sama seperti Alma, dia juga menaikkan intonasi bicaranya.
Alma kembali memutar kedua bola matanya malas. "Halah, aku tahu. Semua ucapan kamu
tadi, bohong. Bilang aja, kalau kamu jadi pacar Ody, karena terpaksa, iya 'kan? Ngaku!"
Intonasi bicara Alma semakin meninggi, rasa kesalnya kepada Rivano semakin memuncak.
Untung Melody berada di sebelahnya, sehingga Melody bisa menenangkannya, dengan cara mengusap-ngusap punggungnya, beberapa kali.
"Sabar, Al. Kita mau highking, tolong jangan emosi. Aku gak mau, kalau acara liburan kita,
harus hancur. Cuma gara-gara pertengkaran kalian," ucap Melody.
"Dan, buat kamu Ano. Aku juga minta, jaga emosi kamu. Sabar," lanjutnya.
Rivano dan Alma saling melemparkan tatapan satu sama lain. Kalau bukan karena
permintaan Melody, mungkin mereka berdua akan terus berdebat. Dan mungkin juga,
rencana mereka untuk highking, akan batal.
"Udah, mending sekarang kita mulai jalan. Matahari udah mau nongol noh, ayo lah bro."
Clay merangkul Rivano, membawanya untuk berjalan bersama di depan, sementara para
cewek di belakang.
Burung-burung mulai berkicau, ayam pun beberapa kali berkokok. Menandakan hari sudah pagi, dan orang-orang siap untuk melakukan aktivitas mereka kembali, seperti biasa. Matahari, sudah menampakkan cahayanya, tapi itu tak membuat Melody beserta sahabat-sahabatnya, untuk membatalkan highking mereka.
Tidak terasa, mereka sudah berada di pertengahan perjalanan. Keringat sudah membasahi tubuh mereka, tapi itu tak membuat mereka merasa lelah, justru mereka semakin bersemangat. Tapi, berbeda dengan Melody. Dia justru mendadak tidak bersemangat, karena melihat Rivano yang terus menggandeng tangan Michelle.
Di sini, status Melody sebagai pacar Rivano. Tapi, Rivano malah menggandeng tangan
wanita lain. Tak apa, Melody akan berusaha untuk bersabar. Tetapi, jika nanti Melody sudah benar-benar lelah menghadapi sikap Rivano, maka Melody akan memutuskan untuk menyerah. Aku harus sabar, gak boleh jadi cewek cemburuan, batin Melody.🥀🥀🥀🥀
Tepat pukul satu siang, Melody dan sahabat-sahabatnya sudah berada di puncak gunung. Telat satu jam, dari rencana mereka. Seharusnya, mereka berada di puncak gunung, pukul dua belas siang. Tapi tak apa, toh belum sore juga. Mereka bisa cepat, sampai di puncak gunung. Karena mereka tidak beristirahat terlebih dahulu, selama perjalanan. Memaksakan, agar bisa sampai di puncak gunung, sebelum matahari tenggelam. Dan sampai di puncak gunung pun, Michelle dan Rivano masih setia, berpegangan tangan.
Sungguh, bukannya bahagia karena liburan, Melody justru merasakan sakit hati yang teramat.
"Yuhuuu! Guys, foto kuy?" ajak Clay.
Dengan kompak, mereka semua yang ada di sana, menganggukan kepalanya mantap.
Beberapa kali mereka berfoto, dan hasil fotonya bagus-bagus. Berbeda menurut Melody, foto itu tidak bagus. Mengapa? Karena Rivano yang merangkul Michelle, bahkan ada satu foto, Rivano... mencium pipi Michelle. Kini, mereka semua sedang duduk. Menikmati udara segar, di atas puncak gunung. Melody menyandarkan kepalanya di pundak Habelia.
"Bel, aku minjem pundak kamu ya?
Aku capek."
Habelia menatap Melody sebentar, kemudian mengangguk. "Ya elah, Mel. Kayak sama siapa
aja, senderan aja kali, di pundak aku."
"Vano, aku haus," keluh Michelle.
"Kamu haus? Sebentar, aku bawa minum kok." Rivano mengeluarkan sebotol air minum, dari
dalam tasnya. Kemudian, memberikannya kepada Michelle. Pasti, Melody menyaksikan itu dengan rasa cemburu. Rivano sangat perhatian kepada Michelle, kepada dirinya? Tidak pernah, dari awal pacaran sampai sekarang, tidak pernah.
"Bel, hati aku sakit banget."
Cairan bening, mulai mengalir membasahi kedua pipi mulus Melody. Betul, Melody
menangis.
"Aku tahu, hati kamu sakit banget. Makanya, kamu putusin aja sih, Si Vano. Daripada hati
kamu terus-terusan sakit."
Melody menggelengkan kepalanya. "Enggak, aku gak mau. Aku masih ingin berjuang,
mempertahankan cinta aku untuk Ano."
Miris sekali, Melody hanya berjuang mempertahankan hubungannya dengan Rivano sendirian. Sementara Rivano, enak-enakan bermesraan dengan gadis lain.
"Kamu tahu? Rivano sebenernya terpaksa jadian sama aku."
"Apa? Terpaksa?" beo Alma tiba-tiba, dia baru saja duduk di samping Melody, tanpa Melody
ketahui. Melody mengangguk.
"Iya, dia terpaksa."
"Kenapa terpaksa?" tanya Habelia.
Melody menegakkan posisi tubuhnya, menjadi duduk dengan kaki bersila.
"Aku belum siap, untuk menceritakan semuanya. Intinya, perlu kalian tahu aja. Kalau Rivano itu, terpaksa jadi pacar aku. Makanya, dia lebih perhatian sama Michelle," jawab Melody, dengan wajahnya yang kini sudah sembab.
"Tapi, kalian jangan berpikiran buruk ya. Michelle itu, cuma sahabat Rivano, gak lebih kok," lanjutnya, berbohong.
Melody terpaksa harus berbohong, dia tak ingin kebusukan Rivano harus diketahui oleh
Alma dan Habelia. Ano, lihat. Aku bahkan gak mau, kebusukan kamu sampai diketahui, sama Alma, juga Habel, batin Melody.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayo, Berakhir
Teen FictionMelody memandang ke arah luar jendela, sampai kapan penderitaannya berakhir? Kapan ia bisa bahagia? Melody capek, ia mendapat tekanan dari Papanya, kekasihnya, dan juga Michelle, teman lamanya. Tanpa disadari, air mata Melody sudah mengalir memba...