Kecelakaan Ayah Ibu

1 1 0
                                    

Di dunia ini, tidak ada yang namanya mantan orang tua, maupun mantan anak. Pada hari Jum'at ini, Melody menghabiskan waktunya seharian di rumah. Melody membersihkan rumah itu, serta memasak untuk makan siang, juga makan malam. Penat, tapi tak masalah. Melody merasa aneh, tumben sekali rumahnya sepi. Biasanya, William dan Lauren sudah duduk di bangku yang ada di halaman belakang rumah. Ada yang janggal dalam benak Melody, ia merasa tidak enak dengan keadaan kedua orang tuanya. Sudah sejak pagi kedua orang tuanya pergi, tapi sampai siang ini belum pulang. Padahal sekarang sudah tengah hari. Sebaiknya tidak perlu Melody pikirkan, lebih baik ia melanjutkan aktivitasnya membersihkan rumah, sampai benar-benar bersih dan rapih. Agar kedua orang tuanya tidak mengomeli dan memarahinya. Keringat sudah membasahi tubuh Melody, dia mendudukkan tubuhnya di sofa, yang ada di ruang tamu, penat sekali rasanya. Melody berharap, semoga saja rasa penatnya dapat tergantikan dengan rasa bahagia, yang orang tuanya berikan kepadanya.
"Capek banget."
Entah sudah berapa kali, Melody mengeluh capek. Memang, pekerjaan yang seharusnya dikerjakan secara bersama-sama, malah Melody kerjakan sendirian. Melody melirik jam dinding, yang menempel di dinding ruang tamunya. Sudah jam dua belas siang, lewat lima belas menit. Tapi, mengapa tanda-tanda kedatangan kedua orang tuanya tak kunjung ada? "Aduh, Ayah sama Ibu kemana ya? Kok aku jadi khawatir?" monolog Melody. Gelisah sekali, jika memikirkan keberadaan kedua orang tuanya saat ini. Walaupun sikap kedua orang tuanya, selalu menyakiti hati Melody. Tetapi sebagai anak, Melody akan tetap menyayangi mereka. Karena tidak ada mantan orang tua, maupun mantan anak, begitu pikir Melody. Sebagai anak, kita harus berbakti kepada kedua orang tua. Mau bagaimanapun juga, merekalah yang sudah membesarkan kita dan menjaga kita sampai saat ini. Rasa sesal akan menghampiri kita, jika kita menyakiti hati mereka. Apa lagi jika mereka telah tiada, hidup ini rasanya hampa. Tidak ada lagi suara lembut Ibu, tidak ada lagi suara Ayah yang tegas.

"Tenang Ody, pokoknya aku harus berpikiran positif. Pasti sebentar lagi, Ayah sama Ibu pulang." Melody berdiri, ia berniat menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya saat 
ke puncak besok. Jaket, selimut, syal, topi, dan pakaian ganti lainnya, sudah Melody masukkan ke dalam sebuah tas ransel, yang ukurannya lumayan besar. Tak lupa, Melody memasukkan obat-obatan, serta beberapa camilan ke dalam tas itu. 
"Beres, aku gak sabar deh. Kayaknya seru, tapi... ada Michelle," ucap Melody, diakhiri dengan lirihan diakhir kata-katanya. Jika sudah mengingat nama Michelle, Melody sangat malas. Menurutnya, Michelle itu perempuan yang tidak punya malu, dia dengan seenaknya mendekati pacar orang. Kelihatan dari penampilan Michelle juga, dia perempuan nakal. Bajunya selalu seksi, dan terbuka. Lelaki mana yang tidak tergoda melihatnya?
"Aku gak boleh kesel sama Michelle, aku harus yakin. Kalau Ano bisa jadi milik aku, seutuhnya." Senyuman terukir di wajah Melody, ia sangat yakin, jika nantinya Rivano akan menjadi miliknya penuh. Dalam kehidupan ini, kita harus optimis dan yakin. Yakini bahwa hal baik akan menerpa kehidupan kita, dan hal buruk akan pergi dari kehidupan kita. Karena roda kehidupan itu benar-benar berputar, kadang kala kita berada di atas, tapi kadang pula kita berada di bawah. Kuncinya hanya satu, yaitu sabar.
"Lebih baik, sekarang aku istirahat dulu deh. Buat ngilangin rasa khawatir, sama rasa kesel aku," gumam Melody pelan. Melody menaiki kasurnya, ia mulai merebahkan tubuhnya di atas kasur itu. Tapi, baru saja Melody merebahkan tubuhnya di atas kasur. Bunyi telepon rumah, membuatnya harus segera mengangkat telepon itu.
Dengan cepat, Melody mengangkat telepon yang ada di ruang tamu rumahnya itu.
"Halo." Ucap, Melody
"Halo, apa ini dengan saudari Melody?"
"Iya benar Mba, kenapa ya? Ada apa?"
"Saya hanya ingin memberi tahu, kalau Tuan William dan Nyonya Lauren, sekarang sedang berada di rumah sakit Permata Indah. Mereka kecelakaan, jadi korban tabrak lari."
Seketika kedua bola mata Melody membulat, air mata mulai mengalir membasahi kedua pipinya. Benar, perasaan tidak enak dan khawatirnya sekarang terbuktikan. "M-makasih Mba infonya, saya akan segera ke sana." Telepon dimatikan secara sepihak oleh Melody, dia mengambil tas slempangnya cepat. Pakaiannya? Biasa saja, hanya menggunakan kemeja berwarna coklat kotak-kotak, serta bawahan hanya celana jeans berwarna putih.
Tunggu Ody, Bu, Yah. Kalian harus bertahan, Ody sayang sama kalian, batin Melody.  Melody segera memesan taksi online, pikirannya sudah benar-benar kalut. Dia takut, jika harus segera kehilangan kedua orang tuanya. Dia tidak ingin jadi anak yatim piatu, lebih baik kedua orang tuanya bersikap kasar kepadanya, daripada harus meninggalkannya selamanya.

🥀🥀🥀🥀

Di sebuah rumah mewah, Michelle beserta keluarganya sedang makan siang bersama. Keluarganya memang sudah tidak lengkap, hanya ada Bibi dan Neneknya saja. Ibu dan Ayahnya sudah meninggal beberapa tahun silam, akibat dibunuh oleh orang yang tak dikenal. Kehidupan Michelle sangat mewah, namun kemewahan itu Michelle dapatkan, karena ia sering memoroti lelaki yang sedang dekat dengannya. Contohnya, Rivano. Dengan bodohnya, Rivano mau membelikan setiap permintaan Michelle, tanpa berpikir terlebih dahulu.
"Nek, Michelle minta uang dong. Michelle pengen ke salon," pinta Michelle, kepada Queen, Sang Nenek yang saat ini berusia, 65 tahun. Queen menatap Michelle tajam, boros sekali cucunya itu. "Gak! Kamu ini ya, ke salon mulu. 
Bukannya cari kerjaan, bantu tuh Bi Saskya." Michelle memanyunkan bibirnya. "Ih Nenek, aku juga kan harus ke salon. Lihat nih rambut aku, kusut gini."
"Michelle, udah deh kamu jangan kecentilan banget. Mending kamu manfaatkan masa-masa muda kamu, dengan bekerja, atau kuliah," nasehat Saskya.
Hembusan nafas kasar, terdengar keluar begitu saja dari mulut Michelle. Ini alasan mengapa Michelle tidak betah berada di rumah, Neneknya dan Bibinya selalu saja menasehatinya.
"Bi, Nek. Michelle pengen banget kayak temen-temen Michelle. Mereka sama kayak kita, orang kaya. Tapi mereka selalu dikasih uang sama orang tuanya," rengek Michelle. Keras kepala sekali Michelle ini, bukannya Queen dan Saskya tidak mau memberinya uang. Tapi jika Michelle terus-menerus dimanja seperti ini, kapan akan mandirinya? Uang mereka banyak, tapi tidak untuk dihambur-hamburkan juga.
"Tidak Michelle! Nenek ingin kamu merasakan, bagaimana susahnya jadi orang sukses. Jangan hanya meminta terus, berusaha!" tegas Queen.
Lagi, Michelle memanyunkan bibirnya. Kali ini dia menatap Saskya, Sang Bibi.
"Bi, bantu dong," rengek Michelle.
Saskya tidak bisa membantu apa-apa, toh memang benar apa kata Queen. Tidak seharusnya Michelle dimanja terus-terusan, dia harus bekerja.
"Maaf Michelle, Bibi gak bisa bantu kamu." Sudahlah, jalan satu-satunya agar Michelle bisa menikmati kekayaan adalah, dengan memoroti Rivano.
"Tau ah, Michelle udah gak mood makan." Michelle bangkit dari posisi duduknya, kemudian meninggalkan meja makan. Saskya menggelengkan kepalanya beberapa kali, pusing menghadapi tingkah satu keponakannya itu yang selalu saja membuat dirinya pusing. “Dasar anak gak tahu diuntung,” kesal Saskya.

 “Dasar anak gak tahu diuntung,” kesal Saskya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ayo, BerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang