Anak Durhaka

1 1 0
                                    

Segalak-galak apapun seorang Ibu, pasti anak akan tetap sayang kepada Ibunya. Begitu
juga, kepada Ayahnya. Melody

Setelah menempuh perjalan selama kurang lebih empat jam, akhirnya Melody sudah tiba di tempat tinggalnya. Clay mengantarkannya sampai di rumahnya, setelah itu Clay melanjutkan mengantar Alma dan Habelia.
Melody memasuki rumahnya, membersihkan tubuhnya, lalu membaringkan tubuhnya di atas kasur. Beristirahat sejenak, sampai dia teringat akan satu hal. Kondisi kedua orang tuanya, dia tidak tahu. Posisi tubuh Melody, kini menjadi terduduk di atas kasur. Entah kenapa, feelingnya mengatakan kalau kedua orang tuanya, sudah baik-baik saja. Rasa penasaran sudah benar-benar menyelimuti diri Melody. Tak ingin diselimuti dengan rasa penasaran yang teramat, Melody segera bersiap-siap. Dia memutuskan akan pergi ke rumah sakit, melihat bagaimana kondisi kedua orang tuanya sekarang. Hanya menggunakan pakaian yang simple saja, hoodie berwarna biru langit, dan celana jeans berwarna senada dengan hoodie itu. Rambutnya, dia biarkan tergerai begitu saja. Melody memesan taksi online terlebih dahulu. Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya taksi online yang Melody pesan, kini tiba di kediamannya. Dengan gerakan yang begitu cepat, Melody segera memasuki taksi online itu. Dan, sangat tidak terasa, kini taksi online itu sudah tiba di rumah sakit tujuan Melody. Melody turun dari taksi online itu, lalu membayar ongkos.
"Pak, ini ongkosnya. Kembaliannya, ambil aja." Melody menyerahkan dua lembar uang
seratus ribuan. Supir taksi itu, menerimanya dengan senyuman kebahagiaan, rejeki memang sudah ada yang mengatur.
Setelah membayar ongkos, Melody segera melangkahkan kedua kaki jenjangnya, memasuki rumah sakit tujuannya. Sebelumnya, Melody menanyakan terlebih dahulu, di mana ruang rawat kedua orang tuanya. Ternyata, kedua orang tuanya sudah dipindahkan ke ruang rawat. Mendengarnya, hati Melody terasa sangat bahagia. Rasanya sudah sangat tidak sabar, ingin melihat bagaimana kondisi kedua orang tuanya. Melody mempercepat langkah kakinya, hingga akhirnya ia tiba di depan sebuah ruang rawat, dengan pelan Melody membuka knop pintu ruang rawat itu.
"Permisi, selamat pagi," salam Melody.
Pintu ruang rawat, sudah benar-benar terbuka. Di sana ada William, Lauren, Nana, Antonio, Clarice, Jefan, dan juga Rivano. Hey, sejak kapan Rivano ada di sana? Bukankah Rivano bersama Michelle?
William dan Lauren melemparkan tatapan tajam, kepada Melody. Dan itu otomatis membuat kening Melody berkerut, dia bingung. Apakah dia salah?
"Mau apa lagi, kamu anak durhaka?" tanya Lauren, kepada Melody. Kedengaran dari intonasi bicaranya, dia sangat emosi.
"Anak durhaka?" beo Melody.
Posisi Melody, kini masih berada di ambang pintu ruang rawat itu. Nana segera menarik
tubuh Melody secara perlahan, agar segera memasuki ruang rawat itu, dan menutup pintu.
"Iya, kamu anak durhaka. Di saat kami sedang mengalami masa koma, kamu malah enak-
enakan berlibur," jawab William.
Suasana ruang rawat itu, mendadak hening. Membiarkan William dan Lauren,
menyampaikan unek-unek mereka, kepada Melody.
"Maaf, Bu, Yah. T-tapi, Ody juga ingin liburan," ucap Melody lirih.
Lauren menghembuskan nafasnya kasar, semakin memberikan tatapan tajam kepada Melody.
"Seharusnya, kamu lebih mementingkan kami. Memang, kamu itu anak tak tahu diri, masih
mending saya mau merawat kamu, dari kecil. Coba kalau tidak? Mungkin, saya sudah
membuang kamu," ucap Lauren ketus.
Ucapan Lauren barusan, benar-benar membuat hati Melody begitu teriris. Selama ini, dia sangat menyayangi Lauren, walaupun Lauren itu Ibu tirinya. Tapi, ternyata Lauren tidak benar-benar menyayangi Melody.
Kedua manik mata Melody, sudah berair. Di pelupuk matanya, cairan bening sudah siap
mengalir, membasahi kedua pipi mulusnya.
"J-jadi, Ibu gak sayang sama Ody?" tanya Melody, terbata. William terkekeh, mendengar pertanyaan bodoh Melody.
"Kamu pikir saja sendiri, kalau Ibu kamu tidak sayang sama kamu. Mungkin kamu sejak
dulu, sudah dibuang. Bahkan, Ibu kamu tidak akan merawatmu. Seharusnya, kamu tahu diri," ucap William, cuek.
"Kak, jangan bicara seperti itu," peringat Nana.
"Iya, betul apa kata Nana. Kasihan Melody," timpal Clarice.
Cairan bening, sudah mengalir membasahi kedua pipi mulus Melody. Rasanya, Melody
sangat tak kuat, menahan cairan itu agar tidak turun, membanjiri kedua pipinya. Kini, Melody
mulai terisak.
"Gak usah pura-pura nangis, lebih baik kamu pulang. Kami tidak butuh perhatian dari kamu, anak durhaka," usir Lauren.
Melody masih berdiri di tempatnya, tidak berniat pergi dari tempat itu.
"Apa kamu tidak dengar? Sekarang, kamu pergi. Kami, tidak ingin melihat wajahmu!" tegas William.
Oke, William dan Lauren sudah mengusirnya. Baiklah, Melody akan pergi dari tempat itu.
"Oke, Ody pergi ya, Bu, Yah. Semoga, kalian bisa segera keluar dari rumah sakit."
Final, setelah mengucapkan itu, Melody melangkahkan kedua kaki jenjangnya keluar ruang rawat itu. Entah akan pergi ke mana, intinya dia akan pergi ke tempat, yang bisa membuat dirinya tenang.

🥀🥀🥀🥀

Hari sudah semakin gelap, namun Melody masih tetap berada di sebuah pemakaman. Tempat itu, tempat yang biasa Melody datangi, di saat sedang sedih. Tempat itu pula, tempat terakhir Melody, melihat Raya, Ibu kandungnya. Beberapa kali, Melody mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Raya Maleakhi, Melody memeluknya dengan erat. Bahkan sesekali, dia menyandarkan tubuhnya di samping nisan itu. Rindu rasanya, jika Melody kembali mengingat masa kecilnya. Masa-masa di mana Raya, memberikannya kehangatan. Raya, selalu memberikannya kasih sayang.
"Bu, Ody kangen..."
Cairan bening itu, tidak henti-hentinya mengalir. Membanjiri kedua pipi mulus Melody.
"Bu."
"Ayah, jahat."
"Bu, Ody pengen dipeluk Ibu. Ody pengen disayang Ibu, lagi. Ody pengen disuapin Ibu, Ody kangen, Ody kangen Ibu. Bu, Ody pengen lihat Ibu." Percuma saja, mau berucap bagaimana pun. Dan mengadu seperti apapun, Raya tidak akan menjawabnya, dan tidak akan memberi respon apapun. Langit sudah semakin gelap, terdengar suara gemuruh beberapa kali. Air sudah mulai membasahi bumi, hujan sudah turun. Sepertinya, bumi turut merasakan kesedihan yang dialami Melody. Baju Melody sudah basah, bahkan tubuhnya sudah hampir menggigil. Namun, hal itu tidak membuat Melody pergi dari tempat itu.
Walaupun tempat itu sudah gelap, Melody tidak takut. Toh, di dunia ini tidak ada setan juga.
"Bu, Ody pengen di sini terus. Nemenin Ibu..."
Hujan turun semakin deras membasahi bumi, Melody tak peduli. Yang penting, dia bisa
menyalurkan rasa sedihnya di tempat ini. Memang, jika ada yang melihat Melody, pasti
banyak yang mengira Melody itu orang gila. Kenapa? Karena Melody tetap mengajak
berbicara batu nisan yang ada di hadapannya, padahal Raya tidak akan memberi respon
apapun. Tidak hanya itu, jika dia mengingat kenangan indah bersama Raya, dirinya sesekali tersenyum sendiri, mengerikan bukan?
"Bu, jangan diam aja!"
Tangisan Melody semakin pecah, bersamaan dengan hujan yang turun membasahi bumi,
semakin deras. Tapi, tunggu dulu. Kenapa, tubuh Melody tidak basah lagi?
Melody menengadahkan kepalanya, perlahan-lahan melihat ke atas. Dan..ternyata ada payung, berwarna pelangi. Itu tandanya, ada orang yang memayunginya. Setelah melihat payung itu, Melody melihat siapa orang yang memayunginya. Dia, lelaki
yang sangat Melody cintai dan sayangi. Lelaki kedua, setelah Ayahnya. Yang berhasil
membuat Melody jatuh hati. Lelaki itu, memasang wajah datarnya.
"Jangan nangis di sini, nanti sakit, ayo pulang. Jangan geer juga ya, aku ajak kamu pulang,
cuma karena aku, gak mau kamu sakit," ucap lelaki itu, datar.

 Jangan geer juga ya, aku ajak kamu pulang, 
cuma karena aku, gak mau kamu sakit," ucap lelaki itu, datar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Ayo, BerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang