Cinta itu tumbuh sendiri, tidak bisa dipaksakan untuk tumbuh, dan tidak bisa pula dipaksakan untuk hilang.
Matahari terlihat lebih terik hari ini, membuat siapa saja yang berada di bawah matahari itu, akan merasakan panas. Termasuk seorang gadis berambut pirang, juga panjang itu. Di hari libur seperti ini, ia malah diberikan hukuman oleh William, Ayahnya.
Hukumannya pun cukup berat, ia disuruh menyapu halaman rumahnya yang cukup luas. Beginilah nasib Melody, setelah ia mendapat Ibu baru. Padahal, dulu hidupnya sangat enak.
Sebelum Ayahnya menikah lagi, jika liburan seperti ini, Melody selalu liburan bersama Ayahnya. Tetapi entah kenapa, setelah Ayahnya menikah lagi, setiap hari libur Melody selalu disuruh membersihkan rumah. Untung saja besok sudah kembali bersekolah, Melody tidak merasakan cemas lagi. Karena sudah masuk sekolah, ia tidak akan dijadikan babu lagi, pikirnya. Melody menghembuskan nafasnya lega, pekerjaannya selesai juga. Ia menghapus keringat yang mengalir di keningnya. "Akhirnya beres juga."Senang bukan main, saat ia melihat halaman rumahnya itu sudah bersih. Setelah ini, ia mungkin bisa bertemu dengan Rivano, kekasihnya. Tapi, sebelum bertemu Rivano. Seperti biasa, Melody masak terlebih dahulu. Walaupun nantinya bukan Rivano yang makan, tapi tak apa. Melody, dan Rivano sudah dijodohkan. Dan, kemungkinan mereka akan segera menikah. Tetapi sayangnya, hanya Melody yang mencintai Rivano. Sementara Rivano, mencintai Michelle.
"Aku masak dulu aja deh, mumpung masih jam 11 juga." Melody melangkahkan kakinya menuju dapur di rumahnya. Sesampainya di dapur, Melody langsung mengambil bahan-bahan yang sekiranya ia butuhkan untuk memasak. Melody berniat memasak sup jagung, untuk Rivano. Harum, masakan Melody sangat harum. Melody memang termasuk anak yang berbakat dalam memasak, masakannya pun sangat enak. Melody mencicipi makanan itu. "Waw, enak juga masakan aku." Setelah memasak selama kurang lebih 20 menit, akhirnya sup jagung itu matang juga.
Melody memasukkan sup jagung itu ke dalam sebuah rantang. Setelah siap, Melody mandi terlebih dahulu, dan berganti pakaian. Hanya membutuhkan waktu 15 menit saja bagi Melody, untuk bersiap-siap. Setelah siap dengan pakaiannya, Melody memesan taksi online, untuk ia pergi ke rumah Rivano. Melody
menuruni anak tangga di rumahnya itu satu
persatu. Ia tersenyum bahagia, karena
hari ini ia akan bertemu Rivano. Namun,
senyuman bahagianya itu perlahan pudar, saat
ia tak sengaja menabrak tubuh Lauren, Ibu tirinya."Heh, kalau jalan lihat-lihat dong! Untung saya
gak jatuh dari tangga!" bentak Lauren.
Melody menundukkan kepalanya. "M-maaf
Bu.""Bisanya minta maaf mulu, sana pergi cepet.
Saya muak lihat muka kamu," usir Lauren. Dengan pelan, Melody menganggukan kepalanya. Sesampainya di ambang pintu, Melody dikagetkan oleh kedatangan William. Tampaknya William marah kepadanya, entah karena apa."Mau kemana kamu?" tanya William sinis. "Mau ke rumah Ano Yah, boleh kan?" Melody menatap William, dengan tatapan takutnya. "Keluyuran aja terus! Sekalian jangan pulang!" bentak William.
Melody menundukkan kepalanya lagi, kenapa sih ia selalu dibentak seperti ini?
"T-tapi-," belum sempat Melody menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba William memotongnya."Berani melawan orang tua kamu?!" bentak William lagi. Gelengan kepala, hanya itu yang dapat Melody berikan, sebagai jawaban.
"Gak punya mulut kamu?! Kalau orang tua nanya tuh dijawab! Bukan diam saja! Dasar, anak pembawa sial!" bentak William lagi, kemudian ia pergi meninggalkan Melody sendirian, di ambang pintu. Cairan bening mulai membasahi kedua pipi Melody, ya apalagi kalau bukan air mata. Air mata itu sudah sering membasahi kedua pipi Melody, entah itu karena orang tuanya, atau karena Ano, pacarnya sendiri.
"Eh, kok Ody malah nangis sih? Jangan nangis Dy, nanti jelek." ucap Melody pada dirinya sendiri, seraya menghapus air matanya, yang masih terus mengalir.Rasanya sangat sulit untuk memberhentikan air matanya itu, agar tidak mengalir lagi. Wajah Melody kelihatannya sudah sembab.
"Ih kok aku cengeng sih?" monolog Melody. Melody kembali menghapus air matanya. "Jangan cengeng! Kamu harus kuat Ody!"
Setelah menguatkan dirinya sendiri, Melody
langsung keluar dari rumah itu. Taksi online
yang ia pesan sudah menunggunya.🥀🥀🥀🥀
Seorang lelaki, dan seorang gadis tampaknya sangat bahagia. Mereka saling melemparkan candaan satu sama lainnya, tanpa memikirkan ada hati lain yang sakit jika menyaksikan hal ini. Mereka adalah Rivano, dan Michelle. Mereka berdua sudah menjalin hubungan sejak kelas 10 SMA. Dan sialnya, Rivano malah dijodohkan oleh Sang Mama, dengan gadis lain. Tentu saja Rivano tak terima, tapi apalah daya seorang anak, yang takut dicap sebagai anak durhaka kepada orang tuanya.
Ya, Rivano menerima perjodohan itu. Tetapi, ia masih menjalin hubungan dengan Michelle. Bahkan, jika kedua orang tuanya membahas soal pernikahan Rivano dengan gadis yang dijodohkan dengannya, Rivano malah tak perduli. Toh, nantinya Rivano juga tak akan menikah dengan gadis itu, ia akan menikah dengan Michelle, pikir Rivano."Van, kita jalan yuk?" ajak Michelle, seraya memanyunkan bibirnya.
"Kemana?"
"Bebas, asalkan jalan."
"Aku males nih, besok aja ya, pulang sekolah?" Michelle kembali memanyunkan bibirnya, layaknya anak kecil yang sedang merajuk. "Yah...."
Melihat ekspresi wajah Michelle, yang seperti kecewa, Rivano terkekeh pelan, lalu membawa Michelle ke dalam dekapannya.
"Jangan ngambek dong," goda Rivano.
"Tau."
"Nanti lama-lama kamu tua loh, kalau sering marah." Perlahan, senyuman mulai kembali menghiasi wajah cantik Michelle. Sial, rencana Michelle untuk memoroti Rivano, malah gagal. Tergantikan dengan rasa cinta yang perlahan-lahan ikut tumbuh. Ah, tapi Michelle tidak boleh jatuh cinta kepada Rivano!"Kalau mau senyum, ya senyum aja kali." Mati-matian Michelle menahan senyumannya, tapi ia nyerah. Senyuman mulai mengembang di kedua sudut bibirnya, wajahnya terlihat semakin cantik.
"Iya nih aku senyum nih." Michelle memperlihatkan senyumannya, tepat di depan wajah Rivano. Tawa bahagia, kembali terdengar. Kedua benar-benar bahagia, dan serasi. Membuat seorang gadis berambut pirang, yang sedari tadi memperhatikan mereka berdua di ambang pintu, merasakan sakit hati yang teramat.
Ya, Melody sudah sampai di rumah Rivano. Dan sialnya, ia malah menyaksikan pemandangan yang benar-benar tidak enak menurutnya."Kenapa semesta jahat banget sama aku? Sampai-sampai semua orang nyakitin hati aku," monolog Melody.
Rantang yang ada di genggamannya, ia lepaskan. Sehingga rantang itu jatuh, dan menimbulkan bunyi yang lumayan keras.
Sontak saja, hal itu membuat tawa Rivano, dan Michelle memudar. Mereka menatap Melody yang berdiri di ambang pintu dengan air mata, yang kembali mengalir lagi.
Michelle, dan Rivano menghampiri Melody. Tentunya sembari berpegangan tangan, seperti akan menyeberang saja."Ngapain kamu ke sini?" tanya Rivano tajam, dan sinis.
"Tadinya aku mau antar sup jagung buat kamu, t-tapi supnya tumpah," jawab Melody terbata.
Rivano menatap sup jagung yang tumpah di lantai rumahnya itu. "Bersihin, ambil lap pel dibelakang," titah Rivano.
Entah ada angin apa, Melody malah nurut dengan ucapan Rivano barusan. Melody hendak ke belakang, mengambil lap pel. Namun, pundaknya malah ditahan oleh Michelle.
"Gimana rasanya? Pasti sakit ya? Jangan cengeng dong, kan kamu cuma gadis pilihan tante Clarice, bukan pilihan Ano," bisik Michelle, tepat di telinga kanan Melody. "Udah gih cepetan bersihin," lanjutnya, masih dengan bisikan di telinga kanan Melody. Dengan kuat, Melody menganggukan kepalanya.
"Iya, aku tahu. Makanya aku sadar diri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayo, Berakhir
Teen FictionMelody memandang ke arah luar jendela, sampai kapan penderitaannya berakhir? Kapan ia bisa bahagia? Melody capek, ia mendapat tekanan dari Papanya, kekasihnya, dan juga Michelle, teman lamanya. Tanpa disadari, air mata Melody sudah mengalir memba...