Semuanya akan menyesal, jika sudah terlambat ~ Melody
"Jangan nangis di sini, nanti sakit, ayo pulang. Jangan geer juga ya, aku ajak kamu pulang,
cuma karena aku, gak mau kamu sakit," ucap lelaki itu, datar. Bahagia? Iya, tidak bisa dipungkiri jika Melody benar-benar bahagia saat ini. Untuk pertama kalinya, seorang Rivano memberikan perhatian kepada Melody. Sungguh, Melody ingin tersenyum saat ini juga. Tapi, rasa kaget masih menyerang dirinya. Sehingga, sampai saat ini Melody masih mematung. Hujan, sudah mulai reda. Tapi, Melody masih tetap mematung di tempatnya, begitupun Rivano. Mereka malah saling bertatapan, bahkan kini wajah Rivano sudah tidak datar lagi. Melainkan, hampir saja tersenyum. Kalau dia tidak mengingat, bahwa gadis yang ada di hadapannya itu, adalah gadis yang sangat menyebalkan.
"Heh, ayo pulang!" ajak Rivano, dan membuat Melody mengerjapkan matanya beberapa kali. Seketika, Melody gelagapan. Entahlah, jantungnya saat ini berdegup tiga kali lebih kencang daripada biasanya. Sikap Rivano pun menurutnya, berbeda. Biasanya, Rivano tidak pernah memberi perhatian kepadanya seperti ini. Tapi, kenapa hari ini tumben sekali? Apa, Rivano kerasukan arwah jin gentayangan?
"Eum, i-iya ayo." Melody berdiri, kini posisinya berdiri berdampingan dengan Rivano.
Rivano menoleh, menatap Melody yang berdiri tepat di samping kirinya.
"Kenapa, kamu gugup gitu?" tanyanya.
Lagi, Melody mengerjapkan matanya beberapa kali. Gugup? Tentu saja, Melody masih
sangat gugup, itu semua karena sikap Rivano yang sangat perhatian kepadanya.
Ini adalah salah satu bentuk perhatian Rivano kepada Melody, mungkin saja Rivano sudah
mulai sayang kepada Melody. Tapi, dia gengsi untuk mengatakannya.
"Kamu, tumben banget baik sama aku. Kerasukan setan apa?" tanya Melody dengan
polosnya. Melody menundukkan kepalanya, memainkan jemarinya yang mungil. Bajunya, perlahan-lahan sudah mulai mengering, dan kini hujan sudah benar-benar reda.
"Baik? Aku emang baik kali, dari dulu. Kamu aja, yang gak sadar," jawab Rivano ketus.
Jujur saja, ditanya kerasukan setan apa oleh Melody. Sangat kesal rasanya, memangnya dulu Rivano tidak baik?
"Mau pulang gak nih? Udah malam, takut banyak arwah berkeliaran. Mana ini di kuburan lagi," ajak Rivano. Bulu kuduk Rivano, mendadak naik. Saat dia merasakan terpaan angin malam. Ditambah, suara burung-burung berkicau, menambah kesan menyeramkan di kuburan itu.
"Hush, jangan ngomong sompral! Pamali!" tegur Melody.
"Iya, makanya. Ayo pulang, serem tahu!" tanpa babibu lagi, Rivano segera menarik lengan
Melody, agar keduanya cepat-cepat keluar dari are pemakaman itu. Keduanya, terus berjalan beriringan dengan langkah cepat. Jangan lupakan, Rivano yang terus menarik Melody, seperti anak kecil yang takut kehilangan Mamanya. Tak terasa, kini keduanya sudah tiba diparkiran khusus mobil, yang ada di area pemakaman itu. Bukannya langsung masuk ke dalam mobil, Rivano malah duduk terlebih dahulu, di sebuah batu besar yang ada di samping mobilnya, yang saat ini terparkir.
"Loh, kenapa kamu malah duduk? Tadi, paksa aku pulang," tanya Melody kepada Rivano,
dengan keningnya yang dia kerutkan.
Rivano menghembuskan nafasnya kasar. Dasar Melody ini, tak tahu apa. Kalau saat ini,
Rivano sedang menormalkan detak jantungnya, karena tadi dia melihat sekelebat bayangan putih, seperti hantu.
"Ano? Kamu kenapa sih?" tanya Melody lagi.
"Ish, sabar kali. Aku capek, tadi jalan cepet banget," jawab Rivano, kesal.
Tak ingin berdebat, Melody mendudukkan pantatnya di samping Rivano. Keduanya, duduk berdampingan. Dengan pandangan, yang menatap lurus ke arah depan. Sesekali, keduanya saling melemparkan pandangan, dan sesekali keduanya saling bertatapan.
Sepertinya, Rivano sudah mulai mencintai Melody. Buktinya, saat ini senyuman tipis mulai mengembang di kedua sudut bibirnya, untung saja senyuman itu sangat tipis, dan Melody tidak melihatnya. Coba saja kalau Melody melihat senyuman itu, mungkin dia sudah geer.
"Ano, ayoklah pulang. Udah makin malem nih," ajak Melody.
Rivano melirik arloji berwarna hitam, yang melingkar di pergelangan tangannya. Benar,
sekarang sudah pukul delapan malam. Pantas saja, perutnya sedari tadi berbunyi. Ternyata,
karena dia belum makan malam.
"Ayo, tapi sebelum pulang. Kita makan dulu ya, aku laper," ucap Rivano.
Rivano, bangkit dari posisi duduknya. Dia masuk terlebih dahulu ke dalam mobilnya, diikuti oleh Melody. Dia duduk di kursi penumpang. Melihat Melody, yang duduk di kursi penumpang. Kening Rivano berkerut. "Kenapa duduk di belakang? Sini, pindah ke depan," titah Rivano.
Melody menggelengkan kepalanya. "Gak usah, gapapa. Aku, di sini aja," tolak Melody.
"Ck," decak Rivano.
"Yaudah, terserah. Tapi, kita makan dulu ya," lanjutnya. Anggukan kepala, hanya itu yang Melody berikan sebagai jawaban. Hari ini, hatinya memang terasa sangat sakit, akibat perkataan kedua orang tuanya siang tadi. Tetapi, entah kenapa seketika hatinya terasa berbunga, saat Rivano memberikannya perhatian seperti tadi. Melody menahan senyumannya. Semoga, ini semua tanda. Bahwa Ano, mulai cinta sama aku, batin Melody.🥀🥀🥀🥀
Saat ini, Rivano dan Melody sedang berada di sebuah tempat makan, yang ada di pinggir
jalan. Keduanya memakan nasi goreng, itu adalah makanan kesukaan keduanya. Apalagi
Melody, dia memang sangat menyukai nasi goreng. Ah, jika mengingat nasi goreng, Melody jadi ingat dengan almarhumah Ibunya.
Keduanya, memakan nasi goreng itu dengan keheningan. Pelupuk mata Melody, sudah
digenangi dengan air mata. Yap, Melody hampir menangis, karena dia mengingat
almarhumah Ibunya. Sementara Rivano, sedang asyik makan, sambil memainkan ponsel. Sungguh, Melody tak dapat menahan tangisannya itu, agar tidak pecah. Kini, isakan kecil mulai terdengar, keluar begitu saja dari mulut Melody. Melody menghentikan aktivitas makannya, terlebih dahulu.
Mendengar Melody menangis, Rivano menaruh ponselnya asal di atas meja.
"Loh? Kamu, nangis? Kenapa?" tanya Rivano, cuek. Melody menggelengkan kepalanya. "Enggak, aku cuma ingat aja. Sama Ibu aku."
Cengeng sekali Melody ini, itu alasan Rivano sangat tidak suka, kepada Melody.
"Udah deh, jangan nangis lagi. Cengeng banget," omel Rivano.
"Kamu gak tahu, rasanya jadi aku. Kamu juga gak tahu, gimana rasanya rindu sama orang
tersayang. Jangan pernah bilang aku cengeng!" kesal Melody.
Rivano terkekeh pelan. "Kalau bukan cengeng, apa namanya? Strong girl? Iya?" tanyanya
bertubi-tubi.
Baru saja Melody bahagia, karena Rivano yang begitu perhatian kepadanya. Eh, tapi
sekarang Melody malah dibuat sakit hati lagi, oleh Rivano. Perkataan Rivano sangat pedas,
mungkin karena Mamanya, dahulu ngidam cabe kali ya?
"Bukan, aku bukan strong girl. Aku, cuma cewek lemah, yang selalu menyusahkan orang-orang. Makanya, kamu bilang gitu karena mau nyindir aku 'kan?" tanya Melody kepada Rivano, dengan air mata yang kembali mengalir, di kedua pipi mulusnya.
"Nyindir? Ciah elah, buat apa sih nyindir."
Air mata Melody, semakin mengalir deras di kedua pipinya. Sungguh, Melody benar-benar
tidak bisa menahan lagi, air matanya itu agar tidak mengalir terus-menerus.
"Makasih, buat makanannya. Aku, udah gak mood makan. Ini, aku bayar." Melody
menyerahkan selembar uang berwarna biru, kepada Rivano. Setelah itu, dia pergi
meninggalkan Rivano.
Sementara Rivano, hanya bisa mematung dengan sikap Melody. Entah, tumben sekali
Melody semarah ini kepadanya.
"Aneh, bisanya marah-marah mulu. Udah emosian, cengeng lagi," ucap Rivano malas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayo, Berakhir
Teen FictionMelody memandang ke arah luar jendela, sampai kapan penderitaannya berakhir? Kapan ia bisa bahagia? Melody capek, ia mendapat tekanan dari Papanya, kekasihnya, dan juga Michelle, teman lamanya. Tanpa disadari, air mata Melody sudah mengalir memba...