Sudah menjadi kebiasaan bagiku, mendapat perlakuan kasar, dari orang-orang sekitar ~ Melody.
Empat hari sudah berlalu, kini William dan Lauren sudah diperbolehkan pulang, oleh dokter. Sebelum William dan Lauren sampai rumah, Melody bangun dari tidur nyenyaknya sejak pukul lima pagi, dia membersihkan seluruh bagian rumahnya. Yang terpenting adalah, kamar kedua orang tuanya. Menyapu, mengepel, dan memasak. Setelah selesai melakukan ketiga tugasnya itu, Melody mengistirahatkan tubuhnya di halaman depan rumahnya. Sekarang sudah pukul delapan pagi, kemungkinan William dan Lauren, sampai di rumah pukul sembilan pagi. Setelah mengistirahatkan tubuhnya, Melody sarapan. Hanya dengan sedikit nasi dan telur dadar. Sederhana, tapi memang hanya ada itu saja, di kulkasnya. Kebetulan asisten rumah tangga, yang biasa memasak di rumahnya, sedang menjemput William dan Lauren. Sehingga
tidak sempat berbelanja ke pasar. Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya Melody sudah menyelesaikan sarapannya.
Kira-kira waktu yang dibutuhkan Melody, untuk dapat selesai sarapan, hanya lima belas menit.
"Akhirnya, beres juga." Lega rasanya, saat semua tugas sudah dapat diselesaikan. Sekarang, Melody berniat ke halaman depan rumahnya lagi, menunggu kedua orang tuanya, yang sangat dia rindu.
"Pasti, Ibu sama Ayah senang, kalau mereka lihat, rumah ini udah bersih." Seulas senyuman, terbit di wajah cantik Melody. Jika membayangkan bagaimana reaksi kedua orang tuanya nanti, hati Melody terasa sangat senang. Setidaknya, dia masih bisa menyenangkan hati kedua orang tuanya.
Waktu terus berputar, tak terasa. Kini jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Dapat Melody lihat, ada sebuah taksi terparkir di depan gerbang rumahnya. Sudah dapat dipastikan, itu adalah kedua orang tuanya. Melody berdiri, kemudian berlari kecil menghampiri kedua orang tuanya. Yang sedang berjalan perlahan, dibantu oleh asisten rumah tangganya, Bi Mikha.
"Ibu, sini Ody bantu." Melody hendak menuntuk Lauren berjalan, namun tiba-tiba Lauren menepis tangannya secara kasar.Entah kenapa, selalu saja Lauren memarahi Melody tanpa sebab. Padahal, Melody berniat membantu Lauren, tapi reaksi Lauren? Ah, jika saja Melody bisa menangis sekarang, maka
dia sudah menangis sekencang - kencangnya. "Gak usah, saya bisa jalan sendiri," tolak Lauren, secara kasar.Pantang menyerah, kini Melody berniat membantu William.
"Ayah, sini Ody bantu ya?" Melody hendak menuntun Lauren, namun sama. William malah menepis tangannya, secara kasar. Wajah William dan Lauren, kelihatannya seperti membenci Melody. Sungguh, Melody tak tahu, apa penyebab kedua orang tuanya, bisa membenci dirinya secara tiba-tiba.
"Ibu, Ayah. Kalian kenapa? Ody, pengen bantu kalian. T-tapi ke-napa kalian malah, marah
sama Ody? Ody salah apa, Ibu, Ayah?" tanya Melody lirih, dan terbata. Kedua pelupuk mata Melody, sudah dibanjiri air mata. Jika saja Melody sekali mengerjap, mungkin air mata itu, sudah mengalir membasahi kedua pipinya. Untung saja Melody masih bisa menahannya, jadi dia tidak terlihat cengeng, di depan kedua orang tuanya.
"Jangan sok baik, sama kami. Sebaiknya, kamu pikirkan lagi, apa kesalahan kamu," ucap William tajam dan dingin. Setelah itu, William dan Lauren benar-benar memasuki rumah, dibantu oleh asisten rumah tangga mereka, Bi Mikha. Meninggalkan Melody sendirian, di halaman depan rumah itu. Dengan banyaknya pikiran, yang menyerang otaknya. Memang, manusia seringkali bersikap cuek, kepada sesamanya. Tanpa memberitahu, apa penyebab mereka bersikap cuek, kepada sesamanya. Padahal, seharusnya kita memberitahu, apa penyebabnya. Agar orang yang kita beri sikap cuek, bisa tahu alasannya. Melody menengadahkan kepalanya ke atas, menatap langit yang cerah. Matahari, hari ini bersinar cukup terik.
"Kenapa? Ibu, sama Ayah kenapa? Ody salah apa? Kenapa, kalian gak bilang sama Ody?"
tanya Melody, pada dirinya sendiri.
Entah untuk ke berapa kalinya, hati Melody kembali teriris akibat perkataan kedua orang
tuanya. Dan, entah untuk ke berapa kalinya pula, air mata Melody mengalir, karena perkataan kedua orang tuanya. Seharusnya, orang tua memperlakukan anaknya dengan perlakuan sebaik mungkin. Mereka
harus bisa menjaga hati anak-anaknya, bukan malah terus-terusan menyakiti hati anaknya.
Masih dalam posisi yang sama, di tengah halaman depan rumah itu. Kepala yang
menengadah ke langit. Kepala Melody, dipenuhi dengan pertanyaan. Apa Melody berbuat salah? Sehingga kedua orang tuanya, begitu marah kepadanya?
Sampai akhirnya, Melody merasakan ponsel yang ada di saku celananya bergetar. Dia
merogoh saku celananya, kemudian melihat, siapa yang meneleponnya.
"Ano? Ada apa ya?"
Rivano, ya, dia yang menelepon Melody. Segera, Melody mengangkat telepon itu.
"Halo?"
"Siap-siap, aku jemput kamu sekarang. Kita jalan bareng," titah Rivano.
Telepon, langsung dimatikan secara sepihak oleh Rivano. Seketika, kupu-kupu beterbangan di hati Melody. Walau hatinya sedang sakit, tapi kini terobati. Karena untuk pertama kalinya, Rivano mengajak Melody jalan bersama. Melody memasuki rumahnya, berganti pakaian, berdandan dengan dandanan simple. Tidak seperti gadis lain, Melody jika berdandan hanya memakan waktu kurang lebih sepuluh menit, simple.
"Oke, aku cantik." Melody tersenyum, saat melihat penampilan dirinya di kaca,
menggunakan dress selutut berwarna biru muda, rambut yang diikat menjadi satu, dan sendal yang tidak begitu tinggi, berwarna senada dengan dressnya."A-Ano, kenapa kita harus jemput Michelle? Bu-kannya, kita cuma mau jalan berdua?" tanya Melody hati-hati, dengan kepalanya yang tertunduk. Rivano terkekeh sebentar, kemudian menjawab.
"Jangan pede kamu, aku mana mau, jalan
cuma berdua sama kamu. Di hati aku, cuma ada Michelle. Gak bisa, ada yang menggantikan posisi Michelle, di hati aku."
Baru saja, beberapa hari yang lalu, Rivano bersikap baik kepada Melody. Eh, ternyata.
Seharusnya Melody tidak geer, mungkin Rivano bersikap baik, hanya sebagai bentuk rasa kasihan saja, kepada dirinya.
Stop, mulai sekarang. Aku gak boleh berharap lebih, sama Ano, batin Melody.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayo, Berakhir
Teen FictionMelody memandang ke arah luar jendela, sampai kapan penderitaannya berakhir? Kapan ia bisa bahagia? Melody capek, ia mendapat tekanan dari Papanya, kekasihnya, dan juga Michelle, teman lamanya. Tanpa disadari, air mata Melody sudah mengalir memba...