Hidup ini, ibaratkan sekolah. Pasti selalu ada ujian, untuk melihat sampai mana batas
kemampuan kita.Ujian Nasional hari pertama, sudah dilaksanakan dengan khidmat, dan lancar. Siswa-siswi SMA Rajawali sudah diperbolehkan pulang, karena Ujian Nasional dilaksanakan hanya satu pelajaran perharinya. Jadi, jadwal pulang sekolah siswa-siswi kelas 12 SMA Rajawali lebih cepat. Ada siswa-siswi yang langsung pulang ke rumah, ada pula yang menongkrong terlebih dahulu di sekolah. Misalnya, Melody, dan sahabatnya, Habelia dan Alma. Jangan lupakan Rivano, dan sahabatnya, Clay. Mereka berlima memang seperti ini, tidak langsung pulang ke rumah. Padahal, besok masih ada jadwal Ujian Nasional. Tetapi mereka terlihat begitu santai, seperti sedang tidak ada ujian.
"Kalian mau kuliah dimana?" Habelia membuka pembicaraan, di antara keempatnya.
"Aku sih kayaknya di Universitas Jakarta," jawab Melody.
"Aku juga," timpal Clay.
Habelia menganggukkan kepalanya beberapa kali, tanda ia mengerti."Terus, kalau kamu dimana, Van?" Alma menatap Rivano, yang sedang menatap lurus ke arah depan.
"Gak tahu," jawab Rivano singkat.
"Oalah, aku mah tahu. Pasti kamu bareng sama Melody, ya kan?" tebak Habelia.
Rivano memutar kedua bola matanya malas, Melody lagi."Idih, males amat aku sama dia," ucap Rivano malas.
"Heh, jangan gitu Van. Kamu kan udah dijodohin sama Melody, masa iya kamu males sama dia." Clay menepuk pundak Rivano, ala cowok.Lagi, dan lagi Rivano memutar kedua bola matanya malas. "Iya, dia kan cuma gadis pilihan Mama. Bukan pilihan aku."
Seketika, Clay, Habelia, Alma dan Melody bungkam. Tidak ada yang berani membuka
suaranya, apalagi Melody. Iya menjadi sadar, bahwa ia hanyalah gadis pilihan Clarice,
Mamanya Rivano. Dan bukan pilihan Rivano sendiri.
Walaupun begitu, Melody akan tetap memperlakukan Rivano dengan baik. Ia tidak marah kepada Rivano, toh ini semua memang sudah nasibnya. Biarkan kesedihan melanda
kehidupan Melody terlebih dahulu. Setelah itu, barulah kebahagiaan akan melanda
kehidupannya."Dy, ayo pulang. Mama minta kamu main ke rumah, masak bareng." Rivano berdiri, berjalan mendekati Melody yang sudah berdiri juga, lalu menggenggam jemari Melody.
Ada desiran aneh di dalam diri Melody, saat Rivano untuk pertama kalinya menggenggam
jemarinya erat. Selama satu tahun mereka berpacaran, Rivano tak pernah menggenggam
jemarinya seperti ini, rasanya Melody ingin loncat-loncat."E-m, iya. Clay, Bel, Alma. Kita balik dulu ya, besok kita nongkrong lagi," pamit Melody.
Clay, Habelia dan Alma menganggukan kepala mereka secara bersamaan."Oke, hati-hati."
Kini, Rivano, dan Melody telah sampai di parkiran sekolah. Rivano melepaskan jemari
Melody dari genggamannya dengan kasar. Dengan santainya, ia langsung menaiki motor
ninjanya, dan memakai helm full facenya, tanpa mengajak Melody untuk menaiki motornya."Kamu, ke rumah aku sendiri. Nanti, kalau Mama tanya aku kemana, bilang aja kerja
kelompok," ucap Rivano dengan intonasi bicara, yang terdengar dingin."L-loh, a-ku gak ada ongkos, Ano." Melody menundukkan kepalanya, ia sudah tahu pasti
ujung-ujungnya Rivano akan membentaknya lagi. Gadis seperti Melody, yang paling Rivano benci. Menurutnya, Melody itu terlalu manja, dan alay, juga boros. Ongkos pun tak ada? Berarti Melody termasuk orang yang boros, Rivano benci itu."Boros banget, dasar!" bentak Rivano, membuat Melody semakin menundukkan kepalanya.
"Nih, uang buat ongkosnya. Kalau kurang bilang, nanti aku ganti." Rivano melemparkan
selembar uang berwarna biru, dan langsung Melody tangkap dengan cepat.
Air matanya, hampir saja menetes. Ia diperlakukan seperti orang yang tak mampu oleh Rivano. Terkesan sangat semena-mena, dan jahat. Tetapi entah kenapa, Melody sudah sangat sayang kepada Rivano, dan sulit untuk melepaskannya."M-makasih, kalau boleh tahu kamu mau kemana?" tanya Melody kepada Rivano, tentunya dengan keberanian yang sudah ia kumpulkan.
"Kamu gak perlu tahu, ini urusan aku sendiri."
"O-oh ya udah, hati-hati ya."
"Tanpa kamu suruh aku hati-hati pun, aku bakal hati-hati."
Motor ninja Rivano, langsung melaju meninggalkan parkiran sekolah yang sudah sepi.Meninggalkan Melody juga sendirian, yang kini sedang menangis.
Perlahan, Melody menjatuhkan tubuhnya ke atas tanah. Ia terduduk di tanah, dan menutup wajahnya menggunakan kedua tangannya."Kenapa nasib aku harus kayak gini? Air mata setiap harinya harus selalu jatuh, kenapa?!"
teriak Melody.Nafas Melody tersenggal-senggal, akibat ia menangis. Rasanya, Melody ingin menyusul
Ibunya saja, agar ia bisa hidup lebih tenang.
"Aku pengen ketemu Ibu, aku kangen Ibu."
Langit terlihat mendung, seolah-olah ikut merasakan sakit hati yang Melody rasakan. Air hujan pun perlahan turun, dan mulai membasahi tubuh mungil Melody. Air mata Melody terus mengalir, membasahi kedua pipi mulusnya, ditambah dengan air hujan.
Isakan tangis Melody perlahan-lahan berhenti, ia tidak boleh cengeng. Melody menghapus air matanya secara kasar, ia bangkit dari posisi duduknya, berjalan secara perlahan keluar dari area sekolah, dan mencari angkutan umum untuk segera pulang.
Ya, Melody melupakan janjinya untuk ke rumah Rivano. Bisa-bisa, besok Rivano marah
besar kepadanya.🥀🥀🥀🥀
Bulan, dan bintang sudah menampakkan dirinya. Langit sudah gelap, namun hujan tak
kunjung berhenti sejak tadi siang. Udara pun terasa sangat dingin, menusuk ke dalam tubuh.
Suasana seperti ini, akan terasa hangat ketika kita berkumpul bersama keluarga, juga orang
yang kita cintai. Rivano merasakan kehangatan itu, malam ini ia sedang makan malam bersama keluarganya, jangan lupakan Michelle yang selalu bersama Rivano."Vano, tadi siang kenapa Melody gak ke rumah ya? Mama udah nunggu lama loh," tanya
Clarice, Mama Rivano.
Rivano menghentikan pergerakannya, keningnya berkerut. Bukannya tadi siang ia sudah memberikan ongkos kepada Melody? Tapi, mengapa Melody tidak ke rumahnya?"Loh? Padahal, tadi siang aku udah kasih ongkos sama dia Ma, dia bilang mau ke sini," ucap Rivano heran.
Diam-diam, Michelle menyunggingkan senyumannya. Ia bisa membuat Rivano semakin marah kepada Melody, dengan mengucapkan hal yang tidak-tidak tentang Melody."Ekhm, Vano. Kamu kayak gak tahu aja sih, gimana sifat Melody. Dia itu kan mau dijodohin sama kamu, cuma pengen harta kamu," ucap Michelle, membuat amarah Rivano seketika
memuncak.
Mati-matian Rivano menahan amarahnya agar tidak meledak, ia tidak boleh marah di sini.
Tapi Rivano berjanji, ia akan marah besar kepada Melody, esok hari."Kamu bener Chelle, makanya aku gak mau dijodohin sama dia tuh karena ini," ucap Rivano, setuju dengan ucapan Michelle barusan.
"Hush, kalian ngomong apa sih? Melody itu anak baik, Mama tahu itu. Dan kamu, Michelle.
Jangan ikut campur urusan keluarga kita, bisa?" ucap Clarice sinis.
"Bener tuh apa kata Mama, kita sebagai orang tua bisa menilai, mana gadis yang baik, dan
mana gadis yang busuk," timpal Jefan, Papa Rivano.
Jika sudah berhadapan dengan kedua orang tua Rivano, Michelle tak akan bisa berkata apa-apa lagi. Ia perlu melakukan sesuatu, agar kedua orang tua Rivano membenci Melody.
Michelle menampilkan senyum paksanya."Iya Om, Tan. Maafin Michelle ya, udah nuduh
Melody yang enggak-enggak."
Clarice, dan Jefan hanya terdiam. Tak menggubris ucapan Michelle barusan. Kesal, itulah yang Michelle rasakan. Ia merasa tidak dihargai, misinya untuk membuat keluarga Roberts miskin, semakin kuat.
Sebenarnya, Michelle berpacaran dengan Rivano bukan karena cinta. Ia mau menjadi pacar Rivano, karena hanya ingin hartanya saja, tidak lebih. Liat aja, aku bakal buat keluarga Roberts bangkrut, batin Michelle.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ayo, Berakhir
Teen FictionMelody memandang ke arah luar jendela, sampai kapan penderitaannya berakhir? Kapan ia bisa bahagia? Melody capek, ia mendapat tekanan dari Papanya, kekasihnya, dan juga Michelle, teman lamanya. Tanpa disadari, air mata Melody sudah mengalir memba...