"Sometimes pretending to look fine isn't the best choice."
***
"Hayo lah, bagaimana ini bisa terjadi?" gumamnya kembali menata buku-buku ke tempatnya. Saat memasuki kamarnya, dia mendapati kamarnya sungguh berantakan seperti diterjang angin puting beliung.
Sejam berkutat dengan isi kamar, akhirnya dia bisa bernapas lega. Kamarnya kembali rapi seperti semula. Dia menghempaskan tubuhnya ke atas kasur—menatap langit-langit kamar.
"Kak Omi!" Suara cempreng itu terdengar dari luar. Gadis bernama Naomi Meishana Eloise itu bangkit—membuka pintu.
"Kak Sky," ujarnya menatap Naomi dengan mata polosnya. Naomi menggulung senyumnya, terlalu games dengan makhluk di depannya.
"Delvan, bilang sama Kak Sky. Kalau Kak Naomi lagi tidur ya," ujar Naomi membuat anak laki-laki berumur 4 tahun itu menatap sang kakak bingung.
"Kak Omi nggak tidur," ujarnya dengan alis berkerut. "Nanti kakak beliin es krim deh," bujuk Naomi. Delvan mengangguk ragu, dia lantas berlari meninggalkan Naomi di depan kamar. Melihat itu, jelas membuat gadis itu tersenyum geli.
Dia kembali masuk ke dalam kamar, melangkah menuju meja belajarnya. Tanpa sadar dia menghela napas, menatap sederet buku-buku yang tersusun rapi. Naomi menengadah ke atas, dengan senyum tertahan—air matanya kembali mengalir tanpa dia minta.
***
Bunyi bell mengudara di lingkungan sekolah. Naomi berjalan santai melewati kelas demi kelas hingga sampai pada kelas 12 MIPA 1. Tanpa sepatah katapun dia mendaratkan bokongnya ke atas kursi di samping Shireen Joscelyn—sahabatnya.
"Tumben telat?" tanyanya menatap sang sahabat yang hanya diam.
Naomi melirik sekilas Shireen, lalu beralih ke jam tangan yang mengalun indah di pergelangan tangannya. "Dua menit, nggak ngaruh," satunya singkat tersenyum kecut.
Shireen mencibir, senyum Naomi sungguh menyebalkan baginya. "Btw, Ray nyariin lo," saut Shireen, mengingat pria bernama lengkap Raymond Richard itu bertamu ke kelas mereka sebelum Naomi datang.
"Tumben," gumam Naomi pelan. Shireen mengangkat bahunya cuek.
Bell sekolah menandakan waktu istirahat sudah berbunyi dari lima menit yang lalu. Naomi menatap ke arah pekarangan bawah, para siswa sibuk berlalu lalang. Saat ini dia berada di rooftop gedung kelasnya, menunggu seseorang.
"Udah dari tadi lo?" tanyanya dari arah belakang. Naomi berdecak, "I wasted seven minutes, waiting for you!"
Pria itu adalah Raymond, Ray tidak menanggapi Naomi. Dia berjalan ke arah pagar mensejajarkan berdiri dengan Naomi.
"Sky semalam menghubungi gue, katanya dia akan pergi ke New York," jelas Ray menatap teman-teman sekolahnya dari lantai 4 tersebut.
"But, lo yakin nggak mau ngomong sama dia, Na?" tanya Ray menoleh ke arah gadis itu.
Naomi mencibir, dia memukul punggung Ray cukup keras hingga membuat pria itu mengaduh kesakitan. "Lo pernah dengan pribahasa ini nggak? 'tidak akan ada asap, kalau tidak ada api' so, Lo cukup paham dengan apa yang gue maksud," sautnya.
Ray mengangguk kaku, dia membenarkan apa yang dikatakan oleh Naomi. Tapi, tetap saja dia sebagai penengah menjadi serba salah. "Ya, serah loh deh," ucap Ray menyerah. Dia cukup pusing dengan urusan kedua orang itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thread of Life
Teen Fiction"One, but half. Intact, but fragile" Ini bukan tentang apa yang datang, bukan juga tentang apa yang pergi. Ini bagaimana bertahan, dalam hiruk-pikuk yang membuatmu bodoh dalam cerita orang lain. "Can I survive in fear and loneliness?" Sebuah omong...