13 - heart beat

163 18 4
                                    

Pekan ujian sudah hampir usai. Mereka yang sibuk mungkin masih perlu pergi ke kampus karena harus memperbaiki nilai, mengejar dosen untuk mendapatkan kesempatan dalam perbaikan, menunggu kepastian dosen akan bimbingan skripsi, atau mereka yang masih harus menyelesaikan projek Scrum yang menjadi penentu nilai ujian mereka. Entahlah, memang dosen satu ini berbeda dari yang lain.

Tinggal satu tersisa yang kini dihadapi Hyunsuk demi melanjutkan semester berikutnya, dimana ia akan menjadi mahasiswa yang bingung mencari tempat magang. Seketika ia tersadarkan akan satu hal, dimana Scrum bukan satu-satunya yang Hyunsuk hadapi, tetapi juga Park Jihoon.

Lelaki itu, anak itu, manusia satu itu, sukses membuat Hyunsuk kalut akan pertanyaan bodoh. Ajakan pacaran Jihoon yang Hyunsuk tahu bahwa itu bercanda menjadi suatu hal yang terus menghantui pikiran dan juga hatinya. Ya, Jihoon tentu bercanda, tetapi mengapa ia berharap kalau itu semua nyata dan benar adanya? Bahkan Hyunsuk sempat mengumpat jika momen itu kembali menghantui pikirannya. Bukan apa-apa, tetapi benar membuat Hyunsuk hilang fokus di pekan ujiannya.

Dan hari ini merupakan hari libur yang dimanfaatkan kelompok Scrum untuk merealisasikan ide mereka dan pelaksanaannya di lakukan di apartemen Hyunsuk. Semua anggota kelompok dapat hadir.

"Damn it! Kepala gue pusing banget, anjing."

Hyunsuk menggigit kuku. Badannya mondar-mandir kesana kemari. Ia akan berhadapan dengan Park Jihoon dimana terakhir kali ia bertemu pada saat Hyunsuk dengan berani mencium bocah itu.

Kepalanya pusing dan Hyunsuk tidak tahu harus bersikap seperti apa nantinya. Padahal biasanya ia merasa bodo amat dan dapat bersikap seperti biasa seperti yang sudah, namun entah mengapa kali ini berbeda. Hyunsuk sampai mengira kalau Jihoon memakai jimat atau memberikannya mantra sampai bisa begitu meriang jika memikirkan sekecil saja mengenai dirinya.

Kaki mungil Hyunsuk bergerak menuju kamar. Berniat untuk mengambil ponsel yang sedang diisi daya. Tubuhnya hendak masuk ke dalam kamar, bersamaan dengan bel berbunyi. Keningnya mengerut bingung. Seingatnya jam kumpul yang didiskusikan di grup kelompok pukul sepuluh pagi dan saat Hyunsuk melihat jam dinding, jarum jam masih menunjukkan pukul delapan.

Apakah Yeonjun? Ah, anak itu mana bisa bangun sepagi ini jika di hari libur. Jam normal bangun saudaranya itu kan jam satu siang. Apakah Soobin? Terkadang Soobin akan mampir ke apartemen Hyunsuk lebih dulu jika memang Yeonjun belum bangun dari tidurnya. Karena pasalnya apartemen ini bukan difasilitasi dengan pintu yang harus menekan pin, sehingga tidak sembarang orang bisa masuk jika bukan si pemilik yang membukakan pintu. Ya, mungkin Soobin.

Terdengar bel bunyi sekali lagi. Tumben Soobin tidak sabaran padahal biasanya sekali memencet bel Soobin akan menunggu, kalau tidak pasti menghubunginya melalui telepon.

Hyunsuk segera berjalan menuju pintu. Jalannya memang agak lambat sampai bel kembali berbunyi. Dengan kesal pintu ia buka.

"Sebentar napa sih Soo—bin."

Suaranya yang tadi lantang berakhir tanpa bersuara. Di hadapannya berdiri bocah yang membuatnya masuk angin hampir satu minggu. Park Jihoon dengan pakaian sederhananya cengengesan melihat Hyunsuk yang hari ini begitu minimalis.

"Jihoon, kamu ngapain ke sini?"

"Kerkom lah. Ngapain lagi?"

"Tapi ini masih pagi?"

"Ya, emangnya kenapa?"

Hyunsuk memandang kosong lelaki di hadapannya. Entah apa yang dipikirkan lelaki itu sampai niat datang sepagi ini.

"Gimana? Gue boleh masuk atau jangan nih?"

Tangan mungil Hyunsuk mendorong pintu—memberikan ruang agar Jihoon dapat masuk ke dalam. Dengan mudah, Jihoon masuk ke dalam melalui Hyunsuk yang masih berdiri di ambang pintu.

dilemma - hoonsukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang