🍂LAKI-LAKI BERMATA SENDU🍂

154 19 13
                                    

PERINGATAN : 

Cerita ini berdasarkan pure imajinasi, tidak ada kaitannya dengan orang-orang yang bersangkutan di dunia rl penulis

===========================================================================


   Hari kelulusan biasanya menjadi saat paling dinantikan oleh setiap mahasiswa. Sebuah perayaan penutup dari perjalanan panjang yang penuh perjuangan. Namun, bagi Nala, hari itu justru menjadi awal dari sebuah perpisahan yang enggan ia hadapi. Di tengah senyum dan sorak gembira teman-temannya, hatinya tenggelam dalam kegalauan. Qais, lelaki yang selama bertahun-tahun mengisi hatinya, akan pergi merantau ke kota yang jauh. Bayangan tentang perpisahan itu terus menghantui benaknya, membayangi setiap detik yang ia lewati. Nala tahu bahwa dengan kepergian Qais, dunia yang selama ini terasa hangat akan berubah menjadi dingin dan sunyi.


   Air matanya tumpah saat akhirnya mereka harus berpisah di stasiun. Tangisnya bukan hanya karena perpisahan itu sendiri, tetapi juga ketakutan mendalam bahwa jarak dan waktu akan mengubah hubungan mereka menjadi sesuatu yang asing. Sambil menggenggam erat tangan Qais untuk terakhir kalinya, Nala berjanji dalam hatinya bahwa ia akan melakukan apa saja agar hubungan ini tetap terjaga, meskipun di ujung hati kecilnya, ada keraguan yang sulit diabaikan.Demi melihat putri sulungnya yang tampak kehilangan semangat hidup, orang tua Nala akhirnya mengalah. Meski mereka dikenal sebagai orang tua yang keras, mereka tak tega melihat putrinya menderita. Setelah perdebatan panjang, mereka mengizinkan Nala ikut merantau ke luar kota. Keputusan itu datang dengan harapan bahwa di tempat baru, Nala bisa menemukan semangat baru, mungkin juga mengubur perasaan yang membuatnya gelisah.


"Haha, akhirnya gue bebas juga!" seru Nala dengan senyum lebar saat ia turun dari kereta. Dua koper besar yang penuh dengan harapan dan mimpi-mimpi baru terseret di tangannya. Ini adalah pertama kalinya ia merasa begitu merdeka. Orang tuanya yang selama ini ketat mengatur hidupnya kini tak lagi bisa mengawasi setiap langkahnya. Di kota ini, ia bisa menjalani hidup sesuai keinginannya sendiri.


  Namun, di tengah kegembiraannya, Haga, sahabat setianya, datang menegur dengan suara lembut tapi penuh kepedulian. "Jangan jauh-jauh lo! Lo pake gamis gitu, nanti susah jalannya di tengah orang-orang." Haga tersenyum kecil melihat tingkah Nala yang seolah melupakan segalanya karena terlalu bahagia. Mereka sudah saling mengenal sejak awal kuliah, dan kini kembali bersama untuk merantau. Bedanya, Haga datang dengan tujuan bekerja, sementara Nala berniat melanjutkan kuliah dan mengejar mimpi-mimpinya yang lain.


   Perjalanan dari stasiun ke kos mereka tak memakan waktu lama. Kota baru ini memiliki suasana yang berbeda dari yang mereka bayangkan. Bangunan-bangunan tua berdiri kokoh di sepanjang jalan, dipenuhi warna-warni lampu neon yang berkedip-kedip. Ada kehangatan tersendiri dalam kesederhanaan kota ini.


   Setibanya di kos, Nala langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kenyamanan. Namun pikirannya tak bisa diam. "Ga, lo besok udah mulai kerja belum? Gue mau nyari buku buat kuliah minggu depan," Tanya Nala dengan mata yang tetap bersinar penuh semangat.


"Besok masih bisa keliling kok. Sekalian aja kita nyari barang-barang yang lo butuhin," jawab Haga sambil meregangkan tubuhnya di atas kasur. Rencananya sudah matang, ia akan mengajak Nala berkeliling, menelusuri sudut-sudut kota yang mungkin menyimpan kejutan tak terduga. Dengan tawa lepas, mereka sepakat bahwa petualangan dimulai esok hari.Keesokan harinya, saat senja mulai merambat turun, mereka berdua memutuskan untuk keluar dan menjelajahi kota. Ada rasa haru yang menyelinap di hati Nala ketika akhirnya ia bisa menikmati kebebasan yang selama ini hanya ia impikan. Tak ada lagi larangan keluar malam, tak ada lagi suara orang tua yang membatasi langkahnya. Lampu-lampu jalan bersinar lembut, menciptakan bayang-bayang yang menari di sepanjang trotoar. Bagi Nala, ini adalah pemandangan baru sebuah dunia yang terbuka luas untuknya jelajahi.


   Mereka memutuskan untuk mengunjungi toko alat lukis terlebih dahulu. Nala yang memang memiliki ketertarikan besar pada seni, tenggelam dalam kegembiraan saat melihat deretan kuas, cat, dan kanvas. Ia menyusuri rak demi rak, memeriksa setiap produk dengan teliti. Haga hanya bisa menggeleng-geleng kepala melihat sahabatnya memborong hampir semua jenis cat dan kuas yang ada di sana. "Nal, serius lo beli semua ini? Ini kita bawanya gimana coba?" Tanya Haga tak percaya, apalagi beberapa barang itu terbuat dari kaca dan berpotensi pecah.Di tengah kebingungan mereka, tiba-tiba dua suara familiar terdengar dari belakang. "Biar kita bantu bawa aja." Nala dan Haga menoleh bersamaan, dan di sana berdiri dua teman lama mereka, Brian dan Lutfi. Kehadiran mereka di kota ini menjadi kejutan yang tak terduga."Eh, kalian kok bisa di sini?" Tanya Haga dengan nada heran. Ia tahu Lutfi seharusnya tetap di Semarang, tapi kenyataannya mereka ada di sini, di kota yang sama.


   Lutfi tertawa lebar, merangkul bahu Brian. "Gue diajak Brian tinggal bareng di rumahnya. Kasian kan dia ngurusin kos sendirian, jadi ya gue ikut aja." Jawabannya terdengar ringan, namun ada cerita panjang di balik keputusan itu. Brian terpaksa pulang ke kota ini karena ibunya baru saja meninggal. Beban mengurus rumah peninggalan ibunya menjadi tanggung jawab yang harus ia pikul, meskipun hatinya masih dipenuhi duka.


   Nala mendekati Brian dengan hati-hati, ia tahu betapa kerasnya pukulan itu bagi Brian. "Gimana, Bri? Udah baik-baik aja, kan?" tanyanya dengan nada lembut, mencoba menawarkan sedikit kehangatan.


   Brian menatap Nala, matanya menyiratkan kesedihan yang dalam. Kehilangan ibunya adalah luka yang belum sembuh, dan meski ia berusaha tersenyum, rasa kehilangan itu masih tergambar jelas di wajahnya. Di sisi lain, Nala merasakan ada sesuatu yang berubah dalam diri Brian, seolah kesedihan itu membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang lebih tegar, tapi juga lebih sunyi.


   Setelah belanja selesai, Brian menawarkan diri untuk mengantar mereka pulang. Namun Nala merasa ragu. Ia sebenarnya lebih ingin menikmati malam berdua dengan Haga, berbagi cerita dan tawa tanpa perlu terjebak dalam keramaian. Haga, yang tampaknya punya rencana lain, mencoba membujuknya. "Lo yakin gak mau ikut? Mumpung ada yang bisa jadi pemandu nih," goda Haga.


   Nala tersenyum tipis, lalu menggeleng pelan. "Enggak, lo aja. Gue bisa pulang sendiri kok," jawabnya. Meskipun hatinya sedikit berat, ia memutuskan untuk pulang lebih dulu. Ada sesuatu yang membuatnya ingin menikmati malam ini sendirian, dalam keheningan.Setelah berpamitan, Nala berjalan pulang. Langit malam begitu gelap, hanya dihiasi oleh bintang-bintang yang bersinar redup. Suara jangkrik dan gemerisik dedaunan menjadi irama yang mengiringi langkahnya. Namun, di tengah jalan setapak yang menuju kosnya, ia tiba-tiba berhenti. Ada seorang lelaki berbaju putih berdiri di depan kosnya, sosoknya hampir samar dalam kegelapan. Lelaki itu memandangi kos Nala dengan tatapan yang sayu, seolah ada beban berat yang tak terucapkan.


   Saat Nala dan lelaki itu saling bertatapan, waktu seakan berhenti. Wajah lelaki itu diterangi rembulan yang menggantung rendah di langit. Tatapan matanya dalam, namun sekaligus kosong. Namun sebelum Nala sempat bertanya atau sekadar menyapa, lelaki itu dengan cepat menundukkan pandangannya. "Maaf," ucapnya lirih sebelum berbalik dan berjalan pergi dengan langkah pelan, meninggalkan Nala dalam kebingungan.


  Malam itu, Nala merasakan ada yang ganjil. Sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya. Di balik keinginan untuk bebas dan merantau, ia merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang, atau mungkin tersembunyi di balik semua harapan yang ia bawa ke kota ini. Di dalam kosnya yang sunyi, ia duduk di tepi jendela, menatap langit yang kini gelap sempurna. Angin malam berbisik pelan, membawa perasaan yang tak terdefinisikan.


   Ia tertegun saat melihat rupa laki-laki itu yang begitu sayu di bawah terangnya rembulan di malam itu. Baru saja mereka saling bertatapan satu sama lain, laki-laki itu langsung menundukan pandangannya untuk menghindari mata Nala. "Maaf" Pamit laki-laki itu lalu pergi.


".........."

symphonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang