📚PALUNG📚

106 16 13
                                    

 Tatapannya jatuh pada martabak di hadapannya. Padahal, ia sudah mengkode dengan jelas ingin seblak. Ia merindukan sensasi pedas yang membakar, berharap bisa membuatnya tetap terjaga meski malam sudah larut. Namun yang ada di depan matanya hanyalah martabak manis dengan keju, coklat, dan kacang yang selalu menjadi andalan Qais.


" Makan ini aja, Lo tuh nanti sakit lagi kalau makan pedes-pedes," Qais berucap tanpa menoleh, tetap sibuk dengan laptop di hadapannya. Ada nada lembut dalam suaranya, tapi juga terselip kekhawatiran. Baginya, Nala terlalu sering menantang batas tubuhnya. Dulu, entah sudah berapa kali gadis itu meringkuk kesakitan karena maag kambuh karena makan pedas. Dan setiap kali melihat itu, Qais merasa dadanya sesak karena ia tahu, di balik kekeras kepalaan Nala, ada jiwa yang rapuh dan penuh luka.


  Nala hanya menghela napas, sedikit kesal. Namun, ia menyerah dan mulai menyendok martabak di hadapannya. Meski begitu, ia tetap melanjutkan protes dalam hati, "Gue kan cuma pengen seblak doang... kenapa sih lo selalu ngerasa harus ngatur hidup gue?" Tapi dalam hatinya, ia tahu Qais hanya peduli. Perhatian yang sering kali terasa mengganggu, tapi tanpa disadari ia rindukan setiap kali laki-laki itu tidak ada.


"Lo udah selesai kerjaannya?" Tanya Nala, menatap Qais yang terlihat lebih santai malam ini. Biasanya, malam-malam begini adalah waktunya Qais bekerja. Namun, belakangan ini laki-laki itu sering menghabiskan waktu di tempat Nala, seolah-olah ingin memastikan bahwa gadis itu tidak berlebihan memforsir diri.


"Belum. Gue sambil jagain lo aja," Jawab Qais sambil membuka laptop. Ada keseriusan dalam ucapannya, seakan menjaga Nala adalah bagian dari tanggung jawab yang ia emban. Baginya, amanah dari orang tua Nala bukan sekadar tugas, tapi panggilan hati. Dia tahu, Nala adalah gadis yang mandiri dan kuat, tapi ia juga tahu di balik semua itu, ada sisi rapuh yang jarang terlihat oleh orang lain.


  Mereka pun tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Nala, dengan fokus penuh pada kanvasnya, dan Qais yang terjebak dalam dunia digitalnya. Tapi malam itu, ada yang berbeda. Nala tak bisa lepas dari kegelisahan yang kian mengganggunya. Bayangan masa lalu dan perasaan yang tak pernah terungkap memenuhi pikirannya. Di setiap garis kuas yang ia lukiskan, ada jejak rasa yang tertinggal, rasa yang tak pernah ia punya keberanian untuk ungkapkan.


   Waktu terus berlalu, dan seperti biasanya, Nala tidak tidur semalaman. Begitupun dengan Qais. Mereka berdua tetap terjaga, sama-sama sibuk dengan dunia masing-masing, tapi juga saling menyadari keberadaan satu sama lain. Ini bukan kali pertama mereka melewati malam panjang bersama, tapi entah kenapa, ada sesuatu yang terasa berbeda.


   Pagi hari datang dengan kelelahan yang menggantung di udara. Lutfi yang baru bangun terkejut melihat Nala dan Qais masih terjaga. "Astaga, Nal! Lo nggak tidur sama sekali?" Serunya, tak percaya gadis itu masih bisa berdiri tegak setelah semalaman bergulat dengan kanvas dan cat.


   Brian yang ikut bangun langsung tersentak. "Gila, lo kuat banget, Nal. Gue pikir cuma Qais yang gila begadang, ternyata lo nggak kalah."


   Qais melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. "Masih ada waktu tidur setengah jam, Nala. Tidur dulu, nanti gue siapin barang-barang lo buat kuliah," Katanya sambil menutup laptop dan menatap Nala yang mulai kelelahan.


   Nala mengangguk paham, meski ia tahu setengah jam tidak akan cukup untuk tidur nyenyak. Tapi ia tetap masuk ke kamarnya dan mencoba memejamkan mata, berusaha mengambil jeda di tengah keletihan yang menumpuk.

symphonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang