🃏 MEMORI🃏

62 14 0
                                    

 Qais tersenyum, menyadari bahwa meski Rara selalu bersikap keras, ia tetap peduli. Tanpa kata-kata lebih lanjut, ia pamit pergi, meninggalkan rumah Nala dengan perasaan lega dan senyum yang akhirnya kembali menghiasi wajahnya. Hari yang panjang ini memberinya pelajaran bahwa cinta tak hanya tentang memiliki, tapi juga memahami setiap sudut hati orang yang kita cintai, termasuk sisi-sisi yang tersembunyi di balik kedalaman mereka yang sunyi.


   Qais melangkah pelan mendekati Rara. Ada keheningan sejenak yang melingkupi mereka sebelum Qais mengucapkan kata-kata perpisahan dengan senyum canggung di wajahnya. "Gue pamit dulu, ya. Makasih udah... ya, gitu deh." Sederhana, tapi dalam ucapannya terselip kegugupan yang tak bisa disembunyikan.


"Hati-hati, Kakak Ipar!" Seru Rara sambil melambaikan tangan, seolah-olah melepas seseorang yang berangkat menuju pertempuran besar. Ucapannya yang penuh gurauan itu justru membuat Qais tertawa lepas. Namun tawa itu terlalu lepas, hingga ia malah menabrak pintu mobil dengan keras. Rasa malu yang terpantul di wajahnya membuat tawa Rara makin menjadi-jadi.


"Dih, stres banget, sumpah," Gumam Rara sambil terkekeh. Sepanjang hari itu, ia menyaksikan Qais yang biasanya selalu tampak kaku dan tenang, kini menunjukkan sisi-sisi lain yang selama ini tersembunyi. Ternyata, lelaki yang ia anggap tak peka itu menyimpan lapisan emosi yang jarang terungkap.


   Setelah Qais pergi, Rara melangkah masuk ke rumah dengan langkah ringan. Dengan senyum jahil, ia menuju kamar Nala, berniat untuk mengganggu kakaknya yang mungkin masih termenung sendirian. Namun betapa terkejutnya ia saat membuka pintu dan mendapati Nala bersama Brian sedang asyik bermain game di atas ranjang. Tanpa aba-aba, Rara melompat ke atas tempat tidur dan langsung memeluk Brian erat-erat. "Aaa! Sumpah, sepupu gue cakep banget, kayak cowok fiksi! Gila, nanti gue harus pamerin ini ke temen-temen!" Teriaknya dengan semangat yang tak tertahan.


   Brian yang tadinya terkejut hanya bisa tersenyum hangat. Kehadiran Rara membawa kehangatan yang selama ini ia rindukan. Ada rasa damai di hatinya, seolah-olah ia telah menemukan kembali keluarga yang benar-benar peduli. Ia kemudian menoleh ke arah Nala yang tersenyum kecil dari sudut bibirnya, mengangguk pelan tanpa kata. "Makasih, Nal," Ucapnya pelan tapi penuh arti.


   Nala hanya menatapnya, bibirnya melengkung lebih lebar. Di momen itu, ia merasa semua perjuangan, kegelisahan, dan kecemasan selama ini akhirnya terbayar. Senyum Brian, yang dulu sering ia rindukan, kini kembali dengan ketulusan yang tak lagi terbebani oleh masa lalu. Namun, suasana hangat itu tiba-tiba terusik oleh bunyi dering ponsel Nala. Sebuah panggilan video masuk dari Haga, membuat Nala mengangkat alisnya. "Apalagi nih, ganggu aja."


   Saat panggilan diangkat, layar menampilkan wajah Haga dan Rey yang tersenyum lebar. Tapi alih-alih berbincang seperti biasa, keduanya justru terlihat asyik bermesraan, dengan Rey mencium pipi Haga tanpa henti. "Dari pada kalian pamer kemesraan nggak jelas, mending gue tutup aja nih video call-nya," Omel Nala, namun candaannya tak bisa menyembunyikan rasa kesal yang menggelitik hatinya.


"Eh, santai dong, Nal. Bentar lagi lo juga bakal jadi istri orang. Nanti bisa kayak kita," Balas Rey sambil tertawa kecil, lalu tanpa malu-malu mencium pipi Haga lagi dengan manja.


"Bener tuh, nggak usah iri. Nanti lo juga bisa peluk-pelukan kayak kita," Tambah Haga yang sengaja ingin membuat Nala iri. Di balik candanya, Haga tahu Nala sebenarnya sedang berjuang melawan kegelisahan mendekati hari besarnya.

symphonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang