🌙RESAH🌙

63 14 2
                                    

 Brian dan Nala serempak menoleh ke arah pintu ketika suara ketukan pelan terdengar di luar. Suara itu teramat sopan, tapi justru mengirimkan gelombang kecemasan yang tak terdefinisi dalam hati Nala. "Siap-siap gih, Nal," Kata Mama, seolah ada kode yang disematkan di balik kalimat sederhana itu. Senyumnya terlihat berbeda, ada sesuatu yang ia sembunyikan, tapi Nala hanya menebak-nebak dengan hati berdebar.


   Nala merasakan firasat ganjil yang tak bisa ia abaikan. Tatapan Mama dan Qais sesekali bertaut, seperti ada sesuatu yang mereka sepakati tanpa perlu kata-kata. "Ada apa ini?" Pikirnya. Namun, ia tetap menuruti perintah, melangkah ke kamar dengan langkah ragu.


   Sesaat kemudian, Nala keluar dengan balutan gamis biru langit yang memancarkan kelembutan sekaligus keanggunan. Hijab hitamnya menjuntai lembut, menyempurnakan penampilan yang membuatnya tampak berbeda, seperti sedang bersiap untuk sesuatu yang lebih dari sekadar silaturahmi biasa. Namun, ketika ia melangkah ke ruang tamu dan melihat siapa yang datang, hatinya serasa melompat ke tenggorokan.


   Di sana, bukan hanya tamu biasa. Yang hadir adalah keluarga Qais semua anggota keluarganya, lengkap. Seolah ini adalah sebuah pertemuan yang telah lama dinantikan, tetapi jarang sekali terjadi. Biasanya, hanya Nala dan Qais yang saling mengunjungi, tapi kali ini, kehadiran keluarga Qais seakan menandai sesuatu yang jauh lebih besar.


"Kok malah diem, ada tamu harusnya disambut, Nala," Tegur neneknya dengan nada halus namun penuh otoritas. Tatapan mata tua itu sarat dengan kebijaksanaan yang telah ditempa oleh waktu. Dengan pelan, neneknya menggenggam lengan Nala, membawanya ke ruang tamu, seakan menuntunnya ke dalam sebuah ritus yang akan mengubah seluruh jalan hidupnya.


   Suasana di ruang tamu hening, begitu pekat hingga hampir dapat dirasakan. Semua mata tertuju pada Qais yang perlahan berdiri, menatap dalam-dalam ke arah ayah Nala, Pak Darta. Wajahnya tenang, namun ada ketegangan yang samar terlihat di sudut matanya, seolah ia telah menyiapkan setiap kata yang akan diucapkannya dengan hati-hati.


"Pak, tujuan kami kemari adalah... untuk melamar Nala," Kata Qais akhirnya, suaranya sedikit bergetar namun mantap. "Saya ingin Nala menjadi pendamping hidup saya, menjadi akhir dari penantian yang sudah berjalan selama tujuh tahun. Saya telah mencintainya dalam diam, dan saya rasa sekarang saatnya saya mengungkapkan semua. Saya ingin membahagiakan Nala, memberikan kasih sayang dan perhatian yang selama ini mungkin tak sepenuhnya tersampaikan."


   Kata-kata itu teruntai dengan kesederhanaan, namun maknanya menghujam hati Nala, menggema di dalam benaknya. Dadanya terasa sesak, seolah ada ribuan perasaan yang berdesakan, mencoba menemukan jalan keluar. Kebahagiaan, keraguan, kelegaan, dan kecemasan bercampur jadi satu. Apakah ini kenyataan? Benarkah Qais, lelaki yang selama ini begitu dekat namun terasa jauh, tiba-tiba saja berdiri di depan semua orang, menyatakan niatnya dengan begitu jelas?


   Ayahnya menatapnya dengan mata penuh kelembutan, meminta jawaban yang hanya bisa Nala berikan. "Kalau kami, kami serahkan pada Nala," Ujar Pak Darta, melemparkan keputusan sepenuhnya ke tangan Nala. Seketika, semua mata tertuju padanya. Waktu seolah berhenti, dan Nala merasa jantungnya berdetak terlalu keras hingga nyaris terdengar di telinganya sendiri.


   Nala menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri di tengah perhatian yang begitu mencekam. Keberanian muncul dari tempat yang tak ia ketahui, mungkin dari cinta yang selama ini ia sembunyikan di sudut hatinya. Dengan suara pelan namun tegas, ia akhirnya menjawab, "Nala mau."


   Ruangan yang tadinya hening meledak dengan senyum dan ucapan selamat. Sebuah kebahagiaan yang sederhana namun mendalam mengisi ruang itu, seolah udara sendiri menjadi lebih hangat dan lembut. Qais tersenyum, sorot matanya yang tadi cemas kini berubah menjadi penuh keyakinan. Namun di balik semua kebahagiaan itu, Nala masih menyimpan satu permintaan, sesuatu yang ia utarakan dengan hati-hati. "Tapi, setelah semua persiapan selesai, Nala nggak mau ketemu Qais dulu. Satu minggu aja, tanpa komunikasi sama sekali."


   Permintaan itu membuat semua orang terdiam sejenak. Qais terlihat ragu, tapi akhirnya ia mengangguk, menerima keinginan Nala dengan penuh pengertian. Ia tahu, ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar persiapan pernikahan, ini tentang memberi ruang bagi Nala untuk mempersiapkan dirinya secara utuh, tanpa tekanan atau gangguan.


   Di rumah Qais, suasana berbeda jauh dari kehangatan yang tadi mengisi ruang tamu Nala. Di sini, Qais justru tampak resah. Ia berulang kali mengecek ponselnya, berharap menemukan jejak kehadiran Nala di sana sebuah tanda bahwa Nala baik-baik saja. Namun, semua terasa hampa. Tak ada pesan, tak ada notifikasi, bahkan akun media sosial Nala pun seakan menghilang.


   Brian dan teman-temannya hanya bisa saling pandang, bingung melihat Qais yang biasanya tenang kini seperti kehilangan arah. "Widih, bentar lagi jadi ipar gue nih," Goda Brian, mencoba mencairkan suasana. Tapi Qais hanya menanggapi dengan gumaman tak jelas, matanya tetap terpaku pada layar ponselnya yang kosong.


"Is, lo kenapa sih? Dari tadi kayak orang gelisah aja. Bukannya lo seharusnya seneng, bentar lagi nikah, bro!" Seru Lutfi, tak tahan melihat temannya terjebak dalam keresahan yang tak biasa.Qais menghela napas panjang sebelum akhirnya bicara. "Gue nggak ngerti kenapa Nala tiba-tiba nggak mau ketemu. Bahkan nggak mau dihubungi. Semua akun medsosnya sepi, game-nya juga nggak aktif. Ini tuh bikin gue nggak tenang."


   Rey yang sejak tadi hanya diam, akhirnya angkat bicara. Suaranya datar, namun penuh makna. "Lo udah kenal Nala hampir delapan tahun, Is. Lo nggak paham juga dia orangnya kayak gimana? Nala itu introvert, dan introvert kayak dia butuh waktu buat sendiri. Lo harus ngerti, dia nggak akan bisa terus-terusan ada di keramaian, bahkan sama orang yang dia sayang sekalipun."


   Kata-kata Rey seperti tamparan lembut yang membangunkan Qais dari kegelisahannya. Ia tahu, Nala memang selalu punya cara sendiri untuk menenangkan diri. Setelah menghadapi banyak orang, Nala seringkali menarik diri, tenggelam dalam dunianya sendiri, entah membaca komik, menulis naskah, atau sekadar berdiam diri di kamarnya. Dunia itu adalah ruang di mana Nala merasa aman, tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa gangguan.


"Dia nggak pernah biarin siapa pun ganggu me time-nya, Is," Lanjut Rey. "Bahkan lo sekalipun. Cinta lo nggak ngerubah itu. Dia tetap butuh waktu buat dirinya sendiri, dan lo harus belajar nerima itu. Ini bukan soal lo atau perasaan lo, ini soal bagaimana Nala menjaga keseimbangannya."


   Qais terdiam, merenungkan kata-kata Rey. Cinta bukan hanya soal memiliki, tapi juga soal memberi ruang dan memahami setiap sudut jiwa seseorang, termasuk bagian yang terkadang tersembunyi di balik senyum dan perhatian.


  Lutfi yang mendengarkan percakapan itu dari sudut ruangan, akhirnya mengangguk setuju. "Lo tau, Is, Nala itu tipe yang nggak akan pernah bikin orang lain tersakiti sama kata-katanya. Tapi di balik itu, dia juga jaga perasaan diri sendiri dengan caranya yang unik. Dan itu nggak berarti dia nggak sayang sama lo. Dia cuma butuh waktu buat siapin diri."


   Lutfi menatap Rey penasaran, bagaimana laki-laki tau tentang Nala sementara gadis itu termasuk orang yang begitu tertutup, ia bahkan baru dekat dengan Nala saat di kampus baru. " Lo kok bisa tau?"


"........."

symphonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang