🥀HADAPI KENYATAAN🥀

77 16 8
                                    

"Apa yang gue lakuin salah ?" Nala akhirnya berbicara, suaranya lirih, hampir tidak terdengar.

 "Gue terlalu mencintai dia... Gue tahu ini salah, tapi gue nggak bisa berhenti mencintai dia."

Rey menghela napas panjang. "Cinta itu nggak salah, Nal. Tapi kita nggak bisa mengendalikan takdir."


   Nala menangis lagi, kali ini dalam diam, air matanya jatuh tanpa suara. "Kenapa harus Qais? Kenapa Tuhan ambil dia dari gue?"


"Kita nggak pernah tahu alasan Tuhan, Nal. Tapi kita harus percaya bahwa semua ini punya maksud yang baik, meskipun kita nggak bisa ngerti sekarang."


   Lutfi masuk ke dalam kamar, menghampiri mereka dengan langkah perlahan. Dia berlutut di depan Nala, menggenggam kedua tangannya dengan lembut. "Qais sudah pergi, Nala. Gue tahu ini berat, tapi lo harus menerima kenyataan ini. Lo nggak sendirian, kita semua ada di sini buat lo."


   Nala menatap Lutfi, air matanya masih mengalir. "Gue nggak bisa, Fi... gue nggak kuat."


"Lo bisa Nala. Kita semua tahu lo itu kuat." Lutfi menatapnya dalam-dalam, mencoba memberi kekuatan yang Nala butuhkan. "Qais juga nggak akan mau lihat kamu terus-terusan sedih kayak gini."


   Hening menyelimuti mereka sejenak. Nala menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang hancur. "Oke... gue mau ke rumah Qais," Gumamnya akhirnya, meskipun suaranya bergetar.


   Dengan berat hati, mereka semua berangkat menuju rumah Qais. Saat Nala sampai di depan rumah itu, kenangan-kenangan tentang Qais menyerbu pikirannya. Setiap sudut rumah itu menyimpan cerita, kenangan yang kini terasa menyakitkan untuk diingat.


"Nala..." Panggilan lembut itu datang dari seorang wanita yang berdiri di teras rumah. Itu adalah ibu Qais, wanita yang selalu menyambutnya dengan senyuman. Mereka berdua bertemu di tengah-tengah halaman, dan tanpa banyak kata, ibu Qais memeluk Nala erat.


   Nala merasakan hangatnya pelukan itu, mengingatkannya pada anak sulung wanita itu . "Maaf, Nala... tante baru bisa ketemu sama kamu sekarang," Bisik ibu Qais dengan suara lembut, menahan tangisnya sendiri.


   Nala menahan air matanya, tapi perasaan sakit itu begitu kuat. Pelukan itu, senyuman itu semua mengingatkannya pada Qais, dan itu membuat hatinya semakin hancur.


   Rey dan yang lainnya memberi ruang untuk mereka, sementara Nala dan ibu Qais duduk di ruang tamu. Butuh beberapa saat sebelum ibu Qais memulai pembicaraan.


"Qais sering cerita tentang kamu, Nala," Ucap ibu Qais sambil menggenggam tangan Nala dengan lembut. "Dia selalu senang ketika kamu menghubungi dia. Waktu kamu kirim hadiah ulang tahun untuknya, dia seneng banget. Dia sampai bingung gimana harus membalasnya.

 Tante inget dia sampai minta tolong kakak sepupu buat milih hadiah yang pas untuk kamu."

   Nala terkekeh kecil di sela-sela tangisnya, mengingat betapa Qais selalu canggung saat berhadapan dengan hal-hal yang berhubungan dengan perasaannya. "Dia selalu berusaha keras untuk membuat semua orang bahagia, termasuk aku tante," Ucap Nala dengan suara serak, mengenang senyuman Qais yang begitu hangat.


   Ibu Qais mengusap punggung tangan Nala, memberikan ketenangan yang tak bisa didapat dari kata-kata. "Kamu tahu, Qais sering bilang kalau kamu adalah orang yang spesial buat dia. Dia nggak pernah berani ngajak kamu pacaran karena dia takut merusak hubungan kalian. Dia bilang kamu terlalu istimewa buat dia, dan dia nggak mau cinta yang dia punya berubah menjadi sesuatu yang egois, terlalu egois juga kalo hanya karena rasa cintanya yang begitu besar sampai harus membawa kamu ke jalan yang salah"


   Kata-kata itu membuat Nala terdiam. Sakit di dadanya semakin terasa, mengingat betapa dia selalu menganggap Qais tidak pernah memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Dia merasa begitu bodoh karena pernah meragukan perasaan Qais.


"Tapi Qais sangat menyayangi kamu, Nala. Dia bahkan bilang ke tante kalau dia rela hanya bisa melihat kamu dari jauh, asalkan kamu bahagia. Dia nggak mau mengajak kamu ke jalan yang salah hanya karena perasaannya sendiri," Lanjut ibu Qais, suaranya semakin lembut namun penuh ketegasan.


   Nala merasa air matanya semakin deras mengalir. Dia tidak pernah menyadari betapa besar pengorbanan Qais untuk menjaga hubungannya tetap murni dan jauh dari dosa. Rasa penyesalan yang mendalam mulai merayapi hatinya. Dia menunduk, mencoba mengendalikan emosinya yang semakin meluap-luap.


"Qais itu orang yang begitu baik Nala. Dia selalu berusaha untuk membuat orang-orang di sekitarnya merasa bahagia, meskipun kadang harus mengorbankan kebahagiaannya sendiri," Lanjut ibu Qais sambil mengelus rambut Nala dengan penuh kasih sayang. "Tapi tante tahu, sekarang dia sudah tenang di sana. Dia pasti mau melihat kamu juga bisa bangkit dan menjalani hidupmu dengan penuh kebahagiaan tanpa ada bayang-bayangnya."


   Nala terdiam, memandang wajah ibu Qais yang penuh kasih. Dia tahu, dalam hatinya, bahwa dia harus belajar mengikhlaskan kepergian Qais. Tapi dia juga tahu bahwa itu tidak akan mudah. Setiap kenangan, setiap senyuman, setiap momen yang pernah mereka bagikan bersama akan selalu melekat dalam ingatannya, menjadi bagian dari hidupnya yang tak tergantikan.


"Aku... Aku bakal coba, Tante," Ucap Nala akhirnya, meskipun hatinya masih terasa begitu berat.


 " Nala mau coba untuk ikhlas, meskipun rasanya sulit."

   Ibu Qais tersenyum lembut dan memeluk Nala dengan erat, memberikan kekuatan yang ia butuhkan. "Tante tahu kamu bisa, Nala. Qais akan selalu ada dalam hati kita semua, dan kenangannya akan terus hidup dalam setiap hal baik yang kita lakukan."

   Nala merasakan getaran halus di dadanya, detak jantungnya semakin cepat, seolah tubuhnya memahami bahwa ini bukan momen biasa. Namun, ragu tetap menggelayuti hatinya. Wanita mengajaknya masuk ke kamar Qais, tapi ia tak bisa melangkah. Pintu itu tampak seperti gerbang ke dunia lain, dunia yang menyimpan kenangan yang kini hanya bisa dikenang.


"Ayo masuk, Nal," Ajak wanita itu dengan lembut, seolah-olah suara itu ingin meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Nala masih mematung di depan pintu, seakan takut jika ia melangkah, semua yang ia simpan rapat-rapat dalam hatinya akan terungkap dan tak terkendali lagi.


   Pintu kamar Qais perlahan terbuka. Udara di dalamnya masih membawa aroma yang familiar, aroma yang begitu ia rindukan. Ruangan itu kecil, hanya ada kasur single, lemari, dan meja belajar. Semuanya tertata rapi, seolah Qais baru saja meninggalkannya untuk sementara waktu, bukan untuk selamanya.


"..........."

symphonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang