✉ SEPUCUK SURAT✉

67 15 2
                                    

 Nala melangkah masuk dengan hati-hati, seperti seseorang yang takut merusak keheningan suci di dalam ruangan itu. Matanya tertuju pada sebuah foto yang terpajang di meja belajar. Itu adalah foto mereka saat wisuda, momen yang selalu ia ingat dengan senyum dan air mata. Ada juga foto saat kelulusan sekolah dulu, terpajang dalam bingkai kayu jati yang tampak sudah mulai menua.


"Ternyata lo masih nyimpen foto ini," Gumam Nala, suaranya bergetar. Ia tak pernah menyangka bahwa Qais menyimpan kenangan itu, sama seperti ia menyimpan kenangan Qais di dalam hatinya, ia kira laki-laki itu masih bersikap seenaknya sendiri seolah dialah yang paling dominan.


   Saat ia berbalik untuk mengatakan sesuatu, Nala mendapati dirinya sendirian di ruangan itu. Wanita yang tadi menemaninya sudah tak ada lagi, meninggalkannya sendiri dalam keheningan yang menyesakkan. Nala berjalan ke arah kasur dan mengambil bantal putih yang tampak begitu bersih, seolah tak pernah disentuh sebelumnya. Namun, di bawah bantal itu, sesuatu menarik perhatiannya.


   Di sana, tersembunyi sebuah foto kecil. Itu adalah foto dirinya, diambil dari belakang, dengan punggungnya yang menghadap kamera. Hanya itu yang terlihat, namun sudah cukup untuk membuat air mata Nala mengalir. "Ternyata lo bucin banget ya sama gue, sok-sok an cuek di depan gue padahal suka banget kan lo sampe nyimpen foto gue di bawah bantal" Ujarnya sambil tersenyum pahit. "Eh, tapi gue juga bucin sih, nama lo selalu ada di karya gue, baik di lukisan maupun novel, udah level up itu cegil gue yang premium."


   Nala mengusap bantal itu dengan lembut, seperti mengelus sisa-sisa kehadiran Qais yang masih tersisa di ruangan ini. "Lo tau, Is? Kata orang, kalau berhasil membuat seniman jatuh hati, maka orang itu dikatakan abadi di dalam karyanya."


   Air matanya kini mengalir deras, tak lagi bisa dibendung. Hatinya terasa perih, seolah ada ribuan jarum yang menusuk-nusuk tanpa ampun. Saat ia hendak keluar dari ruangan itu, Nala tanpa sengaja menjatuhkan sebuah kotak kecil berwarna merah yang tersembunyi di balik selimut. Tangan gemetarnya meraih kotak itu dan membukanya perlahan.


   Di dalamnya, terdapat secarik kertas yang terlipat rapi. Dengan tangan gemetar, Nala membuka kertas itu dan membaca tulisan yang tertera di sana.


Teruntuk NalaAku bertemu seorang gadis asingGadis asing yang mendekatiku tanpa kutahu apa tujuannyaTapi anehnya aku menyambutnya dengan hangatGadis itu memberikan warna di hidupku yang kelabuDengannya aku tak lagi kakuDengannya aku memiliki dunia berwarnaDengannya aku tak lagi sepiBohong kalau aku tak menaruh hati padanyaGadis yang sulit kutebak suasana hatinyaTapi percayalahSenyumannya mampu membabukkan hatikuAku mengetahui sebagian tentang dirinyaBukan menjauh, aku malah semakin jatuhTak ada yang tau betapa bahagianya akuKarena tak perlu berpisah dengannya setelah kelulusanEntah Tuhan merestui jalanku atau bagaimanaSampai kami menempuh pendidikan bersamaTapi aku menjauhinyaKarena aku tak ingin prinsipku untuk tak berpacaran kulanggarTapi sayangnya ujian itu datangGadis itu mengutarakan perasaannya padakuBohong lagi kalau aku tak bahagiaWalaupun begitu aku tetap menolaknya dan mulai menjaga jarakTapi takdir selalu saja mendekatkan kami berduaAku mulai bersikap acuh kepadanyaSeolah-olah keberadaannya tak ada artinya bagikuAtas perlakuanku, aku malah menyakitinya begitu dalamDia menjauh, sejauh-jauhnya darikuDia mulai keluar dari zona nyamannyaBerteman dengan semua orang malah membuatku takutMereka yang bercanda dengannyaApakah mungkin suatu hari akan jatuh hati pada dewiku?Ketakutanku pada akhirnya selalu tepatTemanku diam-diam menaruh hati padanyaTapi hanya diam yang bisa kulakukanAku hanya bisa berdoa supaya Tuhan menjaga belahan jiwakuKuhabiskan waktuku untuk menempuh ilmu hingga usaiTak kusangka usai pula usahanya untuk bertahanDia pun pergi tanpa jejakAku mencoba mengabaikan rindu yang begitu menjeratTapi tetap saja ini menyakitkanLagi-lagi hanya doa yang bisa kupanjatkanAkankah doaku menang dari doa mereka yang menginginkannya?Satu tahun tanpanya telah berlaluTapi masih dia ratu di hatikuAku rasa cintaku padanya tak akan pernah padamHingga suatu hari aku bertemu dengannya lagiAku berjanji tak akan pernah melepaskannya kali iniAku tak peduli dengan dia yang sudah kehabisan rasa padakuAkan kukaitkan cincin ini pada jarinya tak peduli apapun ituBagaimana, nona?Sudahkah terjawab semua pertanyaanmu dulu?Tidak tahukah engkau aku diam-diam begitu gila mencintaimu?Untuk itu, wahai jiwakuAku mencintaimu seumur hidupkuMaukah engkau menjadi pendamping hidupku hingga tua nanti?


  Kertas itu perlahan menjadi basah oleh air mata Nala. Cinta Qais yang begitu dalam, yang ia sembunyikan di balik sikap acuhnya, kini terbuka lebar di hadapannya. Sementara Nala, yang dulu menganggap perasaannya sebagai beban, kini merasa hatinya hancur berkeping-keping. "Is... Gue kangen," Bisiknya lirih, berharap Tuhan memberinya satu kesempatan lagi untuk bertemu dengan Qais, walau hanya dalam mimpi.


"Kak Nala..."


   Sebuah suara memanggilnya dari kejauhan. Nala tak bisa lagi berpura-pura tegar. Ketika melihat gadis kecil itu, anak perempuan yang mirip Qais, air matanya kembali mengalir deras. Tangan mungil anak itu menyentuh pipi basah Nala, seolah mencoba menghapus kesedihan yang terpahat dalam di wajahnya.


"Kak Nala, jangan sedih ya. Kasihan Kak Qais lihat kakak nangis," Ucap gadis kecil itu dengan suara yang lembut namun penuh kepedulian.


   Bibir Nala bergetar. Wajah kecil itu begitu mirip dengan Qais, membuat rindunya semakin menggerogoti hatinya. Ia memeluk gadis kecil itu erat-erat, seolah memeluk Qais yang telah pergi. "Nana sekarang nggak punya kakak, nggak ada yang ngajarin Nana pelajaran, apa lagi ngelindungin Nana," Ucap gadis kecil itu, tangisnya pecah di bahu Nala.


   Nala semakin mempererat pelukannya. Isakan gadis kecil itu begitu pilu, menambah luka yang masih basah di hatinya. "Nana, jangan takut ya. Ada Kak Nala yang selalu ada buat Nana. Kakak nggak akan pernah pergi."


   Dalam pelukan itu, luka yang masih menganga semakin terkoyak, meninggalkan sayatan yang begitu dalam bagi mereka yang ditinggalkan.


   Setelah menyelesaikan semua urusan di sana mereka pun kembali, rumah Nala terasa sunyi dan hampa saat ia dan Brian tiba di sana. Nala hanya duduk diam, tatapannya kosong, pikirannya masih terperangkap dalam bayang-bayang Qais yang begitu lekat.


"Udah, lo tidur aja. Jangan mikirin apa yang terjadi hari ini," Titah Brian dengan nada lembut, mencoba mengembalikan Nala ke kenyataan.


  Nala hanya mengangguk pelan, tapi hatinya tahu, luka ini tak akan sembuh hanya dengan tidur. Cinta Qais akan selalu ada di dalam hatinya, abadi dalam kenangan dan karya yang ia tinggalkan.


"..............."

symphonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang