🍭KEHENINGAN🍭

107 16 12
                                    

 Nala menyelip di antara percakapan ringan yang tengah berlangsung di antara Qais, Lutfi, dan Brian. Ketiganya tengah bercanda tanpa beban, tawa mereka mengisi udara malam yang semakin menebal. Namun, percakapan mereka seketika terhenti saat melihat kedua tangan Nala penuh dengan es krim, lima cup kecil dengan rasa yang berbeda-beda membuat mata Lutfi melebar tak percaya. "Nal, lo serius mau makan itu semua? Apa nggak ngilu gigi lo?" Tanyanya, nadanya setengah khawatir, setengah takjub. Meskipun, harus diakui, Lutfi sudah terbiasa melihat obsesi Nala pada es krim.


   Brian hanya terkekeh sambil menggelengkan kepala. "Gue udah nggak kaget, sih. Tiap pulang, pasti lo bawa es krim, kan? Kadang-kadang ngajak gue sekalian nyetok juga."


   Nala hanya menanggapi mereka dengan anggukan kecil, seolah kata-kata mereka tak lebih dari bisikan angin yang melintas begitu saja. Baginya, es krim adalah salah satu bentuk kebahagiaan sederhana yang Tuhan anugerahkan padanya, sesuatu yang bisa meredam segala kegelisahan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tapi saat cup es krim terakhir hendak ia lahap, Qais dengan cepat merampasnya dari tangan Nala.


"Heh, balikin nggak?" Cibir Nala kesal, suaranya terdengar menggemaskan dalam kemarahannya yang kecil.


Namun Qais hanya tertawa kecil, matanya berkilat nakal sebelum ia melahap es krim itu tanpa ragu. "Nih, masih mau ini?" Tanyanya sambil menyodorkan cup yang hanya sedikit tersisa.Nala menatapnya dengan pandangan tajam. "Lo pikir gue mau makan bekas lo yang notabene cowok? Ogah." Tolaknya mentah-mentah, bahkan dengan ayahnya sendiri ia enggan, apa lagi orang lain.


   Ia beranjak dari tempat duduknya, bersiap untuk mengambil es krim lagi dari meja di sudut ruangan. Namun, Qais tak membiarkan hal itu terjadi. Dengan cepat, ia menahan tali tas yang melingkar di pundak Nala, membuat gadis itu berhenti di tempat.


"Apaan, sih? Lo bisa nggak sih nggak ganggu hari gue mukbang es krim?" Nala merengut, tapi kali ini ada sedikit cemas yang merayap di hatinya saat melihat ekspresi Qais yang mendadak serius.


   Qais menatapnya dengan mata yang dingin, tatapan yang mampu membuat siapa pun merinding. "Jangan kebanyakan makan, nanti gigi lo sakit lagi," Tegurnya dengan suara yang rendah, hampir seperti bisikan.


   Nala terdiam, sejenak merasa hatinya meleleh. Ia tahu Qais benar, berapa kali pun ia mengabaikan rasa ngilu di giginya, rasa sakit itu akan selalu kembali, seolah mengingatkan Nala bahwa ada batasan dalam setiap kebahagiaan yang ia kejar. "Hm, iye, iye," Balasnya, mencoba mengabaikan debar yang tiba-tiba menyusup ke dalam dadanya.


   Nala kemudian mengalihkan pandangannya ke arah sepasang mempelai yang menjadi pusat perhatian malam ini. Senyuman di wajah Rey dan Haga begitu cerah, menciptakan bayangan kebahagiaan yang sempurna di mata Nala. "Kenapa lo malah yang salting liat mereka?" Tanya Qais, setelah Lutfi dan Brian meninggalkan mereka untuk mengambil makanan.


   Nala menatap Qais dengan mata yang samar berkaca-kaca. "Lo tau kan seberapa besar usaha Rey dulu buat Haga? Gue seneng banget akhirnya kisah cinta Rey nggak berakhir tragis."


   Ia terdiam sejenak, membiarkan ingatannya melayang kembali ke masa-masa di mana Rey hampir putus asa, ketika rasa insecurenya hampir menghancurkan segala harapan yang ia miliki untuk Haga. Namun, dengan kegigihannya, Rey akhirnya mendapatkan orang yang bisa mengatasi semua ketakutan dan keraguannya. Haga, di sisi lain, telah menemukan seseorang yang selalu menerima segala baik buruknya, tanpa syarat, tanpa pertanyaan.

symphonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang