🛒PERMINTAAN🛒

63 14 0
                                    

 Qais terpana ketika melihat hidangan di atas meja makan. Aroma masakan yang harum menyeruak, memanggil-manggil selera di setiap helaan napasnya. Ada rasa tak sabar yang menyeruak, membuatnya ingin segera mencicipi setiap suapan. Namun, saat sendok pertama menyentuh bibirnya, ada kehangatan berbeda yang meresap.Namun, seketika itu juga, matanya terasa hangat, berair. Air mata menetes karena haru.


   Nala yang duduk di seberang langsung panik. "Eh, kenapa? Senggak enak itu kah?" Tanyanya sambil memandang Qais penuh kecemasan. Ia yakin masakannya enak, tapi reaksi suaminya membuatnya gelisah. Apakah mungkin selera mereka tidak sejalan? Bagaimana kalau ternyata masakannya memang tidak sesuai dengan lidah Qais?


   Qais buru-buru menggeleng saat melihat ekspresi Nala yang sedih dan khawatir. Ia tidak mungkin tega membuat istrinya kecewa. Ditatapnya hidangan di depan mereka, lalu ia tersenyum kecil, mengumpulkan kata-kata yang tepat. "Bukan, aku bukan nangis karena nggak enak. Aku terharu aja... Biasanya masakan kamu ini dinikmati bareng teman-teman, rame-rame, sekarang kamu buatin khusus cuma buat aku seorang. Rasanya spesial banget, tahu nggak?"


   Mendengar itu Nala merasa hatinya seketika melayang. Senyum tipis mengembang di wajahnya. Qais memang selalu punya cara yang tak terduga untuk menunjukkan perasaannya. Kadang ia terasa begitu dingin dan jauh, tapi di momen-momen seperti ini, ia bisa menunjukkan sisi lembutnya yang membuat hati Nala bergetar. "Kalau gitu, mulai sekarang kalau kamu mau makan apa, bilang aja, ya. Gue masakin. Gue udah makin jago masak, sering latihan soalnya.

 Oya, lo nggak suka makanan apa, sih? Biar gue hindarin bahan-bahan yang nggak lo suka."

   Qais hanya tertawa kecil, nada bicaranya tetap santai. "Aku suka semua masakan kok. Apa aja yang kamu masak pasti aku makan."


   Namun, respons itu justru membuat Nala merasa jengkel. Ia meletakkan sendoknya dengan sedikit hentakan, menatap Qais dengan pandangan menuntut. "Nggak mungkin, gue inget lo nggak suka kacang panjang. Makanya gue nggak masukin bahan itu tadi." Nadanya sedikit meninggi, ekspresi wajahnya serius. Bagi Nala, dalam hubungan, penting untuk jujur soal apa yang disukai dan tidak disukai. Bagaimana bisa Qais selalu menerima semuanya dengan pasrah tanpa mengungkapkan pendapatnya sendiri?


   Qais tersenyum tipis, lalu menarik napas panjang sebelum menjawab. "Di keluarga aku, dari kecil memang diajarin buat nerima apa adanya. Nggak boleh pilih-pilih, semua yang ada disyukuri." Ucapannya terdengar ringan, tapi ada sesuatu di balik kata-katanya yang membuat Nala merasa tersentuh. Ia tahu, Qais memang tumbuh dalam lingkungan yang penuh kesederhanaan dan disiplin. Berbeda dengan Nala yang tumbuh dengan kebebasan memilih dan fasilitas yang lebih dari cukup.


   Melihat suaminya yang tampak serius, Nala memajukan kursinya, mendekat ke arah Qais hingga jarak di antara mereka nyaris tak ada. "Gue ngerti, Is, lo hidup dengan dididikan kayak gitu . Tapi sekarang kondisinya udah beda. lo sekarang udah jadi kepala keluarga, lo nggak harus nerima semua dengan lapang dada kalau itu nggak sesuai sama lo . Lo harus bisa bilang apa yang kamu suka dan nggak suka sama gue. Karena sampai kapan pun kita bakal terus bareng-bareng, kan? Kita bangun rumah tangga kita sendiri, tanpa bayang-bayang aturan lama," Ujarnya lembut tapi tegas. Ia ingin Qais mengerti bahwa dalam rumah tangga, komunikasi yang jujur adalah kunci.


   Nala mengangkat kedua tangannya, memegang wajah Qais dengan lembut. Tatapan mereka bertemu dalam keheningan yang mengandung banyak makna. "Kasih tahu gue ya, kalau ada yang hal yang lo nggak suka. Biar aku bisa bantu," Lanjut Nala sambil mengusap pipi suaminya dengan sentuhan penuh kasih.

symphonyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang