BAB 2

31 13 43
                                    

Datangnya Cowok Iblis

Di Cortofory, selalu ada pertandingan rutin setiap semester

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Di Cortofory, selalu ada pertandingan rutin setiap semester. Pertandingan yang diadakan ialah basket, voly dan futsal. Di semester sebelumnya, aku tak pernah hadir menjadi penonton. Aku lebih suka bertapa di dalam kelas. Sekarang pun, saat pertandingan diadakan, aku memilih tetap berada di kelas. Enaknya lagi sambil baca Shugo Chara.

Saat-saat hangat menjalar ketika aku membaca interaksi Amu dan Ikuto, sosok iblis datang. Punggungnya tertimpa sinar matahari di ambang pintu, sehingga membentuk figur berupa bayangan. Namun, aku tetap dapat mengenalinya, karena itulah aku menggeram dan andai ada portal menuju dunia lain, aku rela menukarkan jiwaku demi bisa melewatinya.

"Kenapa chat gue nggak dibuka?"

"Emang lo chat, ya?" Aku bertanya tanpa menatapnya, sibuk membaca komik. Aku juga berusaha bersikap acuh, walau itu mengundang kekesalan Jerre.

Si iblis itu, yang adalah Jerre—siapa pun bisa menduganya—berdecak kesal.

"Ke lapangan sekarang. Gue butuh dukungan eksklusif lo!"

"Jangan seenaknya dong nyuruh-nyuruhnya. Harusnya lo tau batasan!" Aku yang kesal sontak berdiri, sedikit mendorong kursiku tanpa sadar sehingga menimbulkan decitan kasar.

Kemarahanku ditanggapi acuh oleh Jerre. Dengan wajah datarnya dia merogoh sesuatu di dalam saku celananya. Aku mendesah lelah ketika tahu sesuatu itu ialah surat!

"Nurut atau gue bacain surat lo di lapangan?"

"Oke!" Aku mengalah.

Ancaman Jerre kali ini adalah ancaman paling menakutkan dari sekian banyak ancaman Jerre selama ini. Sehingga mau tidak mau aku harus mengganti seragamku dengan seragam cheerleader yang membuatku syok karena disiapkan oleh Jerre.

"Kenapa dari sekian banyak niat yang nggak bisa lo lakuin, lo bisa seniat ini nyiapin seragam cheerleader buat gue?" tanyaku, tak habis pikir. Semakin heran ketika nomor seragam kami sama-sama 17.

Jerre yang sedang dalam mode cowok dingin enggan menjawab. Begitu acuh sampai membuatku bertanya-tanya, "Gue ngomong sama siapa sih?"

Karena itu hanya gumaman, aku tidak sakit hati ketika Jerre masih tidak menanggapi.

Dia pun memberiku perintah agar tetap berada di tepi lapangan untuk mendukungnya. Jarakku dua meter jauhnya dari tim cheerleader sekolah yang siap mendukung masing-masing tim bahkan tampa dipaksa. Namun, Jerre dengan sifat ketujuhnya, yaitu serakah ingin satu pendukung tambahan, itu aku. Dan aku hanya bisa meringis ketika sadar berada di posisi yang canggung.

Ekuilibrium E-dan Cinta [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang