11. Tantangan

62 2 0
                                    

C H A P T E R  1 1

TANTANGAN

TANTANGAN

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

᛫◧᛫

❝Kamu harus memenangkan perang itu. Jangan sampai kalah atau kamu ga akan bisa jadi pemimpin Andreas selanjutnya!❞











"ANAK itu ga bisa terus-terusan dibiarin, Dew. Papa ga mau tau, kamu harus memenangkan perang itu. Jangan bikin Papa kecewa."

Dion dengan tegas menatap anaknya. Ekspresinya seperti seorang alpha yang tidak mau kata-katanya dibantah sedikit pun.

"Kalian bikin kesepakatan sendiri?" Sadewa terkejut sekaligus tak percaya mendengar cerita dari ayahnya yang ternyata telah bertemu dengan Nakula dan Robi. "Andreas dan Kaesar?"

"Yes," ucap Dion. "Papa dan Robi setuju, perang kalian berdua adalah perwakilan dari Andreas dan Kaesar sehingga ga perlu ada perang antar keluarga lagi. Kami berdua sepakat: kalau Nakula kalah, Kaesar akan tunduk dengan Andreas dan begitu juga seba—"

"Tapi kenapa?" Sadewa memotong, ia tak menyukai ini. "Kenapa Gazter dan Genzaro jadi bawa masalah dua keluarga besar mafia juga?"

"Kamu ga mendengarkan kata-kata Papa dengan baik," gertak Dion. "Kaya yang Papa bilang tadi, kalian berdua turun sebagai 'perwakilan'. Itu yang diucapin Nakula."

"Lagipula kalau kamu ga setuju kenapa dari awal ga menolak kesepakatan ini?"

"Karena Dewa kira kami berdua bakal perang dengan membawa nama diri sendiri dan geng. Bukan bawa persaingan antar dua grup mafia. Itu terlalu berat, Pa!" ujar Sadewa.

Ia mengerti betapa sengitnya permusuhan dua keluarga besar itu. Tetapi sangat tidak menyenangkan jika ia dan Nakula yang harus menjadi pusat penyelesaian masalah ini.

"Gimana kalo Gazter yang kalah?" ungkap Sadewa. Ia sebenarnya tidak khawatir, hanya memikirkan kemungkinan buruknya. Tetapi ayahnya salah paham.

"Oh. Jadi kamu takut kalah dari mereka?" Dion mulai mengintimidasi. "Seorang Andreas ga akan pernah meragukan kekuatannya sendiri. Apa Papa gagal mendidik kamu supaya punya prinsip seperti itu?"

Sadewa menggeleng. "Dewa cuma mikirin resikonya, Pa. Terlalu besar."

"Kamu ga sama kaya Nakula," ungkap Dion tiba-tiba. "Dia selalu berani melangkah mengambil resiko besar. Papa udah mendidik kamu dengan sangat baik, seharusnya kamu ga bikin Papa kecewa."

Sadewa seketika terdiam. Ia marah. Bagaimana bisa ayahnya membandingkan dirinya dengan kakaknya. Setelah bertemu Nakula, sikap ayahnya ini berubah dan lebih sering membicarakan Nakula.

Sadewa tidak bisa menerimanya. Ia tidak pantas dibandingkan dengan pecundang seperti Nakula!

"Sadewa ..." Dion merengkuh pundak Sadewa, sadar telah menyulut emosi anaknya. "Kamu tau? Kamu adalah satu-satunya anak di keluarga ini yang saya banggakan. Bahkan kasih sayang saya ke kamu melebihi kasih sayang saya ke anak sendiri."

NADEWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang