Motor yang dinaiki olehku berhenti di pinggir jalan dekat kos. Aku pun turun dari sana dan mengembalikan helm yang dipakaiku ke bapak-bapak ojek online. Aku segera mengambil uang dari tas selempangku dan memberikannya pada bapak itu.
"Makasih, ya, Pak," kataku.
"Kembaliannya, Mbak?"
"Nggak usah, Pak. Ambil aja."
"Ya, ampun. Makasih, ya, Mbak."
"Iya, Pak. Sama-sama. Mari, Pak."
Aku pun mulai berjalan menuju kosku. Tidak seperti kemarin, hari ini aku tidak perlu menyelip lewat bawah portal karena portalnya belum ditutup.
Meskipun kerjaanku lebih banyak duduk-duduk saja, tetapi aku sangat lelah. Rasa empuk dari tempat tidurku sudah terbayang di kepalaku.
"Halo, Mbak. Sendirian aja?"
Pertanyaan itu berasal dari salah satu pria yang tidak dikenali olehku. Masih ada 2 pria lagi. Sepertinya mereka bukan berasal dari lingkungan ini mengingat aku tidak pernah melihat mereka selama tinggal di sini. Mereka terlihat seperti preman-preman yang dulu sering kutonton di sinetron yang ada di TV.
"Habis dari mana, Mbak? Kok, pulangnya malam?" tanya salah satu pria berbadan cungkring.
"Cowoknya mana, Mbak? Gak nganterin?" tanya pria lainnya yang memakai topi terbalik.
"Maaf, saya buru-buru."
Aku baru mau melangkah pergi, tetapi ketiga pria itu menghadangku.
"Eits, mau ke mana, Mbak? Main dulu sama kita-kita, yuk," kata pria berbadan lebih besar yang pertama kali bertanya tadi.
Aku baru mengalami situasi ini pertama kalinya. Yang biasanya hanya dilihatku di TV, tidak sangka aku pun mengalaminya secara nyata di kota orang. Aku tidak begitu takut, tetapi tetap saja aku adalah perempuan dan mereka adalah laki-laki. Bertiga lagi. Aku tidak bisa bela diri. Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?
Aku mundur ketika ketiga pria itu mulai melangkah mendekat. Apa aku memberikan nasi kotakku saja, ya? Siapa tahu dengan begitu mereka akan lebih memilih makanan ketimbang menggangguku.
"Kal—"
"Lis, dari mana aja?"
Sebuah pertanyaan itu datang dari arah belakangku. Sontak aku dan ketiga pria itu menoleh ke sumber suara.
Aku cukup terkejut. Si cowok tengil!
Cowok tengil itu berhenti di sampingku. Menatapku sejenak, lalu tersenyum padaku.
"Acaranya udah selesai, ya? Kok, pulang gak ngabarin Abang? Kan, biar Abang yang jemput," kata cowok itu.
Lidahku terasa kelu. Abang? Apa maksudnya?
Ketiga pria itu menatapku dan cowok tengil ini dengan wajah bingung.
"Mereka siapa? Teman kamu, ya?" Cowok itu mengangkat pandangannya, lalu menatap ketiga pria asing itu satu per satu. "Halo, saya Abangnya. Kalian temannya adik saya, ya? Kenapa belum pada pulang? Mau ke rumah kami? Ayah kami suka menyambut teman-temannya adik saya. Gak usah sungkan-sungkan kalau mau ikut."
"O-oh, adiknya Mas, ya? Pa-pantesan mirip. Nggak usah, Mas. Mas sama adiknya pulang duluan aja," jawab pria yang badannya lebih besar.
"Oh, yaudah kalau gak mau. Kalau gitu, saya dan adik saya pulang dulu, ya?" pamit cowok itu.
"I-iya, Mas. Silakan."
"Yuk, Lis."
Tanpa aba-aba, cowok tengil itu menarik pergelangan tanganku mengikutinya berjalan menjauhi kos kami. Aku yang masih berusaha memahami situasi yang telah terjadi, pasrah saja mengikuti cowok itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Like We Just Met
Novela Juvenil⚠️ Jangan memplagiat ceritaku.. Sudah kuperingatkan dengan baik-baik, ya :) -------------------- Baru di semester 5 merasakan kuliah offline dan baru 4 bulan menjadi anak rantau, Sherena lolos program Teaching in School angkatan 6 setelah iseng mend...