• LWJM 6 •

6 3 0
                                    

Sekitar pukul setengah 8 pagi, aku keluar dari kamar untuk menjemur pakaianku yang baru saja kucuci. Aku tidak perlu ke bawah karena di setiap depan kamar sudah disediakan kayu panjang yang menggantung tinggi untuk menjemur pakaian para penghuni kos.

Di sela kegiatanku menjemur pakaian, aku mendengar sebuah suara yang sedikit menggangguku. Ketika menoleh ke samping kanan, cowok berwajah tengil dengan senyum yang bertengger di wajahnya itu yang tertangkap oleh netraku. Penghuni kos sebelah.

Aku sedikit terkejut karena aku hanya memakai baju lengan pendek, celana selutut, dan tidak memakai kerudung. Namun, aku berpikir bahwa sudah terlanjur dilihat oleh cowok itu dan kami hanya sebatas 2 orang yang kosnya bersebelahan dan tidak saling kenal.

Aku menghelas napas panjang, lalu melanjutkan aktivitasku seolah-olah tidak ada yang terjadi.

"Mbak," panggil cowok berwajah tengil itu.

Aku mengibas-ngibas pakaianku dengan kuat beberapa kali ke sebelah kananku. Niatku ingin membuat cowok tengil itu pergi, kembali ke kamarnya, atau setidaknya tidak menggangguku lagi. Akan tetapi, sepertinya air kibasan dari pakaianku tidak mengenai cowok itu karena walaupun bersebelahan, jarak kos kami juga bisa dibilang jauh juga. Kurang lebih 3 meter.

"Mbak, kok, cuek amat, sih? Masa saya yang ganteng paripurna ini dicuekin terus," kata cowok itu.

Aku selesai menjemur seluruh pakaianku, lalu bersiap-siap untuk masuk kembali ke dalam kamar.

"Bentar, Mbak!" tahan cowok itu.

Aku memejamkan mata sesaat sambil mengambil napas dalam, lalu mengembuskannya. Aku berbalik badan dan menatap cowok berwajah tengil itu dengan ekspresi wajah jengah.

"Maaf, Kak. Aku gak tau Kakak siapa dan mau Kakak apa. Kalau Kakak cuma mau ganggu-ganggu aku, mending Kakak berhenti karena aku benar-benar gak tertarik sama sekali," ujarku.

Tidak ada ekspresi lain yang ditunjukkan oleh cowok itu selain wajah yang terus terpasang dengan senyumannya.

Aku mengakui cowok itu memiliki wajah yang rupawan, tetapi dia bukan tipeku sama sekali. Tipeku setidaknya harus seganteng Na Jaemin, sebaik Na Jaemin, setinggi Na Jaemin, selucu Na Jaemin, selembut Na Jaemin, dan pokoknya harus Na Jaemin!

"Kamu anak Unima, ya?"

Unima atau singkatan dari Universitas Nila Mahendra adalah nama universitasku. Sudah pasti cowok itu bisa menebaknya karena kebanyakan yang ngekos di daerah dekat universitasku berkuliah di Unima.

"Kalau iya, kenapa?" tanyaku balik.

"Saya antar jemput kamu boleh?"

"Hah?"

Sinting! Baru kali ini aku bertemu cowok setengil, semenyebalkan, dan se-random cowok yang kurang lebih 3 meter di depanku ini. Sebenarnya siapa cowok itu? Kalaupun cowok itu juga berkuliah di Unima, seharusnya dia menjaga sikap kalau tidak ingin ada rumor aneh tentang dirinya di kampus. Ah, tidak. Aku tidak mungkin membicarakan seseorang yang tidak-tidak ke orang lain. Aku hanya menggertak saja.

"Mau Kakak apa, sih? Aku lagi gak pengin bercanda," kesalku.

Cowok itu tertawa. "Saya cuma pengin kenalan. Masa kita tinggal bersebelahan, tapi gak mau saling sapa tetangganya? Saya tau kamu cuma sendiri di kos. Apa salahnya berteman dengan tetangga?"

Dari ucapannya, terdengar seperti cowok itu mengatakan bahwa aku kesepian dan membutuhkan teman. Kurang ajar! Padahal dirinya sendiri yang kentara sekali lebih kesepian dan membutuhkan teman daripadaku.

"Maaf, aku gak tertarik, Kak. Selama ini kita baik-baik aja tanpa saling sapa. Kalau Kakak ganggu aku lagi, aku gak akan segan-segan bilang ke Pak Kosku tentang Kakak yang suka gangguin aku kalau lagi sepi."

• LWJM •

"Sher, kamu kenapa?"

Pertanyaan dari Murni segera menyadarkanku dari lamunanku tentang kejadian tadi pagi. Aku berpikir, apakah perkataanku terlalu kasar dan tidak sopan pada cowok itu yang hanya karena ingin mengajakku berteman? Ah, tapi aku tidak akan berkata seperti itu kalau saja cowok itu tidak berkata yang aneh-aneh.

Aku menggelengkan kepalaku. Sudahlah. Pasti setelah ini cowok itu akan berhenti menggangguku dan menganggap diriku adalah cewek yang kasar dan tidak sopan. Cowok mana yang akan berteman dengan cewek kasar?

"Gak apa-apa. Aku cuma ngantuk, kok," bohongku.

"Karena ada Caster-nya dan nonton bareng-bareng jadi seru, ya," komentar Murni.

Aku mengangguk. "Iya. Padahal aku kurang suka game cowok karena gak ngerti cara mainnya juga, tapi Dean jago banget jadi Caster-nya dan yang lain ikut sorak makanya jadi kelihatan lebih seru."

Di hari kedua tournament Mobile Legends ini sampai final, para panitia mengundang Dean sebagai Caster. Dean adalah teman seprodiku dan yang lain. Sejak awal masuk kuliah orangnya sangat aktif bertanya ketika ada kelas, dia orangnya kritis, ambisius, ikut organisasi sana sini, public speaking-nya bagus, berjiwa kepemimpinan, dan sudah pasti kelihatan sangat pintar. Dia memang cocok dan tidak salah masuk prodi Ilmu Komunikasi.

Hujan masih turun dengan deras di luar. Aku takut hujannya akan awet yang akan membuatku kesulitan untuk pulang.

"Gimana? Orang tuamu udah sampai mana?" tanyaku pada Murni.

"Katanya ini udah sampai di terminal dekat kampus. Aku pulang duluan bisa gak, ya?"

Kedua orang tua Murni datang jauh-jauh dari Bima ke Yogyakarta segera setelah mendapat kabar bahwa kakak Murni kecelakaan. Seperti kata Murni, mereka sudah tiba di terminal bus yang dekat dengan kampus kami.

"Kayaknya bisa, deh. Kamu izin aja ke Chandra dan Era. Mereka pasti ngerti," kataku.

"Aku izin ke mereka dulu, ya? Maaf, ya, Sher, gak bisa nemenin kamu sampai pulang," sesal Murni.

"Gak apa-apa, Mur. Orang tuamu lebih penting."

"Aku pergi, ya?"

Aku hanya mengangguk.

Setelah kepergian Murni, tidak ada yang bisa diajak ngobrol lagi denganku. Begitulah. Mau di mana pun seseorang berada, mereka akan tetap dihadapi dengan yang namanya circle. Alhasil, aku hanya duduk diam menonton pertandingan sampai selesai.

Juara pertama dimenangkan oleh tim Fakultas Kedokteran dari Universitas Lara Sakti atau Ulasa, juara kedua dimenangkan oleh tim Fakultas Teknik dari Unima, dan juara ketiga dimenangkan oleh tim dari luar yang tidak kuketahui. Dari proporsi badan mereka, sepertinya mereka masih SMA.

Acara diakhiri dengan pembagian hadiah dan foto bersama. Setelah itu, para peserta diperbolehkan untuk pulang.

Hari ini acara selesai lebih awal sekitar pukul setengah 8. Namun, aku tidak bisa langsung pulang karena masih hujan dan masih ada evaluasi.

"Makasih semuanya untuk kontribusi kalian selama dua hari ini. Begitu juga dengan kalian yang selalu menyempatkan waktu untuk hadir di setiap rapat kita. Akhirnya, acara kita ini selesai juga dan berjalan dengan lancar. Aku pribadi minta maaf kalau selama ini menjadi Ketua Event Planner B banyak kurangnya. Jangan kapok untuk ketemu dan berteman sama aku. Aku senang kenal kalian semua. Tetap jaga tali silaturahmi kita. Kalian orang-orang yang hebat. Makasih," tutup Chandra mengakhiri pidato singkatnya.

Setiap ketua divisi juga memberikan sedikit tambahan. Setelah evaluasi itu, kami mengambil foto bersama dan juga setiap divisi. Kemudian, kami bersih-bersih dan bersiap untuk pulang.

Sampai di luar, kami kembali berkumpul untuk mendapatkan nasi kotak yang sama lagi dari sponsor yang dibagikan oleh Kinan. Setelah itu, barulah aku benar-benar bisa pulang ketika waktu sudah menunjukkan pukul setengah 10 malam.

Like We Just MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang