• LWJM 13 •

34 2 0
                                    

"Awal?"

Sebenarnya, aku tidak terlalu terkejut akan kemunculan Awal di sampingku yang tiba-tiba. Hanya saja, kami sudah tidak bertemu selama kurang lebih 9 hari--kalau aku tidak salah hitung. Lalu, tiba-tiba cowok itu muncul tanpa say hi atau menegurku terlebih dulu. Dasar!

"Bayarnya jadi jadi satu, Kak?" tanya mbak kasir.

"Iya, jadi satu aja, Mbak." Awal langsung memberikan selembar uang Rp. 20.000 kepada mbak kasir.

"Ini kembaliannya, Kak. Terimakasih."

Awal menerima kembaliannya dan membalas senyum mbak kasir. "Makasih."

Aku menerima es krim yang disodorkan Awal tanpa berkata apa-apa. Kami pun berjalan keluar bersama. Aku baru saja mau membuka payungku, tetapi tertahan karena kalimat yang dikatakan oleh Awal.

"Duduk dulu, Sher. Pemandangan hujan di sore hari itu bagus, lho."

Aku berdecih. "Lihat dari kos juga sama aja kali."

Aku kembali membuka payungku. Kali ini benar-benar terbuka sempurna. Aku pun hendak melangkahkan kakiku.

"Bentar aja, Sher. Temani saya."

Lagi dan lagi, kali ini langkahku tertahan. Aku bisa saja bersikap bodo amat dan lanjut berjalan tanpa menghiraukan ucapan Awal. Namun, hati dan pikiranku terkadang tidak sejalan. Seperti sekarang ini.

Aku menutup kembali payungku, menghentakkan kakiku kesal ke arah Awal. Lalu, aku duduk di kursi kosong yang ada di seberang cowok itu. Aku membuka bungkusan es krimku dan memakannya tanpa menatap Awal sedikit pun.

Tanpa kuduga, Awal malah tertawa. Hal itu malah membuatku tambah kesal. Kenapa, sih, dengan cowok itu?

"Kamu marah sama saya?" tanya Awal.

Aku langsung menoleh. "Marah? Sama kamu? Dih. Ngapain juga." Aku menggigit es krimku menggunakan gigi atas, kalau bagian bawah ngilu. "Es krimnya kuganti nanti, gak ada uang kecil sekarang."

"Gak usah. Buat kamu aja. Saya emang lagi niat mau traktir kamu," katanya.

Aku tidak ingin berbicara lagi atau sekadar bertanya 'dalam rangka apa?', jadi aku hanya diam.

"Cuma kamu orang yang makan es krim di cuaca dingin." Awal kembali bersuara. Mungkin dia kurang suka keheningan makanya mencari topik pembicaraan lain lagi.

"Biarin. Orang kamu juga minum minuman dingin, kok," tunjukku pada kopi kaleng yang terbuka di atas meja.

"Seharusnya, gak boleh, sih."

"Dih, apa hak kamu ngatur-ngatur aku?"

"Soalnya manismu nanti bertambah."

DEG. Aku menghentikan aktivitas memakan es krimku yang tersisa setengah. Aku berusaha untuk mengumpulkan kembali kesadaranku setelah dibuat munculnya perasaan aneh yang tidak berarti dari cowok menyebalkan di sampingku ini. Apakah keputusanku berteman dengan Awal benar? Apakah seharusnya aku berteman dengan cewek saja? Para cowok selalu tidak bisa menjaga tutur kata mereka.

"Ke mana aja kamu selama seminggu kemarin? Maksud aku, aku cuma pengin tau. Gak dikasih tau juga gak apa-apa," tanyaku mengalihkan topik.

"Kamu nyariin saya, ya?" Awal balik bertanya yang terdengar seperti menggoda di telingaku.

"Siapa juga yang nyariin? Pede banget."

Aku telah menghabiskan es krimku. Aku beranjak untuk membuang bungkusan es krim di tempat sampah yang tidak jauh dariku. Lalu, kembali duduk di tempat semula dan memandang titik-titik air hujan yang jatuh tidak jauh di depanku.

Like We Just MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang