• LWJM 22 •

1 2 0
                                    

Baris-berbaris baru saja selesai. Aku merasa kebingungan dan takut bertemu dengan guru-guru yang kemungkinan terbesarnya akan masuk ke ruang guru. Saat bel berbunyi tadi, aku benar-benar bingung dengan apa yang harus kulakukan. Berada di lingkungan baru dan bertindak sendiri itu masih sulit untukku. Alhasil, aku tetap di dalam ruang guru dan tidak ikut berbaris di luar. Padahal seharusnya aku sudah tahu bahwa aku harus memperkenalkan diri di depan para murid dan guru-guru yang lain. Akan tetapi, aku tidak melakukannya. Makanya sekarang aku takut bertemu dengan para guru.

Ketika para guru satu per satu mulai masuk ke dalam ruang guru, aku tersenyum sopan saat guru-guru tersebut menatap ke arahku. Sebagian dari mereka membalas tersenyum, lalu langsung ke meja masing-masing.

Awalnya, aku berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya sejak respons pertama dari guru ber-blush on pink. Akan tetapi, sepertinya guru-guru di sini tidak tahu akan adanya mahasiswa Teaching in School di sekolah mereka. Apa kepala sekolah tidak memberitahu para guru? Atau memang guru-gurunya saja yang tidak terlalu tertarik dengan keberadaanku?

Aku tidak melanjutkan pemikiranku tersebut karena kepala sekolahnya baru saja masuk ke ruang guru. Aku tersenyum yang juga dibalas senyum oleh kepala sekolah.

"Kenapa tadi tidak ikut baris?" tanya kepala sekolah langsung.

DEG. Apa yang harus kukatakan?!

"Ehm ... maaf, Pak."

Pada akhirnya, hanya permintaan maaf yang bisa kuucapkan. Aku tidak akan membuat alasan atau akan berakibat buruk untukku.

"Tidak apa-apa. Kali ini saya maklumi karena baru hari pertama. Ayo, sambil duduk," kata kepala sekolah yang berjalan duluan dan duduk di kursi yang ada di belakang kursiku. Aku mengikuti dan duduk di kursi. Aku menghadap ke belakang. Aku dan kepala sekolah hanya dihalangi oleh sebuah meja.

Aku mengambil map cokelat, mengeluarkan berkas-berkas hasil print-anku, dan memberikannya kepada kepala sekolah. Ada dua surat tugas. Surat tugas dari kampus dan surat tugas dari Kemendikbud. Isinya adalah nama-nama mahasiswa, asal universitas, program studi, penempatan sekolah, dan nama DPL.

Kepala sekolah yang bernama Pak Mukhlis itu melihat berkas-berkas tersebut.

"Jadi, mahasiswanya ada tiga?" tanya Pak Mukhlis.

"Iya, Pak."

"Yang duanya ke mana?"

"Lagi izin KKL, Pak. Jadi, saya sendiri dulu seminggu ini," beritahuku.

"KKL ke mana?"

"Bali, Pak."

"Wah, Bali, ya." Pak Mukhlis mengangguk-angguk. "Mbak e namanya siapa?"

"Sherena, Pak."

Aku merasa ini sudah seperti wawancara kerja saja. Daritadi aku hanya menjawab.

"Prodinya?" tanya Mukhlis lagi.

"Ilmu Komunikasi, Pak," jawabku untuk yang kesekian kalinya.

"Bagus itu. Nanti ajarin anak-anak di sini public speaking aja," kata Pak Mukhlis. "Kalau dua temannya?"

"Teknik Informatika, Pak."

"Nah. Kalau mereka pasti bisa ngajarin IT. Kita punya lab komputer, tapi hanya beberapa komputer saja yang jadi."

Selama Pak Mukhlis berbicara atau bercerita tentang sekolah, aku sesekali hanya ber-oh ria dan menganggukkan kepala. Pak Mukhlis itu bicaranya sangat cepat. Ada beberapa bagian yang tidak terlalu ditangkap olehku karena bicara Pak Mukhlis seperti distel ke speed 1,75x.

Namun, Pak Mukhlis terlihat seperti orang yang ramah, dapat diajak bercanda, dan sedikit santai karena setiap beliau berbicara, pasti diakhiri dengan senyuman lebar atau kekehan. Ya, setidaknya kepala sekolah di sini tidak kaku atau terkesan tidak peduli seperti di drama-drama.

• LWJM •

Aku berjalan mengikuti salah satu guru wanita yang bernama Ibu Ratri. Jantungku berdebar lebih cepat dari biasanya. Bagaimana tidak? Karena tidak mungkin aku melakukan proker sendiri karena aku, Dilan, dan Mira belum membahas tentang proker kami, jadi aku mengatakan selama seminggu ini akan melakukan observasi dulu. Alhasil, Pak Mukhlis menyuruhku untuk masuk ke kelas 8B berhubung guru yang mengajar pagi ini belum datang.

Di bibirku mengatakan iya, tetapi di dalam hati aku belum siap sama sekali. Bagaimana jika aku terlalu gugup? Bagaimana jika aku terbata-bata dalam berbicara? Bagaimana jika anak-anak tidak menyukaiku? Aku benar-benar bukan tipe orang yang bisa mencairkan suasana, terutama bila targetnya adalah anak-anak.

Aku dan Ibu Ratri masuk ke dalam sebuah kelas yang berada paling ujung. Aku cukup terkejut melihat betapa aktifnya anak-anak cowok bergerak ke sana kemari, berbicara dengan suara yang cukup lantang, dan tidak menggubris Ibu Ratri dan diriku yang masuk ke kelas. Ini adalah hal baru dan pertama kalinya aku menyaksikan hal seperti ini secara langsung.

Aku memerhatikan kelas ini. Kelasnya luas, tetapi plafonnya sedikit rendah dan terkesan gelap meskipun sudah ada lampu yang dinyalakan. Murid di kelas ini hanya ada kurang lebih sekitar dua puluhan anak. Meja dan kursi yang sedikit membuat space yang cukup luas di belakangnya. Alhasil, kelas ini terlihat kurang penuh atau terkesan ada yang kurang.

"Ayo, semuanya duduk. Kita mau mulai kelasnya," ujar Ibu Ratri dengan suara lantangnya.

Tiba-tiba aku merasa kecil berada di samping Ibu Ratri. Nyaliku seperti menciut. Sejak SD sampai SMA aku dikatai cewek dengan suara yang lembut dan kecil. Bahkan aku sudah mencoba untuk membesarkan suaraku ketika berbicara, tetapi hasilnya tetap sama. Tidak mungkin, 'kan, aku harus berteriak?

Para murid kembali duduk di tempatnya masing-masing walaupun beberapa ada yang duduknya kurang sopan.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," buka Ibu Ratri yang dijawab salam oleh para murid. "Hari ini kita kedatangan mahasiswa yang akan berada di sekolah kita selama ... berapa bulan, Mbak?"

"Empat bulan, Bu."

"Selama empat bulan. Jadi, berperilaku yang baik dan buat kakaknya nyaman di sini selama empat bulan."

Perkataan Ibu Ratri langsung mengundang riuh dari para anak cowok. Aku hanya bisa tersenyum kikuk menanggapinya.

"Pelajaran apa kalian pagi ini?" tanya Ibu Ratri.

"Prakarya, Bu," jawab beberapa anak.

"Sama Bu Lia, 'kan? Karena Bu Lia-nya belum datang, jadi kalian bakal diajari sama kakaknya dulu." Ibu Ratri menoleh ke arahku. "Mbaknya mau langsung ngajar atau gimana?"

Diserang pertanyaan seperti itu, membuatku seketika bingung bagaimana cara menjawab. Padahal aku pikir Ibu Ratri yang akan mengajar, tetapi malah dilempar ke diriku.

"Ehm ... perkenalan aja dulu, Bu," jawabku.

"Oh, iya. Silakan bisa langsung dimulai."

Setelah mengatakan hal itu, Ibu Ratri berjalan ke meja yang kosong paling belakang, lalu duduk di sana. Aku kira Ibu Ratri akan langsung keluar, tetapi ternyata Ibu Ratri ikut memerhatikanku. Ah, tidak. Lebih tepatnya aku diawasi. Padahal aku tidak suka diperhatikan ketika melakukan sesuatu seperti sekarang ini.

Lalu, aku menarik napas dalam dan mengembuskannya. Aku mengambil tiga langkah ke depan. Sebisa mungkin aku tersenyum seperti biasanya.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," bukaku.

Like We Just MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang