• LWJM 19 •

1 2 0
                                    

Aku dan Eka salat Subuh sekitar pukul setengah 6 pagi, lalu kami kembali tidur lagi dan bangun untuk yang kedua kalinya pada pukul setengah 8 pagi. Eka masih mengantuk, tetapi dia memaksakan diri untuk bangun. Masih banyak barang-barang yang belum dia packing. Padahal hari ini dia akan pergi ke rumah tantenya.

"Cari sarapan, yuk, Sher," ajak Eka.

"Di mana?" tanyaku.

"Ada tempat yang kemarin kita lewatin pas ke Indomaret. Di situ jualan kue-kue jajanan pasar gitu. Enak banget. Apalagi piscoknya."

"Piscok?" Wajahku tanpa sadar berbinar setelah mendengar kata piscok.

"Iya. Gede-gede, Sher, piscoknya. Mana cuma dua setengah lagi." Eka memberitahu.

"Wah, aku jadi gak sabar pengin lihat segede apa piscoknya."

Aku dan Eka pun pergi bersiap-siap mencuci wajah, menyikat gigi, dan berganti pakaian. Kami sama-sama tidak mandi dengan beralasan nanti saja baru mandi.

Setelah mengunci pintu kamar kos, aku dan Eka berjalan bersama keluar dari kos ke tempat jualan kue-kue pasar berada. Sebenarnya tidak jauh, tetapi karena berjalan kaki jadinya terasa cukup jauh. Namun, tidak apa-apa. Aku dan Eka merasa senang karena kami pergi bersama, bukan sendirian.

Akhirnya, kami pun sampai di tempat jualan kue-kue pasar itu. Mataku berbinar karena ada begitu banyak macam kue dan beberapa jenis nasi bungkus yang tersedia. Aku pun menangkap sebuah objek yang dari awal menjadi incaranku.

Piscok.

"Wah, ini beneran gede, Eka. Gile," pukauku.

"Iya, 'kan, Sher? Baru makan satu aja udah bikin kenyang, lho."

"Ih, masa? Ah, tapi gak apa-apa, deh. Kalau beli banyak, kan, bisa makan buat nanti lagi," kekehku.

"Iyap, bener, Sher. Kau mau beli apa aja?" tanya Eka.

Aku sedang berpikir. Piscok sudah pasti akan kubeli. Lalu, apa lagi yang harus kubeli? Aku pun melihat nasi kuning yang dibungkus dengan mika. Hal itu mengingatkanku akan nasi kuning yang selalu bunda buat setiap anggota keluarga kami sedang berulang tahun. Akan tetapi, di ulang tahunku kemarin aku tidak bisa memakan nasi kuning buatan bunda karena posisinya aku sudah ada di kota orang tiga minggu sebelum hari ulang tahunku.

Meskipun selama di sini aku sudah mulai jarang sarapan nasi, tetapi bila itu adalah nasi kuning, aku tidak bisa menolaknya.

Akhirnya, aku pun mengambil satu mika nasi kuning dan dua piscok. Sedangkan Eka mengambil satu nasi bungkus, dua piscok, dan dua kue bendera.

"Kau tambah apa lagi, Sher?"

"Ehm ...." Aku melihat-lihat kue-kue yang tertata di meja di depanku ini. Tiba-tiba aku merasa senang karena melihat ada kue putu ayu. Aku tidak menyadarinya sejak tadi.

Alhasil, aku tambah membeli dua kue putu ayu. Setelah membayar, kami pun kembali ke kos Eka.

Kami duduk berhadapan di lantai dan sama-sama menatap hasil belanjaan sarapan kami yang ada di depan kami.

"Ini porsi kuli, sih, Sher," komentar Eka.

Aku tertawa lepas karena ucapan Eka.

"Ya, mau gimana lagi? Di sekitaran kosku gak ada yang jualan ginian dan ini udah pasti jadi pertama dan terakhir kalinya aku makan makanan favoritku lagi," ujarku.

"Ya, ampun, Sher. Maaf, ya. Kalau sa masih di sini, pasti kau bakal sesekali makan makanan favorit kau ini," sesal Eka.

"Astaga, gak usah minta maaf, Eka. Kamu gak salah apa-apa, kok. Nanti pas kamu kembali ke Jogja, ayo kita hunting piscok dan teman-temannya ini di luar sana. Kita coba di berbagai tempat. Deal?"

Eka memberikan tatapan terharunya, lalu segera membalas jabatan tanganku. "Deal."

• LWJM •

Siang harinya, Eka lanjut mem-packing barang-barangnya. Dibantu olehku yang akhirnya diizinkan Eka untuk ikut membantu. Karena koper dan juga tas jinjingnya tidak cukup untuk barang-barangnya yang masih tersisa banyak, Eka memakai beberapa kardus hasil pencarian kami di warung-warung dekat kos sebelumnya.

"Wah, kamu beli buku-buku ini juga?" tanyaku ketika Eka mengeluarkan beberapa buku yang pernah direkomendasikan dosen-dosen kami untuk dibeli waktu kami masih kuliah online sampai semester 4.

"Iya, Sher. Sa beli dan kau lihat? Mereka masih pada bagus-bagus karena sa jarang buka."

Aku terkekeh. "Nah, iya. Aku aja kalau disuruh beli buku gak pernah aku beli. Kalau ada tugas, pasti carinya langsung ke Google, bukan ke buku."

"Huhu ... sayang banget. Mana pada mahal-mahal lagi."

"Dijual lagi aja, Eka, kalau memang gak dipakai," saranku.

"Iya, juga, ya. Nanti, deh, kita lihat pas udah skripsian. Kalau udah gak dipakai, baru sa jual."

Eka memasukkan buku-buku itu ke dalam kardus. Lalu, disusul dengan barang-barang lainnya.

"Sher, udah siang. Kalau mau makan, makan duluan aja gak apa-apa," kata Eka.

"Gak mungkinlah aku makan duluan. Aku buat Lemonilo kita berdua, ya."

"Iya, Sher. Itu pakai panci listrik yang ada di dalam kardus itu," tunjuk Eka.

"Oke."

Aku pun membuka kardus panci listrik milik Eka dan terkejut dengan warna pancinya. Ungu.

Aku terkekeh. "Semuanya serba ungu, ya, Ka."

"Harus, Sher. Kalau gak ungu, sa nggak mau."

Lalu, aku mengambil panci listrik tersebut dan mulai memasak air yang sudah kutuang ke dalam panci listrik.

Selagi menunggu air mendidih, aku membuka bungkusan mie Lemonilo. Jantungku berdebar karena menduga-duga photocard siapa yang akan kudapatkan.

"Ah, Chenle!" girangku.

"Punyaku, Sher. Dapat siapa?" tanya Eka.

"Wait." Aku membuka bungkusan mie Lemonilo yang satunya lagi dan mendapatkan photocard yang sama. "Wah, sama, Eka. Dapat Chenle."

"Takdir emang, Sher, kita dapat samaan," kata Eka.

Lalu, aku memasukkan kedua mie ke dalam panci listrik yang airnya sudah mendidih. Aku membuka bumbu-bumbunya dan menaruhnya ke atas piring milikku dan juga milik Eka.

Setelah matang, aku pun menaruh dan membagi sama rata mie tersebut ke dua piring yang sudah terdapat bumbu.

"Ayo, Ka. Makan dulu," ajakku.

"Oke, bentar, Sher."

Setelah Eka menyusul, kami sama-sama mengaduk mie masing-masing. Bau khas rendang memasuki indra penciuman kami.

"Foto dulu, Sher," tahan Eka. "Pegang PC kau sama-sama."

Aku mengikuti arahan Eka dengan senang hati. Eka mengarahkan kamera ponselnya di atas mie dan juga photocard Chenle yang kami pegang. Setelah itu, gantian Eka mengambil foto dirinya dan juga aku. Kami tersenyum lebar ke arah kamera. Begitu juga dengan photocard Chenle yang tidak lepas dari pegangan kami.

Aku dan Eka selesai berfoto, lalu mulai menyantap makan siang kami.

"Sher, ini enak banget, Sher. Teksturnya pas, sesuai sama yang biasa sa buat. Soalnya sa gak suka mie yang lembek-lembek gitu, tapi ini pas banget. Masih ada keras-kerasnya sedikit, jadi enak waktu dikunyah," komentar Eka.

Aku tertawa. "Syukur, deh, kalau kamu suka. Soalnya Lemonilo itu baru dimasukkin ke dalam air panas, tuh, udah langsung lembek. Jadi, gak perlu dimasak lama-lama."

"Iya, 'kan, Sher. Makasih, Sher, udah dibuatin punya sa juga. Hihi."

"Santai aja, ya, ampun. Kayak sama siapa aja."

Eka hanya terkekeh. Lalu, kami lanjut memakan mie Lemonilo buatanku sampai habis.

Like We Just MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang