Apa karena D'Mwari? Semua tentangnya meluap-luap dalam ingatan meski hanya mengurung diri tanpa melakukan apa pun.
Menarik, sangat cantik dengan poni ratanya, itu pikiran Adiva sampai terpaku cukup lama pada seseorang yang tiba-tiba saja menaruh posisi di kursi dekat jendela.
Jari, lengan, rahang, segala tentangnya seperti dipahat indah dengan es.
Namun, tunggu, apa yang sedang ia perhatikan sampai sebegitunya? Adiva berusaha keras mencari objek pandang di meja guru. Sudah diperhatikan baik-baik juga tetap tidak ada yang menarik untuk dilihat, selain gadis di samping.
Samar-samar dari wajah dinginnya tersirat kesedihan yang menumpuk. Semoga saja, Adiva salah paham dengan pemikirannya yang satu ini.
"Kamu memperhatikan apa, sih?" Akhirnya sepatah kalimat berhasil Adiva lontarkan meski diabaikan sepenuhnya.
"Pertukaran murid antar kelas atau meja?" tanya Adiva lagi. Tatapan matanya masih menusuk sang gadis berponi rata, terasa kenal tapi terlupakan. Namun, bukankah seharusnya wujud seperti ini sedikit susah untuk dilupakan?
Mungkin, akhirnya ia merasa sedikit terganggu dengan mulut Adiva yang terus bersuara layaknya kicauan bayi burung ketika melihat cacing pada paruh ibunya.
Bukan menantang untuk berkelahi, Adiva hanya spontan menatap kedua mata lebar itu kala gadis berponi menoleh sempurna.
Seperti melihat ke dalam hutan menggunakan teropong, biru dengan hijau samar yang kosong. Menyegarkan tapi, "Cantik dan menyedihkan."
Yang sebelumnya kabur, tidak disangka pupil sang gadis berponi mulai mau menatap lurus, menaruh fokus pada Adiva.
"Namaku Adiva Eleanor, kamu?" Cengirnya lebar kembali diabaikan. "Aku juga susah berbaur dengan yang lain, jadi aku harap kita bisa berteman baik."
Tidak ada tanggapan hangat, hanya timbul kerutan di antara alis yang kemudian membuat Adiva terkejut bagai tersengat lebah. "Maaf, aku nggak peka," paniknya, menyerahkan buku berhitung dan sebuah pensil terasah silet.
Masih dengan mimik risih, gadis berponi rata membuka mulut perlahan, "Aku bisa berbicara dan bisa berbaur."
Sontak Adiva menjaga jarak, tekanan yang diterima terlalu besar untuk seorang Adiva Eleanor.
Beruntung tepat setelahnya, bel masuk berdering kencang. Teman sekelas yang sebelumnya masih asyik menggoda lawan jenis milik kelas tetangga mulai bergegas masuk.
Meski cukup terkejut, Adiva belum puas melirik gadis di samping jendela. Satu hal yang lebih pasti daripada sebuah nama, gadis itu menyimpan suara selembut bolu spons dalam mulut. Sungguh di luar dugaan.
Kembali menghadap pintu yang terketuk. Bukan seorang guru, melainkan perempuan berikal longgar alami tengah menyembulkan kepala dengan manisnya. "Hey, kamu sedang apa?"
Pupil Adiva bergerak acak dikuti kerutan tipis pada dahi.
"Halo ...," sapa lagi perempuan ikal perlahan setelah melebarkan pintu masuk. "Waktunya makan, Nini sudahㅡ"
"Nini!" pekik Adiva memotong kalimat, lalu telapaknya mengusap kasar kedua pipi. "Aku larut dalam lamunan, sampai-sampai merasakan tekanan lama."
"Maaf?" Kejut perempuan di ambang pintu yang berubah penasaran dengan isi gumaman Adiva.
Sekilas tadi, mata mengantuk hijau pudar sempat menatap lurus tanpa kedip. "Ayo makan malam." Berjarak satu meter, Adiva berdiri dengan mata yang mengecil berkat cengiran lebar.

KAMU SEDANG MEMBACA
SEMU ✔
Diversos[ LENGKAP ] D'Mwari, sebuah kota yang hangat, mengilas balik semua kenangan. Bukannya bertemu kembali dengan teman semasa sekolahnya dulu, Adiva hanya mendapati kebingungan. Dalam keheningan, ia merasakan sesak di dada kala sadar bahwa tidak ada j...