09 - Sebuah Keyakinan Untuk Bersama

164 118 91
                                    

Kilatan muncul tepat di depan jendela, Lina tetap tidak peduli dan hanya fokus menulis indah di atas lampiran kertas hitam dengan tinta putih.

Namun, gemuruh geledek yang bagaikan permainan ansambel pemula, nyaringnya begitu memekik telinga. Sejadi-jadinya Lina berteriak kencang dengan mata tertutup rapat dan kedua tangan menutup masing-masing telinga.

"Ha-ha-ha suara teriakanmu hampir mengalahi geledeknya." Cengir tipis Adiva, dirinya meledek.

Lalu Lina mengembuskan napas perlahan. "Aku nggak suka geledㅡAAHK! SEJAK KAPAN KAMU DI SANA?" teriak Lina bersamaan dengan cahaya kilat dari luar jendela yang menyorot wajah datar Janu di ambang pintu. Lina merutuki wajah menyeramkan itu seraya mengusap kening perlahan. "Kamu butuh apa?"

"Butuh teman."

Lina mengangkat telapak tangan kanan, menghentikan langkah Janu yang mendekat. "Ini waktunya perempuan."

"Moiranya?"

"Tanpa Moira, dia belum pulang. Sudah sana, keluaaar daari siniii!" Susah payah Lina mendorong tubuh atletis Janu yang dua kali lebih tinggi, besar, dan cukup berotot sebelum menutup pintu kamar rapat-rapat.

Duh! Barusan tadi aku mendorong lemari pakaian, ya? Ody saja nggak seberat itu, bisa-bisanya tubuh JanuㅡLina menggesek punggungnya pada pintu, tubuhnya merosot hingga bokongnya menyentuh lantai. Napasnya pun masih terengah-engahㅡbatu! Iya, aku yakin dia mencamili batu di kampusnya.

"Itu ... nggak apa Janu diperlakukan begitu?"

Lina merangkak mendekati Adiva. "Jangan khawatirkan dia, kondisi siku tanganku jauh lebih mengkhawatirkan."

Sesekali gadis kecil itu mengernyitkan kening dan mengeluh nyeri selama menggerakkan tangan. Sudah tahu tubuh Janu sangat besar jika dibandingkan dengan Lina, seharusnya lelaki tadi cukup diusir dengan kata-kata saja.

"SUDAH JADIㅡaw!" Kegirangan Lina terhambat berkat lengannya yang mengeluarkan bunyi kencang kala diangkat secepat kilat ke udara.

Adiva mengambil lengan gadis itu, mengelusnya perlahan dengan penuh perhatian. "Hati-hati," ucapnya lembut. "Makasih karena sudah mau repot-repot untukku, ya. Tulisanmu sangat indah."

Tubuh Lina menegap, ia bangga dengan dirinya yang berhasil memunculkan perasaan senang pada Adiva. Apalagi nona perinya tak habis-habis juga menatap kagum karya Lina. Bangga!

Adiva mendongak tepat di saat Lina berdiri.

Si gadis kecil membuka pintu kamar perlahan, kepalanya celingukan di sana. "Sudah kuduga," gumam Lina menemukan Janu yang terduduk menyendiri di anak tangga. Tubuhnya saja yang besar, tapi tingkahnya seperti anak bebek tanpa induk.

Masih di ambang pintu dengan setengah badan di luar dan setengah badannya lagi di dalam kamar, Lina berucap, "Janu, jangan menyendiri begitu! Ajak saja Ody bermain gim video kesukaan kalian. Toh, drama matahari terbenam masih lama."

"Pintu kamarnya tertutup."

"Ketuk saja, nanti juga dibuka."

"Kalau nggak?"

"Ya ... kamu saja langsung buka dan terobos masuk," jawab enteng yang lalu menerima tatapan aneh dari lelaki bersurai hitam. Kemudian Lina menggaruk kepala singkat. Ada yang salah dengan perkataanku, ya?

Kenop pintu utama berbunyi. Itu Moira, akhirnya satu-satunya budak korporat di penginapan Nini telah tiba dengan langkah gontai, selalu.

"MOIRA! JANU MENANTANGMU BERMAIN CATUR! DIA NGGAK MENGAKUI KEHEBATAN SANG RATU CATUR!"

SEMU ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang