17 - Andai Kata Untuk Masa Lalu

61 41 13
                                    

"Kerja bagus, terlihat perkembangan lagi di sesi ketiga hari ini."

Adiva memaksa senyum canggung seraya menggaruk pelan ibu jari kiri. Perkataan Louise tadi akan terdengar luar biasa, kalau saja tingkah aneh Elio belakangan tidak mengusik dalam kepala.

Kala pertama kali menyadari perubahan kecil dari tingkah sang kekasih, Adiva bergumam seraya menatap suramnya manik cokelat pekat; dia bukan Elio yang kukenal.

Ketukan kaca memanggil, atensi pun beralih pada Louise yang entah sejak kapan sudah berdiri di dekat jendela.

Dengan tangan kanan dalam kantong jas, serta lengan kiri bersandar pada kusen jendela. "Pasti akan sangat menyenangkan kalau berjalan-jalan di taman seraya bertukar cerita bersama orang tersayang di cuaca sebagus ini."

Jelas terdengar bagai sebuah saran atas keluhan. Apa Louise bisa membaca pikiranku? batinnya membisik, berusaha tetap tenang dengan senyum canggung yang lebar.

Semua yang Louise katakan selalu benar: semuanya, termasuk tentang cuaca hari ini. Langit milik Cranela memang tidak sebiru D'Mwari, tapi ini sudah cukup bersih dan cantik. Mentari menyorot begitu terik, Adiva menyipit kecil dibuatnya.

Tidak berhenti hanya di Louise, bersama Elio pun canggung tetap ada. Mereka berjalan mengelilingi taman, benar-benar hanya berjalan tiada percakapan.

Tanpa obrolan di bawah mentari, tenggorokan terasa kering. Lalu langkahnya menjadi gontai hingga berhasil menyenggol Elio di samping. "Eh? Maaf, Lio!"

Elio tidak menunjukkan respon apa pun, selain tangan Adiva yang diambil dan digenggam lembut sebelum kembali melangkah.

"Lio ... maaf ...," cicit sang puan, tak sanggup jika sunyi terus menyerang. "Maaf karena tiba-tiba mengajakmu ke taman, maaf telah menyenggol pundakmu, dan maaf kalau aku berbuat salah yang nggak kusadari," katanya, berhenti sesaat, "Ceritakan juga keluh kesahmu ...."

Lagi-lagi langkah Elio terhenti. Ia menoleh perlahan, menatap manik hijau kekasihnya teramat dalam. "Adiva."

Seolah menerima sinyal bahaya, sontak sang puan mengangkat telunjuk tanpa peduli arah. "ES KRIM!" Larian kencangnya dimulai, meninggalkan Elio jauh di belakang.

Jujur, tubuhnya bergerak sendiri setelah merasakan udara sekitar yang malah semakin berat. Sepertinya, sekarang memang bukan waktu yang tepat untuk mengetahui suatuㅡkemungkinanㅡhal buruk yang Elio simpan.

Tidak sia-sia telah membuang tenaga, sebuah toko es krim baru yang menjadi perbincangan hangat media sosial sungguh nyata berdiri di sini.

Es krim di tengah cuaca panas merupakan perpaduan menyegarkan! Masa bodoh dengan kerumunan antrian yang ada, Adiva tetap berlari mendekat dan berdiri di baris paling akhir.

"Dua es krim, semangka dan kacang, porsi yang kecil, total 200 cibells," kata si kasir sepatah demi sepatah, setelah pesanan milik Adiva siap.

Kartu debit papa yang tentunya tidak kosong sudah lebih dulu dipegang oleh seseorang di balik komputer, sebelum sejumlah uang kertas Elio muncul dari balik dompet.

"Nih." Si merah segar disodorkan. "Kamu butuh yang manis-manis supaya hati menjadi riang."

Sementara Adiva mulai menjilati es krim kacangnya, lelaki itu masih terdiam. Ia melirik sang puan, juga es krim semangka secara bergantian.

"Lio, tanganku pegal ...," rengek Adiva, ia menggoyang-goyangkan es krim tepat di depan mata Elio.

Kedua manik cokelat pekat pun kembali fokus, lalu menerima sajian dingin semangka. "Makasih."

SEMU ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang