04 - Hari Yang Penuh Dengan Tanya

280 194 155
                                    

"Aku pikir, kamu di sana cuma seminggu."

"Embun belum ketemu," singkat Adiva mengayun. Paparan mentari yang dinikmatinya menghilang serentak dengan ayun-ayunan yang berhenti bergerak.

Perlahan Adiva membuka mata, menemukan gadis berkepang dua dengan mata menajam dan kening berkerut.

Mengabaikan aura kesal sang gadis yang kini sedang membara, Adiva hanya menatap lurus untuk pertama kalinya pada wajah mulus di hadapan. Riasannya begitu rapi, berhasil menyembunyikan segala sisa bekas jerawat yang ditemui tiap malam.

"Nona Peri, Ody ada di dalam, 'kan?" tanya cepat si penghalang matahari siang.

"Mm ya, ada di kamarnya." Adiva ingin terkekeh rasanya berkat raut kesal Lina yang semakin menjadi. Gadis itu harus tahu, betapa menggemaskannya dirinya saat ini. "Dia nggak habis mengerjaimu, 'kan?"

"Bukan-bukan! Bukan kesal dengan Ody, tapi aku kesal dengan teman laki-laki di kelasku," dengkus Lina. Ia berkacak pinggang. "Semua laki-laki itu menyebalkan kecuali Ody dan Janu!"

Adiva mengulum bibir, ia tidak boleh tersenyum sama sekali. Lina sedang kesal, tidak sopan rasanya untuk tersenyum di situasi ini walau sulit. "Aku kira, kamu dan Ody itu musuh bebuyutan."

"Memang musuh, tapi dia nggak semenyebalkan teman sekolahku. Gitu-gitu Ody selalu ada buatku, dia teman yang asyik untuk bertukar cerita."

"Setahuku ... Janu mahasiswa psikologi. Bukannya lebih enak bercerita dengan Janu?"

Lina mengembuskan napas berat. "Janu hanya akan menyuruhku untuk tenang dan tarik napas, jadi aku lebih suka Ody yang mau ikut marah dan kesal untukku. AKU BUTUH PELAMPIASAN!" teriaknya membara dengan nada yang semakin melengking dan tinggi di akhir.

"Aku akan masuk duluan, maaf sudah mengganggu aktivitas Nona Peri." Lirikannya bergantian antara Adiva dan ponsel, lalu lari membawa senyum aneh yang entah apa maknanya.

Adiva berkedip heran. Perubahan sikap Lina dari satu kalimat ke kalimat lainnya sungguh drastis. Apa dia masih dalam masa pubertas?

Tawa tiba-tiba terdengar, itu Elio dari seberang. "Energinya benar-benar tanpa batas," akunya tentang Lina yang diangguki Adiva. "Ngomong-ngomong, Ody itu penghuni baru?"

"Hah? Bukan. Ody itu panggilan akrabnya Goldy, laki-laki yang kadang menemaniku mengelilingi D'Mwari."

Seketika Adiva terbungkam, penjelasannya membuat Elio kalang kabut dan diam dalam hening. Sudah betul selama ini Adiva selalu mengalihkan pembicaraan tentang Goldy dan dirinya yang seharusnya tidak Elio tahu sedikit pun, tapiㅡbeberapa detik yang laluㅡsialnya, bibirnya seolah bergerak sendiri.

Sejak awal, di penginapan ini hanya ada Nini dan Goldy, tidak lain dan tidak bukan. Dan si laki-laki manis itu, sering mengantar Adiva berkeliling. Hanya itu yang berputar di kepala Elio meski ia tahu keadaan sesungguhnya tidaklah begitu.

Nyatanya, Moira dan Janu pun sesekali menawarkan tumpangan searah, meski Goldy tetap menjadi orang nomor satu yang paling banyak menghabiskan waktu bersama Adiva.

Kemudian diikuti oleh Lina si peringkat kedua. Gadis ini sering mengajak Adiva untuk berkeliling di sepanjang sore. Berkelana tanpa motor bukanlah masalah, yang terpenting adalah matahari tidak menyorot langsung pada permukaan kulit Lina.

Dibanding Ibu Kota Cranela, di sini ada lebih banyak wisatawan dengan ransel besar yang menutupi seluruh area punggung. Padahal belum terlalu jauh dari penginapan, tetapi tiga orang dengan tipe ransel yang sama telah mereka lewati.

"Kukira, Nona Peri akan terus mengobrol lewat telepon hingga waktunya makan malam tiba."

Adiva mengulum senyum. "Sampai kapan kamu akan menggunakan panggilan itu, Lina?" kekehnya dengan kelopak yang menyipit samar.

SEMU ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang