"Mau apa ke sini?" Tatapan sinis menusuk pada Elio yang telah kembali menunjukkan diri setelah berhari-hari hilang tanpa kabar.
Ditambah lagi, perasaan curiga ikut timbul berkat kardus mencurigakan yang lelaki itu bawa.
Setibanya di dalam rumah, tutup kardus bawaan Elio dibuka, diperlihatkan segala jenis camilan yang memenuhi. "Sudah lama kita nggak menonton film, 'kan?" katanya tersirat ajakan.
Bukan tanpa alasan kardus yang dibawa sang tuan berbentuk persegi panjang, sebab di bagian paling bawah dari tumpukan camilan ditemukan permukaan dari sebuah kotak kecil. Ada kotak di dalam persegi panjang.
"Seingatku, kamu nggak ulang tahun," kata Adiva ragu-ragu setelah kue bundar hitam yang dihiasi bulan dengan lima bintang cantik muncul. Ah, rupanya kotak kecil itu berisi kue tar.
Samar-samar Elio terkekeh. "Memang nggak ada yang ulang tahun, Adiva. Aku hanya sekadar ingin."
Aneh, tingkah Elio aneh. Apa yang telah ia lakukan selama menghilang? Kenapa tiba-tiba membawa banyak camilan dan mengajak menonton bersama? Bukankah semuanya terasa bagaikan sebuah alasan semata?
"Apa yang ingin kamu bicarakan?"
Laptop milik Elio menyala, bersamaan dengan dirinya yang spontan terbelalak menatap mata hijau di samping. Memang benar ada sesuatu yang ingin Elio bahas, tapi ... apa sungguhan bisa langsung tanpa basa-basi sama sekali?
"Katakan saja."
Elio yang ragu, mendadak yakin. Punggungnya menegap dan mulai membuka mulut, "Apa selama ini ... kamu benar-benar merasa kesepian?"
Sunyi seketika melanda, telinga Adiva berdengung kencang. "Ke mana arah obrolan ini?" tanyanya terdengar lirih.
Seperti pengacara yang mengemukakan bukti-bukti, Elio menyusun kertas demi kertas di atas meja.
Keterkejutan sang puan menuntunnya untuk menyambar semua kertas yang merupakan salinan dari foto lamanya bersama Embun, kemudian memeluk seluruhnya bagaikan benda pusaka tiada dua. Sungguh mengherankan, dari mana Elio bisa mendapatkan semua ini?
"Apa yang sedang kamu rencanakan, Lio?" setiap kata ditekan. "Semua foto ini hanya Embun yang punya. Di mana kamu bertemu dengannya?"
Atas nama Grottfried, ia berani jamin bahwa Embun tidak ada sangkut pautnya dengan bagaimana cara Elio mendapatkan semua foto itu.
Meski bungkam, jemarinya bergerak menunjukkan hal lain, hasil cetak lain yang menampilkan dua akun media sosialㅡmilik Adiva dan Embunㅡada dalam satu ponsel.
Wajah sang puan memerah marah, darah seakan naik dan mendidih di kepala. Juga lagi-lagi tangannya merampas. "Kamu ke sini hanya untuk mengakui kesalahanmu yang sudah melangkahi privasiku, ya?" desisnya cukup rendah. "Kamu gila. Kamu gila, Lio! Apa yang sebenarnya sedang kamu rencanakan?"
"Adiva ... aku minta maaf soal itu, tapi coba kamu perhatikan baik-baik semua foto yang kucetak."
Kesal sudah tak terbendung, Adiva memekik tajam, "Apa yang harus kuperhatikan, hah? Kamu terus saja membuatku bingung!"
"Foto iniㅡ" Buru-buru telunjuknya mengarah pada foto pecahan botol kaca yang Embun kirim. "ㅡdan foto lantai dapurmu."
"Apa?" sinis Adiva. "Keduanya terlihat sama, begitu? Sekarang kamu berasumsi kalau Embun pernah ada di rumahku dan kami menjalankan rencana iseng untuk membuat keributan? Iya, begitu?"
"Bukan, Adiva! Maksudkuㅡ"
"Lihat, wajahmu menjelaskan segalanya." Hijau berpendar redup, diikuti senyuman pahit. "Jangan mengada-ada, hampir semua rumah memiliki model lantai yang sama."
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMU ✔
Casuale[ LENGKAP ] D'Mwari, sebuah kota yang hangat, mengilas balik semua kenangan. Bukannya bertemu kembali dengan teman semasa sekolahnya dulu, Adiva hanya mendapati kebingungan. Dalam keheningan, ia merasakan sesak di dada kala sadar bahwa tidak ada j...