07 - Mencari Yang Tidak Nyata

191 135 97
                                    

Pikirannya terfokus. Bermodalkan ingatan terdahulu, mungkin saja Embun sempat menyebutkan nama aslinya tanpa pernah Adiva sadari.

Ini sudah di menit ke lima belas dalam posisi yang sama, terduduk pada kursi kayu di samping sebuah pohon kokoh.

Meski tak kunjung menemukan nama asli Embun, Adiva tetap ingat jelas bagaimana wujud wajah bak pahatan es itu. Penuh harap mereka bisa bertemu secara kebetulan di jalan Hacrest; di depan rumah yang masih Adiva yakini sebagai milik Embun.

Terik mentari takkan mengganggu meski siang tiba, para pohon besar berjajar rapi dengan jarak sama rata di sepanjang pinggir jalan.

Saat ini semesta sedang tidak mengasihani Adiva yang kelabu. Bunga-bunga kecil berjatuhan dari kepala para pohon dan mendarat di telapak Adiva dengan begitu cantiknya, langit juga tampak terang dan indah seolah semua makhluk di muka bumi sedang berbahagia tanpa terkecuali.

"Atchoo!" Ah, aku bersin.

"Kenapa termenung di depan rumah orang? Mana temanmu?"

Bayangan motor yang berhenti di hadapan tidaklah asing, suaranya familier. Si murung hijau ini yakin bahwa langkah kaki orang itu mendekat dan lalu menutupi seluruh area lehernya dengan sepotong kain panjang yang dibawa mendekat.

"Mana syalmu, Nona Peri?"

Ujung hidung merah Adiva tak lagi terpampang jelas. Perlahan dirinya mendongak meski tengkuk terasa kaku, ia menatap lurus dalam diam sesaat. Satu buliran air lolos membasahi pipi kanan dan hilang terserap syal. "Ody ...."

Raut wajah yang dipanggil sang puan sontak berubah. Hati Goldy perih mendengar suara rengekan yang begitu usang dan serak. Lelaki itu berjongkok tepat di depan kedua kaki Adiva dengan penuh tanya. "Kenapa bersedih ...?" desisnya panjang setelah memegangi kedua lututnya sendiri.

Goldy seolah-olah datang membawa seluruh kesadaran Adiva. Sampai tadi, ia masih yakin dengan Embun yang akan segera muncul di area perumahan ini. Namun, keyakinan itu langsung merosot turun jauh di bawah satu persen.

Di suhu yang masih terbilang dingin pada musim semi ini, bola matanya memanas diikuti dengan penuhnya cairan kala mengetahui bahwa lelaki yang diliputi kekhawatiran dalam manik keemasan itu benarlah seorang Goldy.

"Jangan nangis di sini. Aku antar pulang, ya?"

Goldy sudah tersenyum paksa meski hatinya nyeri melihat Adiva begini, tapi air mata sang puan tak kunjung berhenti. Akui saja jiwanya sedang sedikit terguncang sebab kenyataan lain tentang Embun.

Dirinya menunduk, menutupi seluruh permukaan wajah sesaat guna menghilangkan jejak air mata. "Bukannya Ody ada janji?"

Goldy membuang muka sekaligus raut khawatirnya tepat setelah suara getar Adiva menghilang. "Tadinya aku sudah sampai di tempat janjian, tapi ternyata ada cat yang kurang. Warna hijau punya temanku nggak sesuai dengan hijau yang aku mau." Dirinya kembali menatap lurus, "Aku perlu melihat palet warna ...." penjelasannya tertahan. Fokus Goldy malah berpusat pada kedua manik yang masih menyisakan bekas tangisan sebelumnya.

"Warna ...?"

"Hijau pudar yang bercahaya," seolah habis terhipnotis, si keemasan berucap datar. "Kamu harus ikut aku danㅡ" Tangan kirinya meraih pergelangan Adiva, sementara tangan kanannya memamerkan sebuah kotak merah muda dari dalam saku kemeja. "ㅡini, pajak jalan ke toko cat."

Permen lunak rasa stroberi; si cerah Goldy berkemeja kuning; serta jok datar yang tidak lebih nyaman dari motor milik Moira, telah menjadi perpaduan pas untuk pagi yang melelahkan menjadi lebih manis.

***

"Nona Peri, ayo jadi kelinci percobaanku!" Lina memekik seraya berlarian masuk ke dalam kamar Adiva. "Uhh ... cahaya apa ini?" keluhnya menghalangi pandangan dengan telapak tangan.

SEMU ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang