Perkiraan Adiva salah. Walaupun Embun telah dibenci satu sekolah dan menerima perundungan mengerikan, pihak sekolah masih saja diam tanpa komentar apa pun tentang berita papan buletin.
Entah ada seseorang yang membayar dengan sejumlah uang atau berita itu sungguhan palsu, yang jelas pihak sekolah bungkam seolah berita itu memang tidak pernah terpajang di mana-mana.
Embun masih bersikap tak acuh, padahal nyatanya ia juga susah untuk bertahan.
Semakin hari, semakin berat. Tubuhnya melemah drastis hingga hanya jemari yang mampu mengamuk.
Bukannya, tingkah kalian sekarang sama saja dengan aku yang ada di 'cerita' kalian, ya? Menyakiti orang lain dengan senyum. Dasar perundung gila!
Itu unggahan malam hari untuk kesekian kalinya di akun media sosial yang hanya ada Adiva sebagai pengikut.
Aku. Juga. Bisa. Sakit. Hati.
Seperti ada alarm dalam tubuh, belakangan ini Adiva bangun di jam dua dini hari dan selalu menemukan amarah Embun dalam kata-kata.
"Nih, roti terbatas sekolah kita yang luar biasa enak. Dimakan, ya?" kata Adiva setelah menaruh sebungkus roti dan sekotak susu di atas meja kelas Embun.
Namun, tidak ada balasan, sekadar menoleh pun tidak. Ia sepenuhnya kembali menjadi dirinya yang dulu.
"Nanti kita jalan-jalan, yuk?"
"Nggak."
Hanya penolakan yang ada. Susah untuk terkejut karena belakangan ini memang begitu adanya: aura suram semakin tebal dan Adiva harus bertahan di tengah-tengah situasi ini.
Beruntung Adiva Eleanor adalah seekor anak burung yang pantang menyerah. Desakan-desakan yang terus dilontarkan tidak pernah gagal dalam menggerakkan Embun.
Berkat itu, Adiva berhasil menarik Embun ke dalam rencananya di sore hari ini.
Berjalan-jalan mengelilingi D'Mwari adalah rencana terbaik yang Adiva pikirkan untuk mengeratkan tali persahabatan mereka sekaligus mengingatkan Embun bahwa dirinya tidak sendiri: ada Adiva yang mau diajak untuk memikul beban bersama.
Lupakan niat baik Adiva tadi, untuk berdiri di sekitar Embun saja sudah sulit apalagi ditambah ingin mendampinginya sampai kembali tegap. Jelas kesehatan mental Adiva dipertaruhkan sebab energi negatif yang juga menghampirinya.
Seolah ada besi penahan langkah, tubuhnya terasa begitu berat.
Belum lagi topik pembicaraan yang berulang layaknya kaset rusak, destinasi yang terus sama, serta perubahan Embun yang nihil adanya. Adiva seperti tercekik, semua rencananya gagal total hingga tekad ini terasa bagaikan sebuah kesalahan. Akan tetapi, genggaman Adiva tidak akan pernah lepas sekali pun tubuhnya kaku terantai.
Sayangnya, Embun bukan membalas, justru malah menolak dan menjauh.
"Ada apa? Ada yang sakit, ya? Ada yang luka? Di mana?" Adiva menoleh kilat sebelum meluncurkan tanya.
Setelahnya, ia kaget setengah mati kala tangan yang memeriksa tubuh Embun malah ditepis kasar. Gadis es itu juga tampak kesal dan gusar berkatnya.
"Kamu .... Ada apa denganmu?" Nadanya tenang cenderung hilang minat. "Aku peringatkan untuk jangan berlebihan." Kemudian menjauh dari Adiva.
Padahal ini sore yang tenang, sore hari yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki perasaan sesak tanpa ujung milik Embun selama di sekolah, tapi apa barusan? Kalimat seperti tadi yang Adiva terima atas segala usahanya?
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMU ✔
Random[ LENGKAP ] D'Mwari, sebuah kota yang hangat, mengilas balik semua kenangan. Bukannya bertemu kembali dengan teman semasa sekolahnya dulu, Adiva hanya mendapati kebingungan. Dalam keheningan, ia merasakan sesak di dada kala sadar bahwa tidak ada j...