Sesendok sayur mayur dengan kuah bening yang begitu kaldu masuk mengairi perut. Tidak peduli dengan seberapa gurihnya makanan di hadapan, si manik hijau masih fokus menatap bibir tipis di seberang Janu.
Tidak biasanya Lina begitu fokus pada piring dan hanya diam tanpa satu pun kalimat panjang layaknya seorang Lina biasanya. Dengan itu, tentu saja Adiva semakin sadar akan sikap aneh yang kemungkinan ditujukan untuknya setelah 'kecelakaan' kemarin.
Adiva mengulum bibir, bersiap untuk meluncurkan kalimat, "Lina, sore nantiㅡ"
Decit kaki kursi menginterupsi. Lina bangkit, berlari mengambil ransel seraya tetap mengunyah. "Aku berangkat duluan," singkatnya terkesan dingin. Ia menghabiskan segelas air, lalu melarikan diri dari sana dengan satu fakta yang masih mengguncang: perempuan yang dianggapnya penuh kelembutan dan perhatian telah membentak dengan tatapan tidak menyenangkan.
Moira mengusap ujung bibir. "Nggak biasanya dia berangkat sepagi ini." Tunjuknya ke luar dengan ibu jari.
"Biarkan saja. Suasana hatinya sedang buruk, wajahnya menekuk sedari bangun tidur," balas Nini sukses membuat Adiva semakin merasa bersalah.
Moira mengangguk paham. "Kalau gitu, aku pergi juga. Janu, mau berangkat bareng, nggak?" Kepalan tangan kanannya bergerak ke depan dan belakang seolah sedang mengontrol kecepatan lajuan motor. Itu ajakan untuk balapan.
"Nggak untuk hari ini."
Perempuan ikal longgar langsung memutar bola mata malas. "Pasti mau menjemput pacarnya," duga Moira cepat diikuti larian sebelum menerima tatapan menyeramkan dari Janu.
Jika Janu merupakan orang yang mengunyah perlahan sesuai dengan anjuran dunia kesehatan, Adiva yang sekarang adalah tipe menelan makanan setelah kunyahan kelima, tapi sendoknya bergerak lambat ke dalam mulut. Bahkan acara makan Adiva belum juga usai hingga lelaki berbulu mata lentik pergi menghadiri kelas pagi.
"Nini, kenapa bisa ada anak sekecil Lina menyewa kamar di sini?"
Yang ditanya menoleh, sempat menghentikan jemari sibuknya yang menata isi kulkas. Nini tersenyum lebar, tawanya terdengar begitu ramah. "Gadis cerewet itu adalah cucu Nini yang paling kecil. Kamu sedang ada sesuatu sama dia, ya?"
Adiva melongo. Selain ramah, tidak ia sangka kalau pemilik penginapan ini juga begitu peka. "Aku yang salah, emosiku lepas kendali," cicitnya.
"Lina itu bukan pendendam, dia hanya gadis dengan gengsi yang besar. Sikapnya akan kembali seperti semula asal kamu mau meminta maaf duluan," jelas wanita berkulit emas kecoklatan seraya menutup pintu kulkas. "Kamu di rumah sendirian nggak masalah, 'kan? Hari ini adalah jadwal Nini untuk cek kesehatan."
"Nggak masalah. Lagi pula aku nggak sendiri, ada Ody di sini."
"Mayat hidup itu nggak perlu dihitung," dengkus Nini lucu sebelum berlalu dari ruang makan, menyisakan Adiva seorang diri.
Wanita tua itu ada benarnya, memang sudah seharusnya Adiva tidak menghitung Goldy yang masih asyik berkelana dalam dunia kapuk. Pada akhirnya, rumah besar ini tetap terasa begitu sepi tanpa kehadiran seluruh penghuni.
Dengan buku hariannya, Adiva duduk bersandar di sofa ruang tamu. Tidak lupa membuka pintu utama lebar-lebar, membiarkan udara pagi mengisi ruang.
Baru satu kalimat selesai, ponselnya malah bergetar. Adiva pun menarik senyum lalu menggeser simbol hijau pada layar.
Elio Grottfried. Sang kekasih baru saja memarkirkan motor dan sedang bergerak masuk ke dalam lapangan universitas. Ini adalah pagi yang indah bagi Elio, kebahagiaannya tampak jelasㅡdari banyaknya kata yang sudah keluarㅡdari bibirnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
SEMU ✔
Aléatoire[ LENGKAP ] D'Mwari, sebuah kota yang hangat, mengilas balik semua kenangan. Bukannya bertemu kembali dengan teman semasa sekolahnya dulu, Adiva hanya mendapati kebingungan. Dalam keheningan, ia merasakan sesak di dada kala sadar bahwa tidak ada j...