Untuk pertama kalinya setelah sekian hari, Goldy ikut sarapan bersama. Tidak ada suasana lelah ataupun corak kehitaman di bawah mata.
Abai dengan seberapa tinggi kualitas tidur Goldy semalam, Adiva sibuk berdiam diri tanpa berupaya apa pun di kursinya. Mungkin kalau dipaksa bergerak, tubuh itu akan tampak kaku layaknya sebuah robot dikarenakan Goldy yang alih-alih menempati kursi favorit di samping Lina malah duduk di kursi sebelah Adiva.
Sesekali si pipi merah melirik kaku pada atasan barunya yangㅡmembingungkannyaㅡtengah menggerus keju batang penghias lapisan paling atas penekuk kentang milik Adiva. Surai emas lelaki itu terus berayun mengikuti pergerakan tubuh, sorot matanya terlihat begitu serius seolah ini adalah penekuk dengan seribu keindahan dan rasa, yang juga dibandoli dengan harga luar biasa tinggi.
"Adiva memang suka keju, tapi bukan berarti kamu habiskan satu batang itu untuk dia semua, Ody!" geram Nini sementara yang lain menggeleng heran.
Bibir Goldy tidak membalas, tapi sempat mengeluarkan ringisan singkat kala kuku jari tengah Nini menyentil keningnya dengan kuat. Kemudian laki-laki itu menoleh, menatap lurus pada Adiva seolah meminta tanggapan.
Adiva berdiri cepat, kursi yang tadinya diduduki berdecit kencang. "A–aku mau ... ikut membantu Nini memindahkan botol-botol susu yang baru tiba," gagapnya lalu lari menjauh dari sumber rasa canggung.
Setelah objek pandang Goldy menghilang, maniknya meneliti sekilas pada setiap raut wajah para penghuni muda yang tersisa.
Garpu di tangan Goldy menancap pada hidangan di atas piring dan pisau pun melakukan tugasnya. "Iya, aku suka dia," celetuknya santai seraya tersenyum cerah sebelum memasukkan panekuk tebal persegi empat yang sudah terpotong kecil dan rapi ke dalam mulut.
Rahang Janu jatuh, mata Lina melotot, alis Moira bergerak saling mendekat.
Janu akui, Adiva memang memukau dan ini wajar. Akan tetapi, Moira tidak rela kalau hal ini terjadi selama dirinya belum mengetahui titik keanehan yang ada pada Adiva.
"Nona peri sudah memilikiㅡ"
"Pacar," sela Goldy tanpa menoleh sedikit pun ke arah Lina. Lekuk bibirnya menyeringai sembari berdecak halus, "Aku tahu. Hanya pacar."
"Jangan jadi gila, Ody."
"Nggak akan, Calon Dokter Janu. Lagi pula kalau memang harus mundur, aku akan langsung mundur."
Dengan dua botol besar penuh susu segar dalam pelukan, Adiva dan Nini menatap penuh tanya pada Janu yang kini berdecih kesal dibalas mulut bebek Goldy.
"Nini ketinggalan apa, nih?"
"Nini nggak ketinggalan apa-apa," balas Goldy cepat sebelum Lina mengeluarkan suara. Kemudian, menoleh pada Adiva. "Hari ini, kita nggak membuat video. Aku ada janji lain."
"Nanti sepulang sekolah, aku ada janji lain juga."
"Maksudnya, kerja kelompok?"
Lina melirik tajam pada Janu. "Sebut saja 'janji lain'!" Bibirnya maju beberapa senti, "Aku juga ingin terdengar keren seperti Ody," gumamnya cepat dan sekecil mungkin meski masih terdengar yang lain.
"Asyiknya anak-anak muda yang memiliki janji lain," kekeh Nini.
"Gimana kalau Nini buat janji lain denganku? Aku mau memastikan alamat rumah seorang teman."
Tawa Nini menggelegar. "Nini hanya bercanda, Adiva."
"Serius juga nggak masalah. Akan terasa lebih seru kalau ada teman bincang selama di perjalanan."
"Alamatnya di mana?" Kini malah Janu yang bertanya.
"Di jalan Hacrest."
"Umh!" Moira segera menelan kunyahannya. "Mau kuantarkan? Kantorku lewat Hacrest."
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMU ✔
De Todo[ LENGKAP ] D'Mwari, sebuah kota yang hangat, mengilas balik semua kenangan. Bukannya bertemu kembali dengan teman semasa sekolahnya dulu, Adiva hanya mendapati kebingungan. Dalam keheningan, ia merasakan sesak di dada kala sadar bahwa tidak ada j...