Baru kali ini Moira terlihat sangat serius dengan alis bagian depan yang saling berdekatan. "Andai aku bukan pegawai biasa, pastinya aku sudah menawarimu posisi bagus di kantor tempatku bekerja."
Ditemani dengan langit cerah bersama perempuan pemilik ikal longgar, Adiva sudah menceritakan segalanya tentang uang saku yang tidak lebih besar dari diameter tahi lalat di bawah mata biru Moira.
Memikirkan kalau semuanya akan berjalan sesuai dengan rencana sang papa membuat Adiva mengembuskan napas berat. Memangnya, empat hari cukup untuk menemukan Embun?
"Nona Peri batal melamar kerja ke Ody?"
Adiva dan Moira sontak menoleh. Keduanya terkejut dengan keberadaan Lina yang tiba-tiba ada.
Sementara Adiva masih menenangkan debaran jantung, Moira seketika paham akan sesuatu: tatapan aneh yang dilihatnya kemarin hari, muncul karena Adiva yang sudah tahu kalau Goldy merupakan pekerja lepas.
Sayangnya, cerita demi cerita dari Lina semalam membuat Adiva berpikir cukup keras dan berujung hilangnya minat bekerja dengan Goldy, tepat di pergantian hari.
"Daripada ciut di D'Mwari, mending aku pulang ke pelukan papa." Si hijau merinding, kembali teringat akan seberapa canggung dirinya dalam situasi drama matahari terbenam.
"Kamu sudah dengar cerita berlebihan tentangku dari Lina, ya?"
Suara manis yang cerah walau diiringi serak tipis khas bangun tidur. Baik Adiva maupun Moira, tubuh keduanya membeku dengan mulut membisu seraya tetap menautkan pandangan satu sama lain.
"Ah! Reaksi kalian nggak bisa bohong," katanya lagi, diikuti kekehan kecil dan senyum tipis.
Kedua perempuan di sana memutar leher perlahan. Laki-laki dengan rambut secerah mentari, hanya bersandar pada pintu kamar seraya menikmati segelas susu segar yangㅡanehnya malahㅡmampu menegakkan bulu-bulu halus pada leher mereka.
Alih-alih Moira, bukankah seharusnya Lina yang merasakan kengerian ini dan menemani Adiva? Sebab gadis kecil itulah yang melebih-lebihkan cerita Goldy. Namun, herannya si gesit itu justru hanya tertawa ringan tanpa dosa.
"Mmh ... maaf tiba-tiba muncul. Bukannya berniat untuk menguping gosip pagi kalian, tapi Lina yang memaksaku untuk ke sini," dalih Goldy kembali menyeruput susu.
Tidak peduli dengan apa pun yang lelaki itu katakan, Adiva dan Moira setia membatu. Mereka masih mengagumi wujud surai emas berantakan yang membingkai wajah bantal Goldy.
Detik setelahnya sang empu berpaling. Situasinya aneh, resah Goldy. "Apa ada sesuatu di wajahku?" Telunjuknya menduga-duga letak kotoran yang dikiranya menjadi penarik perhatian para puan.
"Iya, ada kombinasi sempurna antara tampan dan manis." Seketika Adiva menggeleng cepat guna menyadarkan diri. Ditelannya dalam-dalam kalimat menggelikan itu sebelum benar-benar terucap.
Napas Moira terasa mendekat, ia berbisik, "Baik nama maupun wajah, sama-sama bersinar meski baru bangun tidur, setuju nggak?"
Adiva melirik ke kiri. Tidak ia sangkaㅡselain dirinya dan LinaㅡGoldy juga sudah menyihir pandangan wanita bertahi lalat ini dengan pesona emasnya.
Satu-satunya lelaki di sana mengernyit, lalu mendekati kasur. "Berhenti bengong!" tuntutnya seraya menjentikkan jari tepat di depan wajah Moira dan Adiva. "Nona Peri, jadi ikut kerja denganku, nggak?"
Tidak-tidak. Seharusnya panggilan itu keluar dengan nada cempreng Lina yang cepat, bukannya suara manis Goldy.
"Eh? Aku ...." Salahkan lelaki latah itu yang telah mampu memanipulasi debaran dan menghentikan pergerakan otak sesaat.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEMU ✔
Acak[ LENGKAP ] D'Mwari, sebuah kota yang hangat, mengilas balik semua kenangan. Bukannya bertemu kembali dengan teman semasa sekolahnya dulu, Adiva hanya mendapati kebingungan. Dalam keheningan, ia merasakan sesak di dada kala sadar bahwa tidak ada j...