♡♡♡
Menurut pernyataan Dokter, hilangnya pita suara Giana dikarenakan syok dan stress yang hebat diwaktu bersamaan. Tapi itu hanya sementara, dalam seminggu kedepan dapat dipastikan suara Giana akan kembali membaik seiring pengobatan yang harus dijalani.
Hari sudah pagi, dan Giana yang memang tak tidur semalaman itu tetap dengan lamunannya sembari mengusap-ngusap Jema disisinya. Air matanya sudah kering, habis tak tersisa. Yang ia lakukan hanya menatap jendela besar didepannya.
Aku harus mulai dari mana .. lirihnya dalam hati.
Giana ditinggal sendirian dengan Jema, sementara Jovan pulang ke rumah untuk mengambil baju ganti mereka. Ibu mertuanya sempat masuk, beliau menceritakan apa yang Dokter sampaikan kemarin perihal keguguran yang dialaminya.
Ternyata, kandungan Giana bahkan belum menginjak satu bulan. Janin itu baru berusia 3 minggu, masih sangat lemah untuk menghadapi stress yang Ibunya alami belakangan ini. Jadi, janin itu gugur bersamaan dengan hancurnya diri Giana kemarin.
Maafkan Ibu.. Giana kembali menitikan air mata setiap mengingatnya.
Suara pintu dibuka tetap tak mengalihkan lamunan Giana, dapat dia dengar Jovan mengambil alih menu sarapan yang seorang perawat antarkan, pria itu rupanya sudah kembali lagi.
"Sarapan dulu." Titah Jovan sembari mulai duduk dipinggir ranjang, mengusap bahu istrinya demi mendapat perhatian. "Ngadep sini, biar aku suapin." Tawarnya.
Tapi Giana seolah kehilangan juga indra pendengarannya, dia bergeming, tak menoleh sedikitpun.
"Gi .. " tutur Jovan saat tak mendapatkan respon. "Kamu harus makan, biar ada tenaga."
"Mumpung masih anget, ini enak ko, barusan aku cicipin. Atau kalau kamu mau sarapan sama yang lain, bilang aja, aku beliin."
Mendengar itu mata Giana memicing dengan sinis.
"Maksud aku, kamu bisa tulis di hp." Ralat Jovan saat sadar istrinya belum bisa bersuara.
Giana dengan cepat meraih ponselnya sendiri, mengetik sesuatu di notes dan menunjukannya pada Jovan. "Anter aku ketemu Ibu."
Jovan membaca itu kemudian mengangguk, "iya, nanti kita liat Ibu buat yang terakhir kali, terus anter beliau ketempat peristirahatan terakhir, ya. Sekarang kamu makan dulu, biar ada tenaga buat anter Ibu nanti."
Giana menggeleng sembari menggigit bibir, menahan tangisannya lagi.
"Kamu juga masih pemulihan, abis makan baru boleh jalan. Kalau ngga makan, mana ada tenaga, hm?" Jovan terus berusaha membujuk istrinya untuk makan barang sesuap dua suap, tapi Giana tetap menggeleng.
Jovan menghela nafas lelah, dia tatap Giana yang dari tadi terus menggeleng dan menunduk. "Kamu ngga boleh sakit, sayang. Kamu harus sehat, biar Ibu kamu tenang disana. Kamu anaknya satu-satunya, kita urus bareng-bareng pemakaman Ibu kamu hari ini." Tutur Jovan sedikit menyentil hati Giana, ia balas tatap suaminya dengan mata berkaca-kaca.