.
.
.
____________Foto sampul oleh:
IG: indahlwrFoto ilustrasi oleh:
IG:Sumber cerita:
Inspirasi dari kawan dan google----------
.
.
.
.
.Tepat jam besuk. Orang-orang di ruang tunggu langsung masuk. Nara dan kedua orangtuanya juga ikut masuk ke dalam.
"Ruangan nomor berapa Pah?" tanya Ibunya.
"Nomor lima Yana."
Ruangan nomor lima di bagian perawatan perempuan. Rumah Sakit Rajawali Ponorogo. Ruang VIP satu pasien. Lengkap dengan AC dan tv. Empat sofa di bagian depan. Satu meja kaca.
Pintu ruangan dibuka oleh Pak Sudar. Nara langsung masuk menemui temannya. Temannya menyambut dengan senyum. Nara memeluk lalu menangis. Temannya yang masih lemas dan tersambung infus itu tidak bisa balas memeluk.
Sementara Bapak dan Ibu dari Nara dipersilahkan duduk oleh kedua orang tua Ilona. Mereka berbincang tentang keadaan Ilona. Terlihat itu pembicaraan yang serius. Bahkan Ibu dari Nara menutup tirai pasien. Agar Nara dan Ilona tidak ikut menyimak. Nara melepas pelukan.
"Kamu gapapa kan?'
"Iya Nara. Aku cuma kurang darah."
"Kata siapa 'cuman' Lona?"
"Kata dokter tadi."
"Ini bukan cuman Lona. Kamu sampai disuntik lho."
"Emang Nara gak pernah masuk rumah sakit?"
"Blum."
"Trus kalau sakit?"
"Palingan ke puskesmas Lona. Gak separah ini. Aku saja tadi sampe panik, tahu gak? Pengen langsung ikut di mobil. Tapi Ibu guru larang."
"Ya kan bisa pulang sekolah baru jenguk aku Nara."
"Ihhh, ruangan ini tertutup sekali ya?" sungut Nara sambil membuka tirai.
Flashh, sinar terang masuk. Silau bagi Ilona. Jadi dia menutup matanya dengan kain. Bapak dan Ibu dari Nara melihat itu. Jadi Ibunya Nara langsung berdiri untuk menutup tirai pasien kembali. Tanpa mengatakan apa-apa ke Nara. Ibunya kembali untuk berbicara dengan kedua orang tuanya Ilona.
"Kamu gak bisa lihat sinar?"
"Gak bisa Nara. Silau tau."
"Iya-iya, aku mengerti."
Nara membuka tas sekolahnya. Mengambil tablet layar sentuh lalu memutar video alam. Ilona tersenyum saat Nara menunjukkan itu padanya. Sambil terbaring, Ilona melihat video rekaman dari atas bukit.
"Ini di bukit bagian atas rumahmu kan Nara?"
"Iya dong."
"Kalau aku sembuh. Kita ke sana ya."
"Oke, nanti aku anterin kamu sampe di atas."
"Langitnya bagus Nara."
"Hihi, memang pemandangan di tempatku ini bagus kan?"
"Betah ya, kalau tinggal di tempatmu."
"Yaudah. Nginap, ayo."
"Ayooo."
"Sembuh dulu sono, hihi."
Setelah itu, mereka berdua bercerita tentang hal-hal menyenangkan. Yang bisa dilakukan kalau sembuh. Bahkan pembicaraan mulai mengarah ke mana-mana. Sampai soal tugas-tugas yang belum dikerjakan. Cukup singkat, jam besuk telah usai. Beberapa perawat datang meminta keluarga Sudarsono untuk mengakhiri kunjungan. Pasien disarankan untuk istirahat. Terpaksa mereka pulang.
Nara dan kedua orang tuanya kembali ke mobil. Nara duduk di di belakang. Ibu Nara duduk di depan dengan Bapaknya. Mobil dinyalakan. Bapaknya Nara baru akan menjalankan mobil keluar dari tempat parkir. Tapi Ibu Nara ingin menyampaikan hal penting pada Nara.
Ibunya balik ke belakang lalu berkata, "Sayang, tenang ya. Ilona akan sembuh."
Nara tersenyum, "Ya Mah, Nara tahu."
"Sayang, Ilona akan pindah ke Metro."
"Hah? Kenapa Mah?"
"Dokter bilang, Ilona harus operasi segera."
"Di sini gak bisa?"
"Gak bisa Nara. Gak ada peralatan di rumah sakit sini. Jadi memang harus dibawa ke Metro. Dia akan sekolah di sana. Perawatannya butuh waktu kira-kira sampai 6 tahun. Nanti kita bakal jalan-jalan ke sana tiap liburan."
"Ih, Nara ikut pindah saja ke sana mahhhh. Boleh Mahhh?"
Bapaknya pun menjawab, "Nara tetap selesaikan sekolah di sini."
"Papa, please," Nara kembali memohon.
Ibunya pun menghiburnya, "Sayang. Kamu tetap di sini. Siapa yang mau main sama Yos kalau kamu pergi?"
"Yos mana mamah?"
"Yos ada di rumah nenek, sayang. Yos tidak boleh ke rumah sakit."
Bapaknya juga menjawab, "Ini kita mau jemput Yos."
Nara terdiam. Dia melihat ke luar. Mobil mulai berjalan. Bapaknya mengerti. Nara bukan hanya mengkhawatirkan temannya. Dia juga memikirkan tentang adiknya. Tapi yang lebih dia takutkan ialah, bagaimana kalau dia juga mengalaminya.
"Yana."
"Ya sayang?"
"Anak kita takut."
Ibu itu langsung membalikan badan. Melihat anaknya di belakang. Memasang ekspresi hampir menangis.
"Pa, berhenti depan. Saya pindah ke belakang."
"Oke."
Mobil menepi. Ibu itu pindah ke kursi belakang. Duduk di samping anaknya. Nara yang sudah tidak tahan pun langsung menangis. Memeluk ibunya.
"Ada apa sayang?"
"Nara takut maaah, hiks," ungkap Nara dengan terisak.
"Takut apa sayang?"
Bapaknya kembali ke kemudi. Menjalankan mobil lagi. Pelan di sebelah kiri. Beberapa motor menyalip di sebelah kanan.
Nara menjawab, "Nara takut kalau darah keluarrr. Huhu, Nara takut."
"Ohh, sayang. Datang bulan itu gak separah itu sayang."
"La-lalu tadi mah? Lona?"
"Ohh, Ilona pernah dibully. Dia diganggu sama anak laki-laki."
"Di-diganggu mah? Hiks."
"Ya sayang. Jadi pas datang bulan pertama. Malah jadi begitu. Kasihan. Masih kecil tapi sudah dipaksa dewasa. Sebenarnya dia tidak sanggup menanggung trauma sebesar itu anakku. Tapi dia kuat juga."
"Mah, ta-tapi kan di Alkitab. Tu-Tuhan bilang ka-kalau, hhiks. Kala-u ki-kita diberikan beba-an itu tidak mele-bhihi kemamphuan kita kan ma-ah?"
"Jangan sesat Nak. Ada konteksnya itu."
Mobil terus berjalan. Menuju ke rumah nenek dari Ibunya Nara. Menjemput bintang kecilnya di sana. Cahaya yang membawa keceriaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Shine Like Sky
Teen FictionMasa remaja seorang gadis cantik. Problema nyata mendewasakannya.