ASIA 6: Bloody Discussion

1.3K 140 39
                                        

Ada sesuatu yang familiar dari postur tinggi bahu lebar diujung jalan bercengkrama dengan seorang pedagang yang membawa keranjang berisi singkong hasil panen. Mungkin selain tas kerja di tangannya dan jas putih kebanggaannya, hal lainnya yaitu lesung pipi yang terbit bersamaan senyum manis.

Angel menghampiri dalam derap langkah yang sedikit buru-buru.

"Lori!"

Di penghujung jalan setapak hutan belantara yang mengelilingi Jalan Sudirman Kilometer 12, perempuan itu menemukan adiknya di sana. Bersama seorang nenek yang baru saja dia antar pulang sehabis jalan sejauh 1.5 kg dari pasar Selasa.

Argantara Lorinardo mengerjap, tidak menduga.

"Kak? Kenapa bisa di sini?"

Angel melangkah mendekati, senyum tipis terpantri. Di belakang ada Gilar yang menyusul. Setelah sampai disisi Lori, baru dia menjawab.

"Kebetulan gue ada urusan deket sini. Lo udah tau, kan?"

Lori mengangguk cepat. "Tau, yang udah pindah tugas, kan?"

Angel lagi-lagi tersenyum. Perempuan itu menepuk pelan lengan adiknya. "Lama nggak ketemu. Udah selesai dinasnya?"

Lori nyengir, mengangguk antusias. "Udah. Ini baru aja balik." Kemudian dia memperkenalkan Angel pada Nenek yang ia bantu tadi. Angel segera menyambut ramah.

"Ini Kakak saya, Nek. Angel namanya. Detektif dia, mah. Nanti kalau ada apa-apa bisa minta dibantu aja, ya," kata Lori membuat Angel mengangguk setuju.

Angel belakangan memberikan kartu nama dan mengatakan sesuatu. "Saya lagi nyari buronan. Ada kemungkinan lari ke hutan sini. Kalau nanti ada yang dicurigai, Nenek bisa hubungi saya di nomor ini."

Kemudian begitu saja percakapan itu berakhir kala Lori pamit. Dari dalam mobil Lori melambaikan tangan, undur diri lebih dulu untuk segera ke Rumah Sakit tempat dia bekerja.

"Ntar ada waktu main ke rumah, ya?" Angel menawari. Lori mengiyakan sembari memberikan senyum khasnya.

Siang itu, di bawah pohon rindang yang berhasil menghambat teriknya sinar matahari, Angel dan Gilar kembali melanjutkan penelurusan.

___

Papan nama di atas pintu masuk bertuliskan 11 IPA 2. Kepala Sekolah Cendrawasih High School mempersilahkan Devan untuk memasuki ruangan.

Tadinya kelas sudah cukup sunyi karena yang mengajar saat itu salah satu guru killer di Cendrawasih High School, namun kehadiran Devan justru menambah kesunyian tadi menjadi semakin mencekam. Ketukan sepatu Devan memecah ruang, tubuh-tubuh yang menduduki 28 kursi di sana mendadak tegap.

Devan melirik sekilas pada guru yang sedang mengajar seolah meminta izin. Lelaki itu tidak akan repot-repot memperkenalkan diri, dia hanya cukup mengangkat name tag yang terkalung di leher. Lagi pula guru-guru sudah tahu siapa yang belakangan ini sering bolak balik ke sekolah mereka. "Maaf saya mengganggu waktu belajar kalian. Saya rasa kalian sudah tau siapa saya dan apa maksud tujuan saja kemari. Saya minta kerjasamanya."

Satu kelas tidak memberikan jawaban, namun hanya menatap seolah setuju. Kepala Sekolah pun mewakili. "Cukup jawab jika kalian tau, jika tidak, itu tidak masalah."

Devan mengkonfirmasi. "Itu benar."

Kemudian tatapan Devan tertuju pada dua kursi kosong. Dari jumlah murid yang ia ketahui perkelas ada sekitar 30 anak, untuk kelas 11 IPA 2 saat ini hanya berjumlah 28 anak, diketahui satu orang tidak hadir. Devan menoleh pada sang guru.

"Siapa yang tidak hadir?"

Sang guru menatap pada kursi kosong. "Dewa," jawabnya.

"Dewa?" Alis Devan terangkat, jemarinya bergerak menulis nama itu pada buku kecil yang tadinya ia simpan di saku celana bagian belakang. "Siapa nama lengkapnya?"

ASIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang