20

3.1K 216 2
                                    

Dari tadi pagi aku mengabaikan Revandi, dia menawarkan jemputan, namun aku tolak.

Hah dia masih berpikir bahwa aku tidak tahu apa-apa?

Padahal aku belum sarapan tadi pagi, namun nafsu makanku seketika hilang mengingat kebohongan Revandi. Bahkan istirahat kedua kali ini aku memilih untuk menyendiri diruang musik.

Bagaimana bisa, aku jatuh cinta pada seseorang yang nyaris sempurna? Atau memang sebenarnya dari awal, jatuh cinta kepadanya bukanlah suatu hal yang benar bagi gadis sepertiku.

Apakah ada orang diluar sana yang mungkin mengerti apa perasaanku sekarang? Perasaan dibohongi, oleh orang yang disayanginya. Bahkan Revandi tidak ada usaha untuk memberitahuku apa yang sebenarnya ia lalukan kemarin. Bersama Rose.

Aku menepuk-nepuk dadaku.

Astagaaaa sakitnya.

Beginikah rasanya patah hati?

Aku percayakan hatiku padanya, namun mengapa dengan teganya ia merusak semua itu?
Kepercayaan bagaikan selembar kertas rapih, disaat kepercayaan itu dirusak, bayangkan kertas tersebut kalian remukkan lalu kalian rapihkan lagi. Apakah akan kembali menjadi sempurna? Jawabannya tidak.

Aku mau menangis rasanya sekarang, tapi tidak bisa. Padahal dadaku sudah cukup nyeri kesakitan memikirkan kelakuan Revandi. Kata orang, menangis adalah salah satu cara yang ampuh untuk melampiaskan emosi. Namun air mata ini tak kunjung datang.

"Kamu kenapa?" Tanya sebuah suara dari belakangku.

Aku menoleh kepadanya, dia yang membuatku murung seperti ini.

"Gak kenapa-kenapa." Aku berdiri dan berjalan menuju pintu.

Namun tanganku ditahan olehnya.

"Kamu kenapa?" Revandi kembali bertanya.

"Aku bilang gak kenapa-kenapa. Udah deh bentar lagi masuk. Mending sekarang ke kelas aja," dengan kasar aku melepaskan cengkraman tangannya.

Maaf, maafkan aku.

Selama pelajaran terakhir berlangsung, aku tetap mencoba dengan sebisaku untuk tidak mengingat kembali tingkah Revandi yang 'sok lugu'

Aku tidak mau bertanya kepadanya apa yang ia lakukan kemarin. Aku ingin ia sendiri mengaku kepadaku, bercerita, dan berterua terang. Dengan begitu aku tau bahwa setidaknya dia merasa bersalah, kalau diikuti dengan permintaan maaf, tentu saja.

Saat aku mencoba fokus kepada pelajaran, aku nerasa punggungku di toel-toel.

Astaga, Revandi! Maunya apa kali!

Aku menoleh kepada sang penoel.

"Apa?!" Aku berbisik dengan ketus.

"Kamu kenapa?" Revandi ikutan berbisik

"Apasih aku gapapa!" Tanpa kusadari suaraku kini membesar.

"Camelia, maju dan kerjakan soal nomor 3, Revandi siapkan jawaban untuk soal nomor 4!"

Yak! Bagus sekali aku kena batunya.

Sepulang sekolah aku berjalan kearah parkiran dengan Revandi mengikutiku dari belakang

"Pulang sama aku ya.. Mau ya?" Tanya Revandi untuk yang kesekian kalinya.

"Aku udah bilang, aku bawa motor, udah dong ah jangan nanya terus," aku menjawab dengan ketus.

Hwaaa maafin aku maafin.

"Yaudah, aku pulang. Kamu hati-hati ya, kabarin aku kalo udah sampe rumah," ucap Revandi sambil mengelus kepalaku seventar.

Dilemma With The Twins (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang