4. Separuh Waktu, Segenap Jiwa

421 55 19
                                    

Sekolah bisa dianggap sebagai penjara oleh sebagian siswa. Karena sistemnya memang mirip. Mereka berseragam, ditempatkan dalam ruang-ruang kelas yang sempit, lalu dikekang oleh berbagai macam aturan. Satu-satunya yang bisa membebaskan mereka adalah suara bel pulang.

Namun, itu pun kalau mereka tidak punya jadwal les. Siswa-siswi di negeri ini harus belajar lebih keras untuk bisa masuk ke perguruan tinggi yang bergengsi. Maka tak jarang orang tua mereka sudah memesan tempat les terbaik untuk anak-anaknya.

Entah Kyungjun harus merasa bersyukur atau sebaliknya. Karena dia bisa langsung pulang setelah bel pulang berbunyi. Sebenarnya Kyungjun mempunyai banyak kegiatan setelah pulang sekolah. Dia harus bekerja.

Sayangnya Kyungjun baru saja dipecat dari tempat kerjanya beberapa hari yang lalu. Jadi saat ini dia menganggur. Dia harus segera mencari pekerjaan baru.

Sesaat setelah mengganti bajunya, Kyungjun langsung keluar dari rumah. Dia berjalan sembari melihat-lihat sekitar, biasanya kalau mereka membutuhkan pekerja paruh waktu, maka akan ada pengumuman yang ditempel di kaca.

Bukannya mendapatkan pekerjaan, Kyungjun malah berpapasan dengan salah satu rentenir yang acap datang mengacak-acak rumahnya. Lelaki itu refleks membalikkan badan. Kyungjun lari sekencang-kencangnya.

Meski dia bisa beradu fisik, tapi Kyungjun tidak bisa meninju para penagih utang itu. Mereka sangat licik. Kalau Kyungjun melawan, bisa-bisa dia malah akan dituntut untuk mengganti rugi dengan harga yang sangat mahal.

"Woy, bangsat!" teriak salah seorang yang memiliki tato di tangan kanannya. Kyungjun balas mengumpat di dalam hatinya, kenapa hidupnya sangat sial?

Kyungjun berbelok ke gang di ujung jalan besar, dia tidak tahu ke mana langkah kaki itu akan membawanya kabur, tapi tiba-tiba tubuhnya ditarik oleh seseorang. Kyungjun hampir berteriak, tapi mulutnya dibekap.

Matanya melihat sosok yang tidak asing, Dabeom. Lelaki itu menariknya untuk bersembunyi di samping lemari besar yang terbengkalai di tempat pembuangan sampah. Kyungjun mengangguk paham, dia berusaha mengendalikan napasnya yang memburu.

Jantungnya saat ini kian berpacu kencang, tapi rasanya bukan karena para rentenir itu, melainkan karena Dabeom yang memojokkan dirinya. Kyungjun bahkan bisa merasakan hangat napasnya menerpa kulit wajah. Lelaki itu menundukkan kepalanya, tidak mau berpikiran macam-macam dalam situasi mendesak seperti ini.

Situasi aneh itu berlangsung cukup lama, bahkan ketika para rentenir itu sudah jauh meninggalkan mereka. Dabeom malah memandangi Kyungjun seakan-akan sedang terpesona dengan wajah tampannya. Kyungjun jadi sedikit salah tingkah, ingat ya, hanya sedikit.

"Apa mereka sudah pergi?" Pertanyaan itu berhasil memecah tatapan Dabeom, dia mundur beberapa langkah, lalu mengangguk samar.

"Sekali lagi kau berutang padaku, Kyungjun," ujar Dabeom tanpa berniat menghibur Kyungjun sedikit pun.

"Sialan! Aku tak memintamu untuk membantu, Dabeom, lagi pula sedang apa kau di sini? Kenapa kau selalu ada ke mana pun aku pergi, hah?" Kyungjun memperbaiki jaketnya, lalu keluar dari tempat kumuh itu, sedikit berjalan ke timur. Dabeom mengikutinya, bagaimana pun dia harus menjawab pertanyaan Kyungjun 'kan?

"Harusnya aku yang menanyakan itu, kenapa kau selalu melompat ke hadapanku, di mana pun aku berada, Kyungjun?" Dabeom tidak mau kalah, menurutnya kepribadian Kyungjun agak aneh, kadang-kadang dia bersikap sangat terbuka kepada Dabeom, tapi di lain waktu dia bisa berubah ketus seperti saat ini.

"Cih, kota ini sangat luas, Dabeom dan aku tidak percaya pada kebetulan, ada banyak sekali orang yang tinggal di sini, menurutmu kenapa aku terus berpapasan denganmu?"

B.A.D || KyungbeomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang