Chapter 11

21 2 2
                                    

Waktu terus berjalan mendekati waktu evaluasi, Neris masih berada di dalam klinik apartemen. Gadis itu tidak tahu menahu sejak kapan pintunya bisa terkunci dari luar. Pintu itu diikat dengan kawat besi. Neris menggoncang-goncang pintu itu sekuat tenaga, tapi hal itu tak membuahkan hasil sama sekali.

"Gue harus nyoba buka ini pake apalagi, kalau gue enggak keluar sekarang bisa-bisa gue bakal mati." Neris mengatur napasnya, mencoba berpikir.

Di sela-sela Neris berpikir, matanya mencari-cari jawaban di setiap sisi pintu yang dingin. Rambutnya yang biasanya tertata rapi terlihat kusut, mencerminkan kegelisahan dalam dirinya. Tak lama, ia melihat sebuah kursi besi. 

Dengan cepat Neris mengambil kursi itu dan menghantamnya ke pintu kaca klinik. Neris merasa putus asa ketika pintu klinik apartemen yang terkunci masih tidak bersedia membukakan diri. Dia terus mencoba memukuli kaca pintu itu dengan kursi dan meronta-ronta pada gagang pintu. Namun, tetap tak ada respons. 

Tangan Neris gemetar memegang kaki kursi besi itu, dia terduduk lemas. Pandangannya melihat ke luar jendela klinik, seolah mengharapkan bantuan. Keputusasaan memenuhi benaknya, menggoyahkan keyakinan dirinya. Mungkin kali ini dia benar-benar akan berakhir.

Namun, ketika Agam muncul, wajah Neris berubah sedikit. Dia menangis, bukan karena kesedihan, melainkan karena lega. Rasa takut dan kecemasan yang sebelumnya memenuhi hatinya perlahan-lahan menghilang, digantikan oleh rasa syukur.

Agam berdiri di depannya, membuka lilitan kawat besi yang menyatukan kedua gagang pintu. Neris memperhatikan Agam yang membukakan pintu. Sinar lampu di klinik menyoroti raut wajah Neris yang sedikit memerah, menciptakan kilauan air mata yang masih menggantung di matanya.

"Enggak usah nangis cewek tepung, lo aman sekarang," ucap Agam dengan suara yang sedikit lebih lembut dari biasanya, memastikan Neris merasa aman.

Neris mengangguk, mencoba menyeka air mata di pipinya. "Makasih kak, gue-"

Agam menarik tangan kecil Neris. "Kita aman kalau dari secepatnya sekarang." 

Mata Neris membelalak lebar ketika Agam langsung menyeretnya untuk berlari. Keduanya pun berlari melalui koridor klinik apartemen dengan langkah tergesa-gesa. Neris menahan rasa sakit cedera di kakinya saat terjatuh dini hari tadi.

Agam, di sisi lain, bergerak dengan lincah dan penuh energi. Langkahnya mantap, dan pandangan matanya menyoroti ruangan. Tangannya masih mengganggam erat gadis remaja di belakangnya.

Rambut Neris berkibar di udara saat ia berlari, dan seiring dengan langkahnya yang cepat, tiba-tiba tali sepatu Neris terinjak. Hal itu membuat tangannya terlepas dari Agam, menjadikan dirinya terjatuh mendepak di lantai yang licin.

Agam yang menyadari berbalik badan. "Lo sudah gue tolong malah nyusah-"

Dengan kecepatan kilat, Neris membuka kedua sepatunya dan melemparnya asal ke arah belakang. Neris pun cepat-cepat berdiri dan kembali berlari. Mendahului Agam yang masih heran dengan kejadian singkat tadi.

"Ayo kak, buruan lari!" Neris menyadarkan Agam dari lamunannya.

Agam menggelengkan kepalanya, tersadar kembali dan berlari sekuat tenaga. Di belakang Neris, senyum tipis terukir sejenak di wajah Agam yang biasanya terlihat garang. 

Mereka berdua mencapai pintu ruang evaluasi dengan napas terengah-engah, tetapi ketika membukanya, wajah Agam berubah serius menyadari apa yang nantinya akan dihadapi di dalam ruangan. Keduanya masuk, siap untuk menghadapi tantangan yang menanti mereka.

Kehadiran keduanya membuat kaget seisi ruangan. Saras dan Jessica bernapas lega ketika melihat sahabat mereka kembali tepat waktu. Sementara itu, Agam melirik temannya yang menganga lebar melihat kedatangannya.

FATAL FOLLOWERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang