Chapter 9

29 2 0
                                    

Terkejut dengan pernyataan dari Nolan, Neris mundur beberapa langkah menjauhi laki-laki kelas XII IPS itu. Berusaha menenangkan diri agar tidak bertindak gegabah.

"Di sini harusnya gue yang ngerasa curiga ke lo. Kalau gue enggak muncul di hadapan lo, nantinya lo kan yang bakal ngehilangin barang bukti, termasuk kantung plastik yang lo pegang." Nolan balik mengintimidasi.

Neris yang telah terpojok di sudut ruangan memejamkan matanya, tubuhnya gemetar, otaknya berpikir keras bagaimana ia akan melarikan diri. 

"Kalau gitu ambil aja kantung plastiknya, ini kan yang kak Nolan mau." Neris menyodorkan benda yang ia maksudkan.

Nolan mengambil kantung plastik itu. "Oke, dengan senang hati gue ambil, makasih."

Neris terduduk lemas begitu Nolan berbalik badan dan meninggalkan ruangan. Namun, Neris berusaha berdiri kembali dan mengejar laki-laki itu. Ia melihat Nolan telah memasuki lift yang bergerak menuju lantai bawah. Dengan terpaksa, Neris menggunakan tangga untuk mengejarnya sebab hanya ada satu lift.

Setibanya ia di lantai bawah, Neris menemukan Nolan yang berjalan menuju ke arah tempat rekreasi. Di sana, Nolan membuang kantung plastik itu ke pembuangan sampah dan menyalakan korek api. Bergegas Neris berlari dengann sisa tenaganya untuk menghentikan aksi Nolan.

"Stop!!!" Neris mendorong kuat tubuh Nolan sehingga keduanya jatuh menghantam permukaan batu paving beton yang keras.

Keduanya sama-sama merintih kesakitan. Neris sendiri terguling jauh sebab ulahnya, ia berusaha berdiri menahan rasa sakitnya. Akan tetapi, Nolan berdiri lebih cepat darinya. Nolan dengan langkahnya yang tertatih-tatih mendekati Neris.

"Nekat banget sih lo, Neris. Udah gue nyerah, kita di pihak yang sama kok." Nolan memberikan tangannya, menawarkan bantuan kepada Neris untuk berdiri.

"Di pihak yang sama?" 

"Iya, gue ngetes lo tadi. Kalau lo pelakunya, lo enggak bakal mencegah gue buat ngehilangin barang bukti. Udah sini sambut aja tangan gue dulu, capek tahu." Nolan semakin menjulurkan tangannya.

Neris menyambut tangan Nolan, mereka pun dengan langkah yang tertatih-tatih menuju kursi yang berada tidak jauh di dekat mereka.

"Darimana dasar kak Nolan bilang kalau Geya dibunuh?" tanya Neris sambil membersihkan pasir dan kerikil di celananya.

"Gue juga dapat firasat karena Agam sih, dia bilang agak janggal aja kalau ada orang yang mati di ekstrakulikuler ini padahal enggak melanggar aturan. Nontifikasi dikeluarkan kayak anggota lain pun enggak ada."

"Jadi ..., apa rencana kak Nolan buat barang buktinya?" Neris bertanya serius.

"Lo simpen aja itu dulu, sampai kita nemuin cara. Buat sekarang, lo jangan percaya sama siapa pun, termasuk teman dekat lo. Sembunyiin barang buktinya baik-baik. Gue bisa percayain ini ke lo, kan, Neris?" balas Nolan menatap Neris balik dengan serius.

Pandangan Neris berpindah ke arah kantung plastik yang masih di tempat pembuangan. "Oke, percayain ini ke gue, kak. Tolong bantu gue buat nemuin pembunuhnya Geya."

"Tentu aja, tapi dengan satu syarat," ujar Nolan. "Lo sebagai Bendahara, bantu gue buat PDKT sama Ellen. Lo tahu dia, kan?"

"Ellen anak kelas X yang bikin konten animasi? Kak Nolan naksir dia?" 

"Frontal banget, ya udah anggap aja gitu. Jadi kita sepakat?" Nolan mengulurkan tangannya.

"Sepakat."

Kini keduanya memiliki perjanjian.

***


FATAL FOLLOWERSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang