"Dia masih hidup, kan?" Heeseung mendapat pukulan oleh Hanbin di bahunya setelah mengeluarkan pertanyaan itu.
"Pertanyaan lo jelek."
Kini Hanbin berada di ruang kesehatan, menunggu Zhang Hao siuman, ditemani Heeseung yang baru saja datang membawakan tas Hanbin dan Zhang Hao karena sudah jam pulang sekolah.
"Gue gak bisa lama-lama, Bin," kata Heeseung. "Mau lanjut bimbel."
"Masa gue sendirian doang."
"Lah? Kan ada Zhang Hao."
"Anaknya belum sadar ini."
"Ya, nanti sadar."
Hanbin tidak mau ditinggal hanya berdua dengan Zhang Hao, mereka tidak dekat. Hanbin hanya merasa Zhang Hao adalah pribadi yang sangat individu. Ada yang berbeda dari pemuda Zhang itu.
"Lo kenapa, sih? Kayak gelisah."
"Gak apa-apa." Hanbin melirik wajah Zhang Hao yang tampak seperti hanya tertidur dengan benjolan di sisi kanan keningnya.
"Nanti Gyuvin ke sini, kok, tenang aja." Heeseung menyampirkan tas di bahu dan menepuk punggung Hanbin. "Gue duluan."
Hening setelah kepergian teman sebaya. Hanbin bingung harus apa selagi menunggu Zhang Hao sadar.
Ketika di lapangan tadi, Zhang Hao langsung tepar di tempat begitu kening pari purnanya terkena bola. Pelakunya yaitu seorang kerabat alias Ricky meringis dan menghampiri mereka di tribun. Hanbin berusaha membangunkan Zhang Hao sambil menepuk-nepuk pipinya pelan namun anak itu tidak bergeming.
Siswa lainnya juga heboh dan membentuk kerumunan yang mana memperburuk keadaan. Hanbin tidak kuat mengangkat Zhang Hao sendirian, alhasil ketika Heeseung datang, mereka berdua membawa Zhang Hao ke ruang kesehatan dengan pesan terakhir yang Hanbin ingat ialah Ricky dan Gyuvin akan menyusul ketika permainan selesai.
Pergerakan di brankar mengalihkan atensi Hanbin. Zhang Hao meringis sembari memegang benjolan di kepalanya.
Hanbin sangat lega, berdiri dan mendekat ke wajah Zhang Hao. "Hei, sudah bangun. Gimana perasaan lo?" Tidak ada jawaban. Zhang Hao akan tetap menjadi yang tampak ragu dan canggung di mata Hanbin.
Hanbin geram sendiri, pemuda Zhang ini kenapa, sih? Kesulitan bicara atau penakut? Masa takut padanya?
"Kok diam? Muka lo merah. Sakit? Maaf sebentar ... " Hanbin agak ragu namun perlahan membawa punggung tangannya menyentuh dahi Zhang Hao. "Tapi badan lo gak panas."
"Gue ... gak apa-apa." Zhang Hao bergerak untuk duduk dan bersandar di kepala ranjang. "Gimana tadi?"
Hanbin kembali duduk di kursi samping brankar. "Lo pingsan, dibawa ke sini," tangannya meraih kain kompres dan memberikannya kepada pemuda Zhang. "Nih, tekan di memarnya."
"Makasih." Zhang Hao melihat totebag titipan untuk Gyuvin yang dia berikan pada Hanbin terletak di nakas. "Btw, bisa tolong kasih barang itu ke Gyuvin tanpa bilang dari gue?"
"Kalau begitu untuk apa dikasih?"
"Ada namanya di dalam."
Tidak ambil pusing, Hanbin hanya mengangguk sebelum mulai beberes barangnya dan membawa totebag.
"Oh ya, boleh minta nomor lo?" Zhang Hao bertanya sambil menunjukkan ponselnya.
"Buat apa?"
Lagi dan lagi Zhang Hao kelihatan canggung. Hanbin mulai tidak tahan dan setitik pengetahuan muncul di benaknya.
"Ah, gue paham buat apa. It's okay, gak perlu dijelasin." Ada gunanya selama ini Hanbin memperhatikan dan mengingat tipe orang-orang yang menyukai Gyuvin. Salah satunya persis orang di hadapannya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Him | HaoBin ✔
FanfictionTidak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Hanbin untuk menjalin hubungan non-platonik di masa remajanya. Apalagi jika berteman dengan Gyuvin yang tebar pesona sana sini, Hanbin hanya selalu menjadi penonton kisah asmara sahabatnya yang tidak serius. ...