15

301 24 4
                                    

[Ini bakal panjang]

***

"Lo pandai di segala hal." Ucap Hanbin, di sela kegiatannya memahami penjelasan Zhang Hao pada tugas kimianya. Mereka kembali berada di ruang tengah untuk lanjut ke agenda berikutnya; membantu Hanbin mengerjakan tugas.

Sebelum memulai, mereka sudah selesai makan siang, bersama bundanya Zhang Hao. Itu pertama kali Hanbin bertemu dengan wanita itu, kesannya adalah ramah sekali, suaranya lembut dan senyum manisnya menenangkan. Matanya mirip Zhang Hao walau tatapannya lebih teduh. Bunda Zhang memancarkan aura kehangatan yang menjadi pengisi rumah mereka. Hanbin agak gugup ketika diajak perkenalan dan obrolan lainnya sebelum mereka mulai menyantap makan siang. Pertanyaan-pertanyaan dasar dilontarkan Bunda Zhang, seperti Hanbin tinggal di mana, Hanbin suka makanan apa, Hanbin hobi melakukan apa dan seterusnya. Namun tidak ada satupun pertanyaan ditujukan untuk keluarga Hanbin, seolah Bunda Zhang tahu bahwa memang tidak banyak yang bisa Hanbin ceritakan mengenai keluarganya dari sudut pandang dirinya sendiri.

Ketika giliran Bunda Zhang bercerita, wanita itu lebih banyak membicarakan Zhang Hao. Hanbin mendapat fakta baru bahwa lelaki kelahiran Cina itu mempunyai hobi di bidang musik, Hanbin membuat catatan suatu saat dia harus melihat Zhang Hao bermusik. Itu lucu karena pujian yang Bunda berikan membuat Zhang Hao malu sehingga protes untuk mengganti topik obrolan.

Hanbin juga tahu bahwa Bunda Zhang menyadari intensi kedekatan dirinya dan sang anak. Wanita itu tersenyum memaklumi setiap kali Zhang Hao terkekeh sembari dengan ataupun tanpa sengaja memegang dan menyentuh Hanbin, seolah reflek. Bunda hanya memberi reaksi senyum tipis penuh pengertian. Hanbin suka suasananya, tidak ada tekanan. Rumah ini hidup dan hangat dengan benar adanya disebut sebagai rumah. Pantas saja Zhang Hao cerita bahwa sejak kecil dia tidak keberatan jika harus menghabiskan waktu lebih banyak di rumah. Mungkin, bagi seseorang seperti Zhang Hao, tidak masalah apa yang terjadi di luar karena ia memiliki sistem pendukung yang baik dari internalnya, yaitu keluarga kecilnya di sini.

"Hanbin suka yang manis-manis gak?" tanya Bunda Zhang, ketika telah selesai membereskan makan siang mereka. Membuka kulkas dan mengeluarkan kue tart kecil dengan krim. "Dessert bunda buatkan khusus untuk tamu spesial Hao," lanjutnya, meletakkan kue tart di atas meja kemudian dengan jahil mencolek dagu Zhang Hao.

Kembali ke waktu sekarang. Setelah mendengar ucapan Hanbin, Zhang Hao terpaku sebentar sebelum tertawa pelan. Badannya dibawa bersandar pada kaki sofa. Mereka memang duduk di bawah agar lebih mudah menjangkau meja. "Gak, Bin. Gak mungkin gue menguasai semua bidang, jangan ngomong gitu, ah."

"Iyain aja, kata-kata adalah doa. Lagipula dari sudut pandang gue, lo hampir bisa melakukan semuanya."

"Itu hanya akademik, kan?"

Hanbin berkedip, "Gak juga," dirinya menerawang memori. Sedari mengenal Zhang Hao sehingga berada di tahap sekarang, memikirkan bagaimana pemuda Zhang memperlakukannya selama ini membuat pipi Hanbin merona. "Lo baik di banyak hal."

"Biar imbang," Zhang Hao menutup buku catatan dan tugas Hanbin. Menyandarkan satu lengannya di atas meja dan menumpu dagu di sana, tepat menghadap Hanbin di sampingnya. "Gak ada manusia yang benar-benar menguasai segala hal. Gue gak pandai olahraga. Praktek di sekolah gue payah."

Hanbin menatap Zhang Hao lamat kemudian menghela napas, "Oh, itu ... gak heran."

"Wahh, kenapa natapnya diskriminatif begitu." Zhang Hao tampak tidak terima. Matanya membulat seolah ingin memakan Hanbin hidup-hidup.

Berniat semakin bercanda, Hanbin tertawa lepas. "Biasanya kan orang pintar di akademik kayak lo, pasti ada aja kurangnya di olahraga fisik."

"Stereotipe banget. Gak bagus, lho."

Him | HaoBin ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang