[32] Waktunya Pulang

1.4K 84 8
                                    


“LO GILA YA!”

“Iya, gue emang gila sejak dia ngirim e-mail itu. SEBULAN YANG LALU. What the hell, Lan. E-mail itu udah pengen gue hapus. Udah tinggal pencet delete! Kalo enggak keba—“

“Oke. Oke. You’ve told me what if that e-mail was deleted. Yang gue permasalahkan, emang lo boleh pulang sekarang? Gue tanya, emang semudah itu dapet izinnya?”

“Heh! Gue bukan kayak cewek lo yang dikurung di asrama, ya! Gue bebas mau ngapain, bro. dan lagian, gue ke Indonesia enggak sampe musim dingin habis! Enggak sampe saljunya menguap lagi ke langit!”

Terdengar hembusan napas pasrah di sebrang sana. “Terserah lo deh, bro.”

“Waduh. Makasih nih omong-omong dukungannya. Bisa bantuin gue nyusun kejutan buat dia enggak? Gue cuma minta nomer sama alamat kenalan lo yang emaknya punya toko perhiasan itu. Plisss ya, Lan. Lo kan temen gue yang paling baik. Hehe.”

“Iya iya beres, dan lo temen gue yang udah positif sakit jiwa!”

***

Vee’s POV

Rasanya sudah berjuta-juta tahun tanpanya disini.

Tanpa senyumnya, tanpa tawanya, tanpa rajukannya, dan aku rindu akan itu semua.

“Ma,” Panggilku sambil menengok ke arah ruang tamu.

Aroma bolu ketan yang baru matang dan siap disajikan memenuhi seluruh sisi dapur. Membuatku sesak akan kenikmatan. Aku membuka ikatan apron ku namun masih mempertahankan sarung tanganku. Kemudian memindahkannya ke piring besar.

Mama tidak juga menyahut, setauku, setelah bunyi ponselnya terdengar, ia hilang entah kemana. Dan terakhir kuketahui posisinya sedang berada di ruang tamu. Dengan wajah serius dan penuh minat mendengarkan, Mama masih sibuk berbicara di telepon.

Hah. Mungkin itu dari salah satu karyawan Le Raison yang sedang lembur. Mama kan orang sibuk, wajar kalau telepon bisa sampai berjam-jam.

Setelah selesai membaginya menjadi beberapa bagian, aku mencuci tanganku dan merapikan pakaianku yang beraroma kue.

Ya, inilah kerjaanku kini setiap malam. Pulang dari Le Raison, aku menemani Mama di rumah sebentar. Entah untuk membantu memasak makanan kesukaannya yang  baru alias berbagai jenis bolu, atau sekedar menontol film bersama. Kegiatan yang sudah kujalani lebih dari sebulan ini sebenarnya sangat menyenangkan. Kalau saja Mama tidak menyuruhku ke kamar Leo.

Terkadang, beliau menyuruhku mengambil sesuatu di kamar anaknya itu, dan kalau masuk kesana, hatiku masih terasa nyeri seperti diremas-remas. Meski sdah menulis surat yang diam-diam kunanti jawabannya, namun sesak di dada tetap tak bisa hilang.

“Udah selesai,sayang?” Tanya Mama sambil menghampiriku.

“Udah Mam—“

Tok tok tok.

“Vee, bisa tolong bukain pintunya?”

Aku membuka ikatan rambutku dan membereskan penampilanku yang sedikit kacau akibat kegiatan masak memasak tadi seraya menuju pintu depan. Ketukan kembali terdengar membuatku bertanya-tanya siapa yang bisa-bisanya bertamu malam-malam begini.

Sebenarnya, aku rada ketakutan juga sih. Kalau itu pernjahat, masalahnya dalam rumah ini hanya ada aku dan Mama. Jadi kalau penjahat itu lelaki, sudah pasti aku kalah telak. Hah, kalau sudah begitu aku hanya bisa berharap Mama juga pernah masuk Klub Pencak silat seperti anaknya.

Dengan berdebar-debar, aku membuka pintu.

Dan kosong.

Oke, bulu kudukku benar-benar berdiri sekarang ini. Kalau bukan penjahat, atau tetangga sebelah rumah, kemungkinan terakhir ya setan.

You Are The Reason [END 34/34]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang