PART 3

45 11 0
                                    

AZRAF Alvelandro disambut dengan senyuman hangat oleh sang Bunda setelah memencet bel rumah beberapa kali. Raut bahagia menghiasai wajah sang Bunda, berharap jika keinginannya dapat terwujudkan oleh sang putra untuk menikah dengan putri teman sebisnis keluarganya.

"Zraf, gimana makan malam tadi? Suka?" Tanya Sinta Alvelandro, Bunda Azraf.

Azraf menghela napas, tak menjawab. Ia langsung mendudukkan bokongnya di sofa ruang tamu. "Ya gitu, Bun," jawabnya malas.

"Ih, kebiasaan deh kamu! Suka jawab 'ya-gitu', 'ya-gitu'." Kesal Sinta pada sang putra yang tidak menjawab pertanyaannya. "Coba cerita sama Bunda. Gimana makan malam sama keluarganya pak Ali. Bunda kan juga penasaran," ucapnya.

"Bagus. Azraf suka," balas Azraf yang tidak dipercayai Sinta begitu saja.

"Tapi kok kayak nggak ikhlas gitu jawabnya? Emangnya ada apa?" Tanya Sinta dengan halus.  Sudah beberapa tahun ia merawat sang putra, pasti sudah mengerti watak dan tabiat putranya. Apalagi ketika putranya itu menyembunyikan sesuatu.

Azraf bangkit berdiri. "Nanti Azraf cerita. Azraf capek," ucapnya lalu melangkah pergi ke kamarnya.

***

"Iya. Fara. Kamu pasti setuju kan?"


Perkataan Dewi tadi benar-benar membuat Azraf terjatuh sejatuh-jatuhnya setelah terbang tinggi di angkasa. Dari kecil Azraf selalu ingin terbang tinggi menggapai impiannya. Namun satu kesalahannya, yaitu terbang tanpa menoleh dibawah.

Ia merebahkan tubuhnya diatas ranjang tanpa melepas pakaiannya. Ia menatap kearah langit-langit kamarnya. Entah mengapa, hatinya kini terasa begitu sakit. Entah mengapa kali ini harapan yang lama ia timbun dan ia ingin sekali menggapai harapan itu, seketika tumbang dan pupus begitu saja.

Ia bangkit dari ranjang, lantas mendekati sebuah lukisan menara Big Ben, London dengan alas kanvas kain. Lantas ia menarik sebuah tali yang berada di sebelah lukisan tersebut yang sontak membuat kain dengan lukisan Menara Big Ben tersebut tergulung ke atas menampakkan beberapa foto seorang gadis yang terlihat tidak sadar ketika difoto secara diam-diam. Dan semua pakaian gadis yang ada dalam foto itu mengenakan seragam biru-putih.

"Apa kita nggak bakalan bisa nyatu?" Ucapnya sembari mengusap salah satu foto gadis yang tengah menguap itu.

Azraf menghela napas pelan. Hari ini memang banyak sekali kejutan yang ada dalam hidupnya. Rasa rindu yang ia pendam selama beberapa tahun akhirnya terobati, rasa senang yang tak bisa ditahan, dan kecewa yang mendalam. Semuanya terjadi begitu saja dalam waktu sehari. Benar-benar melelahkan.

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Iya. Fara. Kamu pasti setuju kan?" Tanya Dewi menatap Azraf dengan lekat. Tak lupa dengan senyum yang mengembang. Sepertinya wanita berkepala empat itu sangat-sangat berharap kepada Azraf.

Perlahan ekspresi bahagia Azraf luntur, tergantikan dengan ekspresi datar. Namun itu hanya sebentar. Ia kembali tersenyum, tepatnya berpura-pura tersenyum. "Eh ... Sejujurnya Azraf masih belum mikirin hal itu sih Tante. Azraf juga sekarang mau fokus sama perusahaan dulu," ucapnya pria itu. Azraf tau, jawaban itu sama sekali tidak berguna. Ucapannya akan sia-sia ketika dirinya dipaksa oleh sang Papa untuk menikah dengan gadis yang sama sekali tidak ia cintai.

Dewi terkekeh kecil mendengar jawaban Azraf. "O-oh, begitu." Ucapnya sambil mengangguk.

"Awalnya saya juga berfikir seperti itu, Nak Azraf. Bekerja, bekerja, bekerja. Tapi, setelah masa pendekatan dengan Ibunya Fara, saya jadi berubah pikiran. Bahkan saya sendiri yang minta dinikahkan," ucap Ali tertawa di akhir kalimatnya.

SPARE BRIDE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang